Hal ini dengan jelas menandakan bahwa hukum di Indonesia khususnya hukum agraria tidak selalu berpihak secara adil salah satunya terhadap masyarakat adat.Â
Proses hukum formal yang seharusnya menjadi solusi dan akhir penyelesaian konflik justru semakin menjadi pemicu timbulnya permasalahan yang lebih besar antara masyarakat adat. Jelas di sini dapat dilihat bahwa hukum agrarian tidak sepenuhnya menjadi tameng bagi kepentingan tanah adat.
Berdasarkan konflik tersebut, maka seharusnya ditetapkan aturan yang jelas terkait penguasaan tanah adat termasuk cara-cara pelepasan tanah adat.Â
Tujuan ditetapkannya ketentuan pelepasan hak adat agar menghindari konflik-konflik adat yang terjadi baik secara kelompok maupun secara perseorangan antar adat maupun sesame masyarakat adat itu sendiri.Â
Terkait deliniasi wilayah adat, pemerintah di wilayah adat terkait perlu melakukan pendataan yang jelas dengan melakukan dialog antar masyarakat adat hingga mencapai kesepatakan yang jelas untuk menghindari sengketa tanah adat.Â
Munculnya sengketa-sengketa terkait status kepemilikan tanah adat ini akan mempersulit perencanaan dikemudian hari bahkan akan menghambat pembangunan yang akan dilakukan di daerah.Â
Sudah seharusnya hukum agraria terkait tanah ulayat perlu diperbaharui dan diperjelas sesuai dengan realita di lapangan demi mencapai keadilan bagi seluruh masyarakat khususnya masyarakat adat.
Sumber:Â
Anggoro, P. W. (2018). Kearifan Lokal Berbasis Transendental: Kasus Sengketa Lahan Adat Di Kutai Barat, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Nasional & Call For Papers Hukum Transendental.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1654e73aad1/prosedur-pengakuan-tanah-ulayat/ (diakses pada : Jumat, 18 Oktober 2019, 10:34)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H