Mohon tunggu...
Eva Novi Karina
Eva Novi Karina Mohon Tunggu... -

Pengajar di Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nasib Pendidikan Tinggi dalam Bingkai Pasar Tenaga Kerja

2 Mei 2018   14:14 Diperbarui: 2 Mei 2018   14:17 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini di Indonesia mengakar sebuah pemahaman yang diyakini oleh khalayak ramai bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar pula peluangnya mencapai kesuksesan. Dalam hal ini berarti memiliki kondisi pekerjaan dengan jenjang karier yang baik sehingga berimplikasi pada meningkatnya jumlah pendapatan seseorang.

Pendidikan dipercaya memiliki implikasi langsung terhadap penyerapan tenaga kerja dan tentunya peningkatan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat. Tidak heran ketika permasalahan klasik mengenai tingkat pengangguran di Indonesia diangkat, maka pemahaman linier inilah yang akan dijadikan satunya-satunya kerangka berpikir dalam membingkai permasalahan ini.

Media pemberitaan belakangan ini giat menyoroti permasalahan tingginya jumlah lulusan sarjana yang tidak terserap pasar tenaga kerja. Berdasarkan catatan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), sekitar 8,8 persen dari total 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana. Menanggapi fakta ini, Menristekdikti menyampaikan bahwa persoalan ini berangkat dari relevansi antara kompetensi lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan dunia industri yang masih rendah.

Sebagai konsekuensinya, solusi utama yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah tuntutan bagi pendidikan tinggi untuk mereformasi kurikulumnya agar dapat sesuai dengan kebutuhan dunia industri. Tidak sampai disana, atas rekomendasi Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) saat ini pendidikan tinggi pun dituntut untuk membekali lulusan S-1 dengan sertifikat kompetensi sebagai pendamping ijazah.

Betapa pekerjaan menempati posisi utama dalam memberi makna dan arti penting pendidikan di negeri ini. Semakin jelas pula bingkai pemahaman yang selama ini melandasi arah pembangunan pendidikan di Indonesia, dimana pekerjaan selalu menjadi tujuan dan muara yang paling utama. Namun apakah makna dan fungsi pendidikan tinggi selayaknya hanya dinilai pada kontribusinya terhadap angkatan kerja? Apakah kita hanya bisa mengamini ketika pengembangan sistem pendidikan tinggi di Indonesia hanya dapat dilakukan dalam bingkai pembangunan dan pertumbuhan ekonomi?

Perguruan tinggi sejatinya merupakan wadah bagi geliat akademik dalam memproduksi pengetahuan tentang beragam aspek kehidupan masyarakat secara luas, yang membawa manfaat besar bagi transformasi sosial. Ilmu pengetahuan lahir sebagai manifestasi dari upaya masyarakat untuk menghadirkan jawaban dan penjelasan atas berbagai perubahan dan dinamika yang terjadi di dalam kehidupan.

Melalui kerja ilmu pengetahuan, hadirlah pelbagai pengetahuan yang menjadi pijakan bagi masyarakat untuk mengatasi berbagai kesulitan dan permasalahan yang muncul, seiring dengan dinamika dan perubahan dunia. Lebih dari itu, tercatat dengan tinta tebal di dalam perjalanan sejarah umat manusia di dunia, bahwa ilmu pengetahuan adalah senjata perubahan sosial. Ia adalah instrumen, dan sekaligus menjadi pijakan bagi masyarakat untuk meretas transformasi bentuk kehidupan menuju kepada kondisi yang lebih baik.

Namun kini adalah suatu hal yang lazim di negeri ini, keberadaan dan fungsi dari perguruan tinggi tak ubahnya seperti pabrik yang memproduksi buruh dengan keterampilan dan kompetensi yang siap pakai. Upaya merestrukturisasi budaya akademis agar sesuai dengan prinsip pasar telah mengarah pada komodifikasi pendidikan yang mendorong lulusan untuk bersikap pasif dan instrumental. Konsekuensinya adalah muncul ancaman terhadap pengembangan pengetahuan dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi.

Lulusan dan kurikulum pendidikan sarjana dirancang semata-mata agar sesuai dengan kebutuhan pasar yang mengedepankan ilmu-ilmu terapan dan meminggirkan ilmu-ilmu yang menjelaskan fondasi ontologi dan epistemologi suatu disiplin ilmu. Akibatnya adalah tenaga dan peserta didik terjerumus dalam batas-batas pengetahuan yang sempit.

Perguruan tinggi, yang hakikatnya merupakan wadah bagi bekerjanya ilmu pengetahuan, tidak pernah dinilai berdasarkan ukuran mengenai kiprahnya terhadap perbaikan kondisi kehidupan masyarakat. Tampak seakan arti penting pendidikan dan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas tempat untuk mendapatkan keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan guna mendapatkan pekerjaan. Sehingga cukup diukur dan direduksi berdasarkan reputasinya di kalangan pemberi kerja.

Tidak heran jika perguruan tinggi tidak bergairah untuk menggerakkan aktivitas keilmuan guna meretas transformasi sosial di masyarakat. Kalaupun ada, wujudnya didominasi oleh program-program pengabdian masyarakat dan penelitian yang berujung pada transformasi kehidupan masyarakat di berbagai wilayah menuju terciptanya kondisi-kondisi yang sesuai bagi kebutuhan akumulasi kapital skala nasional dan global. Program-program yang mendorong transformasi struktur ekonomi masyarakat yang menjadikan kehidupan mereka tersedot ke dalam rantai produksi kapitalis global.

Sebaliknya, laju pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia selama beberapa tahun terakhir terus saja digerakkan oleh semangat dan ambisi untuk menjadi universitas kelas dunia. Menjadi universitas yang terkemuka di dunia, namun tidak mampu memperbaiki kehidupan masyarakat di sekitarnya. Universitas yang tampak memukau di mata dunia, namun justru tak berarti di tengah kehidupan masyarakat sekitarnya yang terus digelayuti kemiskinan dan penindasan.

Demikianlah, kondisi dan arah perkembangan pendidikan di Indonesia yang diperbudak dan digerakkan untuk memenuhi pasokan tenaga kerja yang selaras dengan kebutuhan industri, justru menjadi semakin jauh dari peran pentingnya sebagai pijakan bagi transformasi sosial menuju kehidupan berkeadilan sosial. Oleh sebab itu bingkai sempit neksus pendidikan dan pekerjaan harus segera ditinggalkan. Pendidikan, sejatinya, memiliki kekuatan dan cita-cita yang lebih besar ketimbang hanya diabdikan sebagai wadah produksi dan reproduksi tenaga kerja semata.

Catatan: Artikel ini telah dimuat di kolom opini "Qureta" tertanggal 2 Mei 2018.
https://www.qureta.com/post/nasib-pendidikan-tinggi-dalam-bingkai-pasar-tenaga-kerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun