Contohnya saja orang-orang yang sibuk saling memaki, mengeluarkan kata-kata kasar, saling menghina, saling mengancam saat Indonesia dalam suasana politik yang memanas. Kita tidak yakin apakah ketika mereka saling bertemu, antar pendukung kubu ini akan melakukan hal yang sama di dunia nyata.
Kita tak pernah tahu apakah orang-orang ini memang benar-benar si mulut sampah atau justru seorang pendiam dan kalem di dunia nyata. Terkadang hiperealitas menciptakan sosok yang bersebrangan dari kondisi kita yang sebenarnya.
Lantas, siapakah diri kita yang sebenarnya? Sosok seperti citra kita dalam media sosial ataukah manusia biasa yang hidup dalam dunia nyata? Semua jawaban nampak benar bergantung dari persepsi siapa yang melihat kita. Dari persepsi penonton kita di media sosial ataukah persepsi orang-orang yang hidup bersama kita di dunia nyata.
Tak ada salahnya bermedia sosial, bahkan banyak diantara kita yang memanfaatkan media sosial mulai dari mencari teman baru hingga mencari rupiah. Hanya satu hal yang wajib menjadi prinsip kita, jangan sampai kita justru menjadi terlena dalam fatamorgana dunia hiperealitas yang marak terjadi di media sosial. Kehilangan jati diri, dan terkadang justu menjebak kita pada masalah yang jauh lebih kompleks. Penuh tuntutan persepsi dan ekspektasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H