Mohon tunggu...
Evan Samuel Bona Parulian
Evan Samuel Bona Parulian Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMAN 28

Kelas XI MIPA 2 no.13

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Hidup dari Ayahku

20 November 2020   17:42 Diperbarui: 20 November 2020   17:51 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku merupakan seorang yang merasa sangat senang dengan kehidupan saya. Orang tua yang perhatian kepada aku dan keduanya merupakan pengusaha yang sukses. Disekolahkan di sekolah swasta ternama dan memiliki banyak teman. Apa yang dapat aku katakan? Benar bahwa uang itu membawa banyak pertemanan. Dan tentunya teman saya tidak sembarangan. Semuanya anak pejabat dan pemilik usaha juga. Aku senang dengan gaya hidupku, apalagi yang kurang dari aku?

Tetapi satu kejadian telah mengubah hidupku selamanya.

Pada suatu hari, aku berjalan di kota bersama ayahku. Kita sedang berencana untuk berbelanja dan makan siang di Blok M. Seperti biasanya, banyak sekali orang. Berkumpul dan berdekatan dengan orang yang kotor selalu membuat saya geli. Tapi hari ini terasa berbeda. Kita melewati jalan yang tidak biasanya kita ambil. Dan justru menjauhi restoran yang biasanya kita datangi.

                "Hari ini, ayah ingin kamu menemani ayah melakukan sesuatu," kata ayahku.

                "Baiklah ayah," kataku dengan penuh heran.

Kemudian kita masuk ke bagian di mana banyak pedagang pinggir jalan. Suasanya ramai sekali. Pedagang yang berteriak memanggil pelanggan sambil berkeringat langsung terlihat di pandangan saya. Matahari yang terik dan udara yang kering tidak membuat keadaan semakin baik. Aku membencinya. Yang terbesit di pikiran saya adalah untuk pergi secepatnya.

                Aku mengeluh, "Ayah, mengapa kita kesini. Ayo kita pergi saja!"

                "Sudahlah ikuti saja ayah," jawab ayahku. Itu tidak memberi jawaban bagiku.

Tiba-tiba ayah berhenti di salah satu pedagang yang duduk di trotoar. Pedagang ini menjual buah-buahan. Pedagang ini langsung berbicara kepada kita.

"Silakan Pak dibeli. Semuanya dijamin segar," katanya.
"Ah mana mungkin buah di pinggiran begini segar," aku berbicara pada diri sendiri.

"Tidak, Pak terima kasih. Saya di sini bukan ingin membeli. Saya ingin berbincang dengan Bapak," jawab ayahku.

"Oh," dengan mukanya yang kecewa, "ada apa pak?"

Aku semakin merasa jengkel. "Aku sudah diajak ke tempat seperti ini dan ayah hanya ingin berbicara dengan dia?" pikirku dengan kesal. Aku mulai melihat ayah dengan penuh ketidaksabaran.

"Sudah berapa lama Pak berdagang di  sini?" tanya ayah.

"Wah saya pedagang lama pak. Sudah ada hampir 10 tahun di sini," jawabnya.

"Tidak ada rencana untuk pindah Pak? Atau membuat toko?" ayahku kembali bertanya.

"Mau sih Pak. Tapi gimana lah, uang juga pas-pasan Pak. Apalagi sekarang semuanya membeli     buah di toko swalayan," celetuk pedagang itu.

"Iya saya mengerti pak. Oleh karena itu saya ingin memberi bantuan," ayahku menjawab sambil mengeluarkan amplop, "saya di sini ingin membantu Bapak."

"Hah? Ini beneran Pak?" jawab pedagang itu dengan terkejut.

"Iya Pak, saya tulus memberi ini. Saya mengerti kondisi Bapak," kata ayah.

"Saya tidak bisa membayar balik ini Pak, apakah Bapak yakin?" kembali ia bertanya

"Tidak perlu dibayar balik Pak, ini bantuan saya untuk Bapak," ayah meyakinkan dia.

Pada titik ini aku sudah tidak tahan lagi. Ayah sudah membawa aku ke tempat seperti ini dan dia membagikan uang secara cuma-cuma. Dan yang tidak bisa aku terima adalah dia memberi uang itu ke orang jelata seperti pedagang itu. Pada saat itu aku ingin marah, tetapi aku tidak ingin marah di depan pedagang itu. Tidak lama setelah itu, akhirnya kita meninggalkan tempat tersebut.

Saat sudah berada di dalam mobil, aku rasanya ingin berteriak dengan penuh amarah. Aku bertanya dengan marah kepada ayahku. Aku tanya mengapa aku tadi dibawa ke tempat seperti itu dan mengapa kita membagi-bagikan uang secara gratis kepada orang yang miskin. Aku terus melampiaskan amarahku. Tetapi ayahku hanya terdiam. Dan pada akhirnya dia hanya mengangkat tangannya seperti mengisyaratkan aku untuk diam dulu. Setelah itu aku tak berbicara lagi.

Sesampainya di rumah kita juga belum lagi berbicara. Kita berdua saling terdiam dan aku juga sungkan untuk mengajak ayah berbicara lagi. Sekarang amarahku berubah menjadi rasa ingin tahu. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar ayahku. Di situ aku melihatnya sedang membuka suatu album. Kemudian ayahku melihat aku di pintu dan menyuruh aku untuk masuk.

Kemudian Ia berkata, "Ayah ingin kamu melihat ini."

Dia menyodorkan album tersebut kepada aku dan aku melihatnya dengan saksama. Aku melihat beberapa foto dan suatu kliping artikel pada surat kabar. Aku melihat semua foto yang ada, dan rasanya orang ini sepertinya aku kenal. Kemudian pada kliping surat kabar itu tertulis, "Pedagang Buah Sukses Menjadi Pemilik Kebun" Kemudian aku tersadar, bahwa orang ini merupakan ayahku. Ia dahulu berjualan di tempat yang sama.

"Ayah dulu mulai di tempat yang sama seperti pedagang yang tadi kita kunjungi," ayah mulai bercerita, "ayah mulai berjualan dari usia kamu sekarang."

                Aku hanya bisa terdiam.

"Hari ini ayah mengajak kamu ke situ untuk menceritakannya kepada kamu," kata ayahku, "Ayah sedih melihat tanggapan kamu seperti itu."

"Kamu harus mengetahui, bahwa hidup kita itu yang nyaman berawal dari tempat seperti itu. Ayah dulu juga mulai dari kecil. Ayah dulu juga merupakan orang yang kekurangan," dengan tatapan yang ingin menangis.

Aku merasa sangat bersalah. Aku menyadari bahwa aku ini telah menjadi orang yang tidak bersyukur. Sepanjang hidupku aku memandang rendah orang seperti pedagang tersebut. Orang yang tidak hidup seperti aku, yang tidak terlihat seperti aku, yang tidak seberuntung aku. Tapi siapa sangka? Ternyata ayahku bermula dari kecil juga.

                "Ayah," kataku sambil mulai menangis, "aku tidak menyangka ayah dahulu seperti itu juga."

Aku langsung memeluk ayahku dan Ia memelukku kembali dengan erat.

"Ayah aku telah menjadi anak yang tidak bersyukur. Aku telah menjadi egois sekali. Hidupku yang nyaman ini ternyata berawal dari perjuangan ayah menjadi pedagang juga," kataku dengan isak tangis.

"Ayah ingin kamu belajar dari sini, bahwa tidak semua orang itu memiliki kesempatan seperti kita," nasehat ayahku, "kita semua pasti bermula dari kecil dahulu. Semuanya tetap harus kita hargai."

"Kita yang beruntung ini harus dapat membantu orang lain," ucap ayahku.

Aku tidak bisa melepaskan pelukan aku. Aku masih sangat menyesal. Kemudian ayah mencium aku, penuh dengan rasa kehangatan. Kasih ayahku sangat terasa pada saat itu. Aku telah menjadi anak yang durhaka, tetapi ayahku mengampuni aku.

Dari saat itu aku menyadari, bahwa semua orang itu berharga dan memiliki perjuangannya masing-masing. Tetapi aku yang beruntung harus membantu orang yang kekurangan. Hidupku yang berkelimpahan ini harus aku gunakan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun