Aku langsung membanting pintu dan pura-pura berjalan ke dalam sambil mengintip apa yang akan mereka lakukan. Ternyata, seorang bajingan tetaplah bajingan, dengan beraninya mereka berciuman mesra di depan rumah ini. Rumah yang dibangun dengan harapan menjadi tempat bernaungnya keluarga yang utuh dan bahagia. Sementara yang mereka lakukan sekarang adalah menghancurkan simbol yang agung itu.
Aku tak dapat berkata-kata melihati itu, air mata meleleh di kedua mataku. Kucoba buka bungkusan amplop itu dan ku temukan sebuah surat cerai dengan tanda tangan Ayah yang sudah dibubuhkan disertakan pula puluhan foto mereka ketika sedang berduaan di Bali kala itu.
“Bangsatttt!!” ucapku lirih melihat hal itu. Hanya itu yang bisa aku katakan, meski pikiranku penuh dengan rangkaian kata-kata kasar.
“Apa yang mereka inginkan? membunuh Ibu dengan surat ini atau membunuhku atau malah kami berdua ingin mereka bunuh dengan surat dan foto ini?” Pikirku
Tak terhitung berapa menit yang terbuang karena hal ini terjadi pada pagi yang cerah ini. Tak terhitung banyaknya tetes air mata yang keluar dari kedua mata ini. Kurasa, jika keduanya digabungkan, bisa untuk waktu menjelajahi seluruh hutan Amazon yang airnya dari air mataku.
Terbesit niat dalam hatiku untuk mengakhiri ini semua dengan bunuh diri, tapi apa yang akan terjadi berikutnya. Masalahnya tidak selesai, Ibu juga tidak juga sembuh, Hutang tidak juga lunas, dan Ayah tidak mungkin kembali.
Aku berdiri tegak, menatap dengan pasti, berjalan dengan berani. Aku membuka kamar Ibu dengan mantap. Menyerahkan amplop itu tanpa sepatah kata pun.
Ibu menatapku kebingungan. Membukanya dengan pelan dan membacanya dengan pasti. Selesainya surat itu dibaca, sesuai dengan prediksiku. Ia shock berat dan jantungnya melemah dan ……. keheningan itu kembali muncul. Ibu tiada, rencanaku selesai satu, sekarang sisa satu lagi. Rencana yang sesuai dengan keinginan mereka, yaitu menghabisi diriku, anaknya sendiri.
Aku langsung mengemasi baju-bajuku, secepat kilat menyambar kunci mobil dan tancap gas pergi dari sini untuk selama-lamanya. Aku tak tahu harus pergi kemana, aku hanya ingin pergi secepatnya dari tempat yang menjijikan ini tak peduli semua kenangannya.
Berita tentang diriku hingar bingar di media selama setahun penuh. Aku menjadi pelarian dari kota ke kota, dari satu tempat ke tempat lainnya, mencari uang dengan tubuhku. Mencoba bertahan hidup dengan apa yang ku punya satu-satunya. Tapi, aku selalu berdoa kepada Yang Empunya Hidup untuk memohon pengampunannya dan berharap kehidupan yang sengsara ini bisa berubah.
Itulah Aku, Dewi Permata Indah, nama yang indah bukan? Kejadian itu terjadi sekitar 2 tahun yang lalu, masih segar pada ingatanku dan akan selalu begitu. Masa lalu selalu menghantui pikiranku dimanapun kepalaku menyandarkan kepala. Ayah dan selingkuhnya hidup makmur di negeri seberang, ibu tenang disisi Yang Kuasa, sementara Aku, sengsara dan kepedihan adalah makanan sehari-hari bagiku. Ku harap kalian yang membaca ini bisa mengetahui masa laluku yang kelam.