Mohon tunggu...
Eva Oktafikasari
Eva Oktafikasari Mohon Tunggu... Tutor - Pengajar dan penulis

Travelling, writing, teaching. Find me at evaoktafikasari@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Dunia Hiperrealitas: Fatamorgana dalam Media Sosial

15 Juli 2019   14:50 Diperbarui: 15 Juli 2019   15:17 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyum sempringah dalam balutan busana yang menawan, terkadang berpose bak model papan atas di lokasi terkenal yang sedang hits dan viral mengambarkan betapa bahagia kehidupan yang sedang kita jalani sekarang.

Foto dan video singkat berisi sepatu baru dan tas baru dari merek-merek terkenal dengan harga yang mahal, atau tumpukan pakaian baru hasil buruan kita di mall-mall pusat kota, kita sebarkan dalam feed dan story instagram atau whatsapp berusaha menunjukkan eksistensi bahwa kehidupan kita tak kalah atau bahkan lebih baik dari kehidupan teman-teman kita di luar sana.

Curhatan  tentang lelahnya bekerja seharian atau video hiruk pikuknya lokasi kerja mempresentasikan betapa cemerlangnya pencapaian kita saat ini memiliki pekerjaan impian dan tempat kerja yang mentereng.

Berfoto bersama teman dan sahabat di salah satu tempat makan favorit atau di lokasi yang sedang viral, menunjukkan betapa senangnya kita di kelilingi oleh sahabat yang saling mengasihi dan selalu ada.

Berpose mesra dengan suasana romantis ditemani gelak tawa bahagia menampilkan kesempurnaan hidup memiliki pasangan bak cerita romeo juliet atau dongeng cinderella.

Atau berfoto bersama kelurga tercinta saling rangkul dan berpelukan betapa beruntungnya kita hidup dalam keluarga yang harmonis, rukun dan saling mengasihi.

Begitulah gambaran kehidupan yang sering kita tampilkan dalam feed instagram, instastory, whatsapp story, atau media sosial lainnya. Kesempurnaan, kemewahan, dan kebahagian yang nampak abadi terbingkai rapi dalam foto dan video yang kita umbar dalam ruang publik. Walau terkadang hanyalah sebuah fatamorgana, kesemuan yang kita ciptakan sendiri demi membangun image yang kita mimpikan.

Kita telah terbiasa hidup dalam dunia hiperrealitas menjadikan batas antara yang nyata dan fantasi menjadi kabur dan samar. Antara yang palsu dan asli, antara yang imajinasi dan fakta, antara kebenaran dan kebohongan menjadi tak dapat lagi dibedakan.

Hiperrealitas merupakan sebuah teori yang berasal dari Jean Baudrillad, seorang pakar dalam teori kebudayaan yang sering kali dikaitkan dengan post modernisme dan post strukturalisme. Baundrillad menggunakan istilah Simulasi dan Simulacra untuk menggambarkan konsep hiperrealitas.

Baundrillad memandang bahwa simulasi merupakan sebuah keadaan dimana representasi atau gambaran dari objek menjadi lebih penting dari objek itu sendiri, sedangkan simulacra adalah sebuah duplikat dari sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada dan menyebabkan perbedaan antara duplikat dan fakta menjadi suram dan kabur.

Nampaknya konsep hiperrealitas telah merasuk dalam kehidupan kita akhir-akhir ini. Dengan bangganya kita pamerkan foto di tempat makan terkenal atau tempat makan yang tengah viral dengan berbagai menu hidangan di atas meja.

Fungsi utama dari sebuah objek menjadi tidak penting lagi dibandingkan dengan gambaran objek itu sendiri. Gambaran objek kini menjadi lebih penting karena mampu menunjukkan eksistensi kita agar dianggap orang yang kekinian atau dianggap orang yang mampu.

Banyak orang rela mengorbankan segalanya untuk terlihat berbeda dan keren di media sosial, dan tentu saja demi sebuah love, like dan coment atau followers. Berduyun-duyun orang akan latah mengikuti tren dari idola mereka di media sosial, mengorbankan sesuatu untuk menciptakan kesemuan sementara demi terlihat ngetren dan kekinian. Membangun gambaran image palsu yang terkadang berbanding terbalik dari kehidupan nyata yang kita jalani.

Tentu kita masih ingat dengan kasus yang dialami oleh seorang selebgram bernama Fransisca Paisal yang sempat rampai menjadi bahan gunjingan di media sosial. Dia telah berhasil menciptakan utopia palsu dalam kehidupannya.

Berliburan mewah ala milyader ke luar negeri, berkunjung ke lokasi-lokasi yang diimpikan sebagian besar orang di belahan bumi ini, atau menonton konser band papan atas di luar negeri. Faktanya, dia meminjam uang ratusan juta dari rekan-rekannya demi sebuah kesempurnaan dunia fantasi yang dia bangun sendiri.

Seringkali kita keblinger dengan kemewahan yang diciptakan teman-teman kita di media sosial, tak jarang juga kita merasa iri dengan gemerlapnya hidup yang ditunjukkan orang lain di media sosialnya.

Bahkan kita terkadang merasa rendah diri, kecewa, ketika melihat betapa bahagia dan sempurnanya kehidupan mereka, betapa cemerlangnya pencapaian hidup yang telah mereka raih. Padahal kita tak pernah tau realita seperti apa yang telah berhasil mereka sembunyikan di balik kesempurnaan feed instagram-nya.

Banyak orang lebih memilih hengkang dari hiperrealitas yang diciptakan orang-orang melalui instagram atau path, mereka lebih memilih mencari kedamaian hati dan jiwa dengan tidak lagi terkoneksi ke media sosial tersebut. Mereka merasa hidup menjadi lebih adem, tentram dan tidak kemprungsung ketika tak lagi melihat foto-foto dan video penuh kebahagian semu dari orang-orang yang bersliweran di beranda media sosial tersebut.

Dunia hiperrealitas dalam media sosial memang tak hanya melebur dalam instagram dan path, namun dua media sosial inilah yang paling dominan dalam menciptakan hiperealitas yang paling berbahaya.

Mengapa demikian? Karena kedua media sosial ini hanya berisi foto dan video singkat, banyak oknum memanfaatkannya untuk membangun citra diri sempurna melalui unggahan yang berhasil mereka gambarkan di media sosial tersebut.

Tak hanya menyoroti instagram dan path saja, media sosial lainnya seperti Twitter dan Facebook juga turut serta meramaikan jagat hiperealitas ini. Gambaran dan citra diri palsu terkadang kita tunjukkan dalam ruang publik.

Contohnya saja orang-orang yang sibuk saling memaki, mengeluarkan kata-kata kasar, saling menghina, saling mengancam saat Indonesia dalam suasana politik yang memanas. Kita tidak yakin apakah ketika mereka saling bertemu, antar pendukung kubu ini akan melakukan hal yang sama di dunia nyata.

Kita tak pernah tahu apakah orang-orang ini memang benar-benar si mulut sampah atau justru seorang pendiam dan kalem di dunia nyata. Terkadang hiperealitas menciptakan sosok yang bersebrangan dari kondisi kita yang sebenarnya.

Lantas, siapakah diri kita yang sebenarnya? Sosok seperti citra kita dalam media sosial ataukah manusia biasa yang hidup dalam dunia nyata? Semua jawaban nampak benar bergantung dari persepsi siapa yang melihat kita. Dari persepsi penonton kita di media sosial ataukah persepsi orang-orang yang hidup bersama kita di dunia nyata.

Tak ada salahnya bermedia sosial, bahkan banyak diantara kita yang memanfaatkan media sosial mulai dari mencari teman baru hingga mencari rupiah. Hanya satu hal yang wajib menjadi prinsip kita, jangan sampai kita justru menjadi terlena dalam fatamorgana dunia hiperealitas yang marak terjadi di media sosial. Kehilangan jati diri, dan terkadang justu menjebak kita pada masalah yang jauh lebih kompleks. Penuh tuntutan persepsi dan ekspektasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun