Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkabung

4 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:15 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan bunga melati (Sumber: Pinterest)

"Pengalaman mengajarnya sudah lumayan. Kenapa pulang ke rumah setelah mengajar di tempat yang jauh?" Kalau saja ini bukan wawancara kerja, aku benar-benar enggan untuk menjawabnya. 

"Ingin kembali ke kampung halaman saja, pak." 

Jawaban singkat itu membawaku ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak lagi untuk kujawab. Yayasan besar ini memanggilku karena banyak kolega ayah di sana. Sesuatu yang sebenarnya tidak begitu kusukai sejak dulu, hasil campur tangan orang dalam. 

Aku menghela nafas lega usai menyelesaikan wawancara "tidak formal" ini untuk memenuhi ekspektasi dunia. Untuk memperlihatkan bahwa aku tidak benar-benar menganggur sebagai seorang sarjana. Separuh semangatku mengejar impian sudah habis entah tercecer di mana dan aku tak hendak memungutnya. 

Sejak ibu tiada aku seperti kehilangan kompas arah tujuanku berikutnya. Tak ada yang ingin kutunjukkan bahwa aku adalah anak perempuan kebanggaannya. Aku bahkan merasa berat untuk menyanggah impianku sendiri. Kujalani hari-hari seperti biasa tanpa ekspektasi apapun. 

"Ibu akan jadi orang yang paling bahagia melihatmu bisa mengajar, nduk." Ayah membuka obrolan kami di ruang makan setelah kusiapkan semuanya. Hari ini aku memasak ikan klotok, sayur sop, dan bakwan jagung favorit ayah. 

"Ayah berharap kamu tidak terbebani di rumah. Kamu tetap boleh mewujudkan keinginanmu untuk belajar di tempat yang jauh, ayah tidak akan mencegahnya."

Aku hanya diam mendengarkan ucapan ayah. Suara berisik di kepalaku sudah berputar-putar selama satu tahun terakhir ini. Aku masih ingin mengambil jalan menuju cita-citaku, tapi disisi lain aku tidak akan tega meninggalkan semua laki-laki penghuni rumah ini. Siapa yang akan merawat ayah? siapa yang akan memasak untuk mereka? dan pertanyaan lain yang menjadi kebimbanganku untuk melangkah meninggalkan rumah sebab aku menjadi satu-satunya perempuan di sini. 

"Nanda sudah tidak ingin kemana-mana, yah."

Kata terakhir yang kuucapkan di meja makan sore itu menjadi penutup percakapan kami. Ayah hanya diam menatapku yang tertunduk lesu. Hari-hari lebih sering kuhabiskan berdiam diri di dalam kamar. Terkadang melamun namun lebih sering menangis, merasakan kesedihan di dalam hati. Aku sangat jarang menangis di depan banyak orang, sebab lebih sering menumpahkan seluruhnya di atas sajadah dan sujud panjangku di setiap sepertiga malam. 

****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun