Mohon tunggu...
Eva Maulidiyah
Eva Maulidiyah Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Penulis cerpen, esai, puisi dan bagian dari penulis muda TTS Kompas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berkabung

4 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 4 Desember 2024   07:15 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan bunga melati (Sumber: Pinterest)

"Ayah nyuruh pulang, teh. Kalau ga pulang malah kepikiran."

"Iya juga si. Terus rencana setelah pulang gimana? kira-kira balik Jogja lagi gak?"

Hening. Ku abaikan pesan yang berisi pertanyaan itu. Sebenarnya aku sendiri tak tahu apa rencana berikutnya. Kepulanganku sudah ditagih oleh ayah, sebab ini sudah kedua kalinya aku bolak-balik ke Jogja setelah kelulusanku beberapa bulan lalu. Di benakku dahulu waktu pertama kali datang ke tempat ini adalah untuk tinggal lebih lama dan rasanya tak ingin pulang ke rumah. Namun rencana-rencana tanpa restu takdir dari-Nya hanyalah omong kosong belaka. 

****

"Ibu masuk puskesmas, sudah tiga hari ini ngamar di sana." 

Ayah memecah keheningan di tengah perjalanan menjemputku di gapura desa. Aku sontak kaget, rencana ingin bercerita tentang betapa leganya mendapatkan rekomendasi dari kampus untuk mengikuti program beasiswa pun kuurungkan begitu saja. Mulutku bungkam dan berganti mata yang berkaca-kaca menyelimutiku sepanjang perjalanan. Kali ini aku tak ingin pulang ke rumah, aku ingin langsung menemui ibu. 

"Kenapa ayah tidak bilang dari kemarin?" Suaraku parau mencoba sedikit protes. 

"Ayah tak ingin mengganggumu, nduk. Ayah tahu, kamu sedang mengusahakan sesuatu. Bagi ayah, semua impianmu begitu berharga. Sama berharganya seperti dirimu sendiri." Kali ini bukan hanya berkaca-kaca, air mataku tumpah di balik punggung ayah yang memboncengku di belakangnya. 

Ayah tak mengizinkan aku langsung menuju puskesmas. Kami tetap pulang ke rumah terlebih dahulu dan aku disuruhnya membersihkan diri usai dari perjalanan jauh. Meski ayah mencoba untuk mencegah agar berkunjung besok saja, namun aku tak memperdulikannya. Tengah malam aku minta diantar menuju puskesmas tempat ibu dirawat. 

Kubuka gorden hijau penutup sekat kamar pasien. Kulihat wajah ibu yang terlihat pucat tersenyum bahagia melihat kehadiranku di hadapannya. Aku mengecup tangannya dan menciumi seluruh wajah kuning langsatnya. Tubuhnya sedikit berisi daripada beberapa bulan lalu waktu aku pulang pertama kali, kata ayah itu karena obat insulin yang disuntikkan ke tubuhnya terus menerus.

Ibu menggenggam tanganku erat. "Gimana urusannya, nduk, lancar? kata ayah kamu sedang mengurus keperluan beasiswa." Genggamannya berubah menjadi usapan lembut khas ibu yang sungguh kurindukan, bahkan sejak masa kecil yang lebih banyak kuhabiskan sendirian. Aku memalingkan muka sebentar, mencoba menata raut muka  dan suaraku yang tercekat di tenggorokan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun