Mohon tunggu...
Eva Nurmala
Eva Nurmala Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan swasta

Saya karyawan swasta yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nusantara dan Keyakinan yang Berbeda

21 Januari 2022   09:52 Diperbarui: 21 Januari 2022   09:56 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu lalu kita dikejutkan oleh viralnya seseorang yang membuang sesajen dengan kasar di daerah Pronojiwo, Lumajang. Kita ketahui bersama bahwa daerah Pronojiwo adalah daerah terdampak letusan Gunung Semeru. Sesajen yang ditaruh di situ adalah oleh para penduduk sekitar yang memeluk agama Hindu.

Seperti tertera dalam sejarah, gunung Semeru dan sekitarnya adalah penduduk dengan budaya Jawa  kuno dengan pemeluk aliran kepercayaan dan Hindu kuno. Mereka sering  mempersembahkan sesuatu untuk para dewa yang mereka percayai. Para dewa itu bisa berbentuk pohon, gung bahkan batu.

Gunung Semeru dipahami oleh masyarakat lokal bukan hanya sebuah gunung  yang  merupakan benda mati, namun gunung itu adalah kehidupan itu sendiri. Mungkin juga gunung Semeru adalah tempat atau kediaman para dewa itu.

Semeru punya siklus meletus, lava mendingin dan kemudian diam beberapa saat lamanya. Bahkan bisa bertahun-tahun lamanya berdiam diri tanpa ada aktivitas vulkanik. 

Namun jika meletus, lava dan laharnya  bisa membuat tanah sekitarnya subur dan berguna untuk seluruh masyarakat. Sebagian besar dari masyarakat sekitar yang kehidupanya bergantung pada pertanian, lava dan lahar  dingin dari letusan Semeru itu. 

Singkatnya lahar dinginnya sangat berguna dalam jangka panjang karena menyuburkan. Pertanian itu juga yang bisa membuat masyarakat sekitarnya sejahtera.

Di sisi lain, proses dan siklus meletus yang juga sempat menelan korban jiwa itu bisa juga diterjemahkan sebagai Semeru sebagai sebuah pribadi yang sedang "marah". 

Keadaan itulah yang membuat  masyarakat sekitar membuat sesaji atau persembahan untuk "pribadi" yang sedang marah itu, agar  tidak kembali marah atau sesaji itu dibuat untuk sekadar menetralisir amarahnya.

Saudara, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, itulah bentuk kearifan lokal yang sudah berlangsung berabad lamanya. Mereka terikat dengan alam sekitar dan mereka menjalani kehidupan mereka dengan ikhlas dan damai. 

Hubungan masyarakat dengan alam sekitar mungkin tidak sepenuhnya bisa kita jelaskan dengan logika. Tapi itulah Nusantara ; Indonesia

Sehingga dengan adanya seseorang dengan keyakinan berbeda dengan penduduk setempat  yang menendang dan membuat sesaji itu dengan dalih bahwa itu tidak disukai oleh Allah yang dia percayai, banyak orang merasa gerah dan marah. 

Meskipun secara ajaran, sikap menolak itu benar tapi tindakan  membuang sesaji itu merupakan sikap yang salah karena tidak menghargai kearifan lokal atau budaya dan kepercayaan setempat.

Karena kita hidup di Nusantara ; Indonesia ; satu negara besar dengan berbagai perbedaan maka kita harus saling menghargai termasuk dalam dakwah dan ritual keyakinan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun