Mohon tunggu...
Eva Lauw
Eva Lauw Mohon Tunggu... Konsultan - -

-

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Tanah Adat Milik Siapa?

20 Oktober 2019   03:17 Diperbarui: 20 Oktober 2019   03:35 1258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanah merupakan bagian dari bumi yang memiliki peranan vital guna mendukung kehidupan manusia dalam penyelenggaraan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke tentunya memiliki keanekaragamannya masing-masing baik dari segi budaya, adat istiadat dan kekayaan alamnya. 

Di Indonesia terkait pemanfaatan tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam peraturan ini juga diatur terkait tanah masyarakat adat atau biasa dikenal sebagai tanah ulayat. Tanah ulayat didefinisikan sebagai tanah Bersama para warga masyarakat hukum adat. Hak penguasaan atas tanah masyarakat adat dikenal dengan Hak Ulayat.

Kalimantan Timur sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang dihuni 2 (dua) suku yaitu kelompok Suku Dayak dan Suku Melayu. Kabupaten Kutai Barat merupakan salah satu wilayah yang dihuni oleh mayoritas Suku Dayak. 

Kepemilikan wilayah adat pada Kabupaten Kutai Barat dibagi berdasarkan asal usul yang sudah hadir secara turun temurun jauh sebelum Negara Indonesia berdiri. Unsur kekayaan alam yang terdapat di tanah Kalimantan Timur menjadi daya tarik sendiri bagi investor dalam mengeksplorasi kekayaan alam di dalamnya. Kampung Muara Tae merupakan salah satu kampung yang menjadi wilayah eksplorasi investor terhadap sumber daya alamnya.

Kekayaan alam yang terdapat di Kampung Muara Tae mulai diambil sejak tahun 1971. Perusahaan yang beroperasi pada Kampung Muara Tae bergerak pada bidang perkebunan kelapa sawit hingga perusahaan tambang batu bara. 

Konflik terkait tanah adat dimulai pada tahun 2011, dimana masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit membuka lahan di 5 (lima) kampung yang terdapat pada Kabupten Kutai Barat salah satunya Kampung Muara Ponaq. 

Di perbatasan antara Kampung Muara Ponaq dan Muara Tae terdapat blok yang menjadi sengketa antara dua suku yaitu Hutan Adat Utaq Melinau dengan luas 638 Ha. 

Berdasarkan penuturan masyarakat adat Muara Tae, wilayah tersebut merupakan wilayah yang dikelola secara turun temurun oleh masyarakat Muara Tae. Sangat disayangkan wilayah yang masih berstatus sengketa tersebut dijual secara sepihak oleh masyarakat Muara Ponaq kepada pihak swasta untuk kemudian dikembangkan menjadi perkebunan.

Pada tahun 2012, Bupati Kutai Barat mengeluarkan surat keputusan yang berisikan batas wilayah antara beberapa kampung salah satunya Kampung Muara Ponaq dan Kampung Muara Tae. Dalam surat keputusan ini disebutkan bahwa wilayah yang menjadi sengketa merupakan wilayah milik masyarakat adat Muara Ponaq. 

Permasalahan ini semakin rumit ketika pihak perusahaan menggunakan kewenangan aparat dan menguasai tanah dengan cara tidak jujur untuk mengentikan tekanan masyarakat. Dari dialog masyarakat hingga penyelesaian jalur hukum telah dilalui namun tidak membuahkan hasil terkait status kepemilikan tanah adat ini.

Dari permasalahan tersebut dapat dilihat bahwa kepastian terkait tanah adat di Indonesia saat ini masih tidak jelas statusnya. Ketidaksesuaian batas wilayah antara batas lahan versi pemerintah dan masyarakat adat semakin menimbulkan konflik-konflik lainnya baik secara vertikal antara masyarakat adat dengan pihak perusahaan bahkan konflik secara horizontal antara masyarakat adat. 

Hal ini dengan jelas menandakan bahwa hukum di Indonesia khususnya hukum agraria tidak selalu berpihak secara adil salah satunya terhadap masyarakat adat. 

Proses hukum formal yang seharusnya menjadi solusi dan akhir penyelesaian konflik justru semakin menjadi pemicu timbulnya permasalahan yang lebih besar antara masyarakat adat. Jelas di sini dapat dilihat bahwa hukum agrarian tidak sepenuhnya menjadi tameng bagi kepentingan tanah adat.

Berdasarkan konflik tersebut, maka seharusnya ditetapkan aturan yang jelas terkait penguasaan tanah adat termasuk cara-cara pelepasan tanah adat. 

Tujuan ditetapkannya ketentuan pelepasan hak adat agar menghindari konflik-konflik adat yang terjadi baik secara kelompok maupun secara perseorangan antar adat maupun sesame masyarakat adat itu sendiri. 

Terkait deliniasi wilayah adat, pemerintah di wilayah adat terkait perlu melakukan pendataan yang jelas dengan melakukan dialog antar masyarakat adat hingga mencapai kesepatakan yang jelas untuk menghindari sengketa tanah adat. 

Munculnya sengketa-sengketa terkait status kepemilikan tanah adat ini akan mempersulit perencanaan dikemudian hari bahkan akan menghambat pembangunan yang akan dilakukan di daerah. 

Sudah seharusnya hukum agraria terkait tanah ulayat perlu diperbaharui dan diperjelas sesuai dengan realita di lapangan demi mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat khususnya masyarakat adat.

Sumber: 

Anggoro, P. W. (2018). Kearifan Lokal Berbasis Transendental: Kasus Sengketa Lahan Adat Di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional & Call For Papers Hukum Transendental.

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1654e73aad1/prosedur-pengakuan-tanah-ulayat/ (diakses pada : Jumat, 18 Oktober 2019, 10:34)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun