Mohon tunggu...
Evan Jonatan Satyagung
Evan Jonatan Satyagung Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar/Universitas Airlangga

Hobi membaca sastra klasik serta tertarik dengan berbagai topik terkait keuangan, ekonomi, dan teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SJW dan Feminisme Modern: Open Minded atau Memaksakan Pendapat?

30 Juni 2022   13:00 Diperbarui: 30 Juni 2022   13:02 2520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istilah SJW dan feminisme saat ini sangat sering digaungkan di media sosial baik dalam konotasi positif maupun negatif. Akan tetapi, apakah sebenarnya pengertian dari kedua istilah ini? 

Istilah SJW sendiri adalah kependekan dari Social Justice Warrior yang merujuk pada orang-orang yang menggaungkan paham sayap kiri dan liberal termasuk feminisme, LGBTQ+, hak-hak sipil dan multikulturianisme.

Ketika kita melihat pengertian tersebut, tentu yang terlintas di pikiran kita adalah para SJW ini pasti orang baik yang memperjuangkan hak-hak minoritas dan masyarakat kelas bawah hingga menengah, tapi nyatanya istilah SJW dikaitkan dengan konotasi negatif dan merendahkan. 

Alasan mengapa hal tersebut terjadi sebenarnya dimulai dari media sosial twitter. Istilah SJW digunakan secara negatif kepada orang-orang yang memulai argumen tentang keadilan sosial secara online tanpa argumen yang jelas dan logika yang tidak masuk akal.

Salah satu contoh kasus yang bisa dilihat tentang bagaimana peran SJW dapat membawa dampak negatif adalah kasus persidangan Johnny Depp dan Amber Heard. 

Kasus tersebut diawali ketika Amber Heard menggugat mantan kekasihnya Johnny Depp ke pengadilan dengan tuduhan melakukan KDRT. Setelah kasus tersebut mencuat, sontak saja netizen langsung menyerang dan membully sangat aktor di sosial media. 

Meski terkesan sepele, nyatanya protes tersebut begitu kuat sehingga memengaruhi karir Johnny Depp. Banyak perusahaan di industri film yang berusaha menyingkirkan image Johnny Depp dari perusahaan mereka, padahal film yang diperankan Johnny dari perusahaan tersebut mendulang sukses besar hingga menaikkan popularitas perusahaan. 

Sampai separah itulah dampak yang diterima Johnny Depp dari kasus dan serangan SJW ini, padahal sekarang terbukti bahwa Johnny Depp tidak bersalah dan malah Amber Heard yang ternyata mengarang cerita.

Bentuk kasus lainnya yang terjadi di Indonesia adalah munculnya tagar #JusticeforAudrey. Tagar tersebut bermula dari berita tentang seorang siswi SMP di Pontianak bernama Audrey yang menurut kesaksian Audrey dan keluarganya ia dibully dan dikeroyok oleh belasan siswi. 

Berita tersebut sangat menghebohkan tanah air karena menarik perhatian dari selebriti hingga menteri dan presiden. Namun setelah semua dukungan yang diberikan, malah beredar berita bahwa ternyata Audrey melebih-lebihkan beberapa kesaksiannya. 

Meski Audrey memang dibully dan tersangka layak menerima hukuman, beberapa kesaksian Audrey utamanya tentang penyerangan alat vital ternyata tidak terbukti.

Beberapa contoh kasus tersebut tidak hanya menjadi pelajaran supaya masyarakat membaca dan memahami berita dengan logis dan berkepala dingin, tapi juga menunjukkan betapa berpengaruhnya suara masyarakat saat ini. 

Apalagi para SJW ini ternyata belum mampu untuk berpikir tenang dan langsung saja menyerang pihak yang dianggap bersalah meski belum terbukti. Perilaku seperti inilah yang menjadi perhatian penulis tentang pentingnya kita melihat peristiwa SJW yang bermunculan di media sosial.

Aspek lain yang sangat dipengaruhi SJW dan sangat mengganggu adalah aspek industri kreatif seperti film dan video game. Ketika menonton film dan video gim tentu orang-orang mencari hiburan untuk melepas penat mereka. 

Para penikmat film dan gim paham bahwa karya tersebut hanya fiksi semata. Namun demikian, para SJW dan feminisme merusak hal tersebut dengan menuntut agar industri gim dan film untuk lebih “bersahabat” dengan menghilangkan unsur kekerasan atau umpatan. 

Padahal unsur kekerasan adalah bentuk pelampiasan para pemain karena mereka tahu bahwa kekerasan di dunia nyata tidak diperbolehkan sedangkan umpatan tersebut biasanya merupakan kritik sosial yang ditujukan kepada para petinggi dan elit yang korup.

Banyak juga SJW yang meminta agar film bertema kekerasan seperti film perang tidak terlalu brutal dengan alasan bisa membuat orang terpancing untuk membunuh. Padahal yang namanya perang tentu saja isinya adalah pembunuhan yang brutal dan kejam. 

Jika permintaan para SJW dituruti, maka kesan realistis dari seni tersebut akan hilang serta menimbulkan kritik pedas dari penikmat film. Para pelaku industri tentu sangat menyadari bagaimana dampak dari karya yang mereka buat. 

Oleh karena itu, mereka telah membuat sistem rating usia untuk memberi batasan sekiranya karya tersebut ditujukan untuk kisaran usia berapa saja. 

Justru menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga jika semisal ada anak di bawah umur yang berbuat kriminalitas karena menonton film atau bermain video gim padahal keluarganya saja yang tidak bisa bertanggung jawab dan memberi pendidikan tentang membedakan fiksi dan realita kepada anak mereka.

Ketika membuat artikel ini, penulis teringat terdapat karakter dalam cerita di mana karakter tersebut sangat menyebalkan karena terus menyerukan keadilan tapi ternyata mengorbankan orang lain untuk dirinya dan menganggap hal tersebut sebagai keadilan. Seperti itulah bagaimana SJW terlihat. 

Melalui artikel ini pembaca diharapkan memperoleh insight yang bisa dipelajari dari fenomena negatif SJW ini bahwa yang penting bukan hanya tentang kebaikan apa yang ingin disampaikan tapi juga cara menyampaikan kebaikan tersebut sangat penting untuk dipertimbangkan.

Referensi

Badasie , C. (2019, August 9). Are SJWs And PC Culture-Based Propaganda Ruining Movies? Retrieved from Fortress of Solitude: https://www.fortressofsolitude.co.za/are-sjw-and-pc-culture-ruining-movies/

Fadhil , H. (2019, April 11). Berawal dari Bully di Medsos, Begini Kronologi Kasus Audrey. Retrieved from detik.com: https://news.detik.com/berita/d-4506079/berawal-dari-bully-di-medsos-begini-kronologi-kasus-audrey

Ohlheiser, A. (2015, October 7). Why ‘social justice warrior,’ a Gamergate insult, is now a dictionary entry. Retrieved from The Washington Post: https://www.washingtonpost.com/news/the-intersect/wp/2015/10/07/why-social-justice-warrior-a-gamergate-insult-is-now-a-dictionary-entry/?variant=95d42e19c24b03e7

Rendon , C. (2022, January 21). Johnny Depp lands first major role after being 'cancelled': Embattled actor to play controversial French King Louis XV. Retrieved from Daily Mail UK: https://www.dailymail.co.uk/tvshowbiz/article-10428069/Johnny-Depp-lands-major-role-cancelled-Embattled-actor-play-King-Louis-XV.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun