Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkabung

4 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:15 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan bunga melati (Sumber: Pinterest)

Sepanjang siang sebelumnya aku tak beranjak meninggalkan ibu sama sekali. Tak seperti biasa ibu ingin ku papah untuk duduk sebentar, katanya, lalu tiba-tiba memelukku erat, sangat erat. Tanpa sepatah kata ibu membenamkan diriku dalam pelukannya, aku diam mencoba mencerna semuanya. Perasaanku gelisah tak karuan, rasanya seperti pelukan perpisahan. Ibu memintaku untuk menyuapinya buah pisang untuk membantunya minum jatah obat siang itu.

"Ibu mau minum obat...setelah ini mau tidur yang lama, nduk." 

Sungguh aku tak mengerti sama sekali bahwa itu adalah kata-kata ibu untuk pamit kepadaku. Monitor di depanku menunjukkan garis detak jantung yang semakin melemah beberapa menit kemudian. Aku berlari memanggil perawat. Sekuat tenaga tim medis melakukan pacu jantung, tetapi hasilnya tetap nihil. Kulihat mereka menunduk dan menutup wajah ibu dengan selimut yang dikenakannya. Air mataku tumpah, wajah ibu kuciumi dan menangis di atasnya. 

Hari itu aku seperti kehilangan keseimbangan hidup. Kehilangan seluruh semangatku. Memikirkan bagaimana kehidupan ini akan kujalani tanpa ibu? Pada siapa aku akan bercerita perihal kerisauan hati di masa pencarian seperti ini? Kekhawatiran yang begitu banyak membuatku kalut. Aku memang tidak menangis sekerasnya, tetapi setiap detik dalam hatiku berteriak menyebut nama-Nya. Tidak terima kenapa ibu begitu cepat diambil dari kami semua. 

****

"Ananda Nanda Aulia Sara." 

"Ya, pak."

"Silakan. Sudah ditunggu." Seorang guru dengan seragam batik berkopiah hitam mempersilahkanku untuk masuk ke sebuah ruangan, di atasnya tertera sebuah tulisan kepala madrasah. 

"Sudah lama menunggu?"

"Lumayan, pak."

"Silakan duduk." Aku membenarkan ujung baju dan mencari posisi duduk senyaman mungkin. Ini hari pertamaku mendapatkan panggilan kerja setelah beberapa surat lamaran kulayangkan ke berbagai tingkatan madrasah. Tepatnya selama satu tahun setelah kepergian ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun