Mohon tunggu...
Evan Samuel Bona Parulian
Evan Samuel Bona Parulian Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMAN 28

Kelas XI MIPA 2 no.13

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pelajaran Hidup dari Ayahku

20 November 2020   17:42 Diperbarui: 20 November 2020   17:51 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat sudah berada di dalam mobil, aku rasanya ingin berteriak dengan penuh amarah. Aku bertanya dengan marah kepada ayahku. Aku tanya mengapa aku tadi dibawa ke tempat seperti itu dan mengapa kita membagi-bagikan uang secara gratis kepada orang yang miskin. Aku terus melampiaskan amarahku. Tetapi ayahku hanya terdiam. Dan pada akhirnya dia hanya mengangkat tangannya seperti mengisyaratkan aku untuk diam dulu. Setelah itu aku tak berbicara lagi.

Sesampainya di rumah kita juga belum lagi berbicara. Kita berdua saling terdiam dan aku juga sungkan untuk mengajak ayah berbicara lagi. Sekarang amarahku berubah menjadi rasa ingin tahu. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kamar ayahku. Di situ aku melihatnya sedang membuka suatu album. Kemudian ayahku melihat aku di pintu dan menyuruh aku untuk masuk.

Kemudian Ia berkata, "Ayah ingin kamu melihat ini."

Dia menyodorkan album tersebut kepada aku dan aku melihatnya dengan saksama. Aku melihat beberapa foto dan suatu kliping artikel pada surat kabar. Aku melihat semua foto yang ada, dan rasanya orang ini sepertinya aku kenal. Kemudian pada kliping surat kabar itu tertulis, "Pedagang Buah Sukses Menjadi Pemilik Kebun" Kemudian aku tersadar, bahwa orang ini merupakan ayahku. Ia dahulu berjualan di tempat yang sama.

"Ayah dulu mulai di tempat yang sama seperti pedagang yang tadi kita kunjungi," ayah mulai bercerita, "ayah mulai berjualan dari usia kamu sekarang."

                Aku hanya bisa terdiam.

"Hari ini ayah mengajak kamu ke situ untuk menceritakannya kepada kamu," kata ayahku, "Ayah sedih melihat tanggapan kamu seperti itu."

"Kamu harus mengetahui, bahwa hidup kita itu yang nyaman berawal dari tempat seperti itu. Ayah dulu juga mulai dari kecil. Ayah dulu juga merupakan orang yang kekurangan," dengan tatapan yang ingin menangis.

Aku merasa sangat bersalah. Aku menyadari bahwa aku ini telah menjadi orang yang tidak bersyukur. Sepanjang hidupku aku memandang rendah orang seperti pedagang tersebut. Orang yang tidak hidup seperti aku, yang tidak terlihat seperti aku, yang tidak seberuntung aku. Tapi siapa sangka? Ternyata ayahku bermula dari kecil juga.

                "Ayah," kataku sambil mulai menangis, "aku tidak menyangka ayah dahulu seperti itu juga."

Aku langsung memeluk ayahku dan Ia memelukku kembali dengan erat.

"Ayah aku telah menjadi anak yang tidak bersyukur. Aku telah menjadi egois sekali. Hidupku yang nyaman ini ternyata berawal dari perjuangan ayah menjadi pedagang juga," kataku dengan isak tangis.

"Ayah ingin kamu belajar dari sini, bahwa tidak semua orang itu memiliki kesempatan seperti kita," nasehat ayahku, "kita semua pasti bermula dari kecil dahulu. Semuanya tetap harus kita hargai."

"Kita yang beruntung ini harus dapat membantu orang lain," ucap ayahku.

Aku tidak bisa melepaskan pelukan aku. Aku masih sangat menyesal. Kemudian ayah mencium aku, penuh dengan rasa kehangatan. Kasih ayahku sangat terasa pada saat itu. Aku telah menjadi anak yang durhaka, tetapi ayahku mengampuni aku.

Dari saat itu aku menyadari, bahwa semua orang itu berharga dan memiliki perjuangannya masing-masing. Tetapi aku yang beruntung harus membantu orang yang kekurangan. Hidupku yang berkelimpahan ini harus aku gunakan dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun