Mohon tunggu...
Euis Pupu
Euis Pupu Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan Anak Usia Dini (Magister PAUD)

Semua orang akan mati kecuali karyanya, maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak - Ali bin Abi Thalib-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingkah Kajian Teori Kritis untuk Pendidikan Anak Usia Dini?

20 Januari 2022   05:19 Diperbarui: 20 Januari 2022   05:23 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pentingkah Kajian Teori Kritis untuk Pendidikan Anak Usia Dini?

Oleh :

Euis Pupu


Mengapa kita harus mempelajari teori kritis? kalau ingin bercita-cita menjadi dosen merasa perlu akan teori kritis tapi kalau kita ingin berkiprah sebagai guru, kenapa kemudian seorang guru harus mempelajari teori-teori yang kelihatannya seolah-olah tidak relevan dengan kehidupan anak usia dini.

Teori Kritis berpijak pada suatu pandangan umum tentang hakikat realitas sosial. Menurut Habernas ingin membebaskan penindasan yang menganggap rasionalaitas modern dianggap suatu kebenaran dan dijadikan pijakan dalam norma-norma sosial. (Tjahyadi, 2003). Demikian pula dalam pendidikan anak usia dini, kita lihat permasalahan yang kerap muncul adalah anggapan yang melihat anak-anak sebagai orang yang belum dewasa. Sehingga, orang dewasa merasa sangat berkuasa terhadap anak-anak. Sekolah dijadikan sebuah mekanisme untuk membantu anak-anak bertransformasi menjadi orang dewasa. Negara-negara barat memiliki kebijakan yang cukup ketat mengenai pendidikan dengan menetapkan standar atau kurikulum yang cenderung “mengikat” para pendidik. Namun, dengan melihat PAUD secara luas, kita dapat memiliki kebebasan dalam mengkaji dunia PAUD dan juga dalam mendidik anak-anak. Sehingga, para pendidik dapat menemukan sebuah solusi yang lebih tepat terhadap suatu permasalahan guna menghasilkan anak didik yang berkembang secara optimal.

Kita tahu bahwa yang namanya ilmu pengetahuan itu harus bersifat rasional harus bersifat objektif dan harus dapat diukur, ini yang kemudian juga dikritik oleh pendekatan teori teori kritis karena tidak selamanya aspek perilaku bisa diukur. Misalkan dalam  perkembangan anak usia dini kalau kita cermati tidak bisa di terapkan kepada seluruh anak di dunia dengan segala keunikannya. Sebagai pendidik yang berfikir kritis tidak bisa menyamaratakan perkembangan anak begitu saja. Dengan melihat latar belakang orang tua ataupun lingkungannya, budaya serta pekerjaan orang tuanya, letak geografis dan lain sebagainya sehingga menciptakan keragaman, perbedaan, mayoritas dan minoritas. Hak anak sebagai insan yang dididik disana mempunyai hak dengan kebijakan pendidikan yang berbeda pula.

Teori kritis membantu mereka yang minoritas bahkan mayoritas tidak dapat menyuarakan pendapatnya. Tujuan teori kritis ini memberikan jalan untuk bisa membukakan cara berpikir manusia terkait keadilan dalam pendidikan. Menyuarakan ketidakadilan itu dapat dilakukan dengan pentingnya teori kritis dalam pendidikan anak usia dini. Teori kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah anggapan sosial (Eka & Wuryanta, n.d.).

Dan pada dasarnya mengubah teori kritis mau menjadi praktis. Sebagai contoh ukuran Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA), merupakan kriteria minimal tentang kemampuan yang dicapai anak pada seluruh aspek perkembangan dan pertumbuhan yang serta mencakup aspek nilai agama dan moral, fisik-motorik, kognitif, bahasa, sosial-emosional, serta seni. Hal tersebut akan menjadi berbeda apabila keterukuran diterapkan di dua tempat, situasi, anak yang berbeda misalkan di desa dan kota.

Dalam pemenuhan mengembangkan enam aspek perkembangan menjadikan sebuah pandangan yang menjadikan dunia kanak-kanak sebagai ladang bisnis. Dunia mencekoki orang tua mengenai standar ideal mengenai cara menjadi orang tua yang baik. Ditambah juga dengan semakin bermunculannya industri-industri mainan, pakaian, makanan, bahkan obat untuk anak-anak. Anak-anak dan dunianya menjadi tempat yang menarik untuk mencari keuntungan.

Seringkali orang dewasa dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan anak sering melakukan penyimpangan dan selama ini kita anggap benar. Kita melihat anak-anak sebagai pihak yang tidak berdaya atau tidak memiliki kemampuan, sehingga anak-anak dianggap harus dilindungi, dilayani, dan dipenuhi semua kebutuhannya.

Orang dewasa dianggap sebagai pihak yang lebih tahu dibandingkan anak-anak karena memiliki rasionalitas yang lebih tinggi. Hal ini membuat hilangnya kesempatan anak-anak untuk menunjukkan dirinya atau kemampuannya, serta relasi yang tidak seimbang juga antara anak-anak dan orang dewasa. Orang dewasa pun perlu untuk melakukan dialog dengan anak-anak, mencoba memahami keinginan anak-anak, dan menjadi rekan bagi anak untuk memahami dirinya sendiri. anak-anak harus diajak kerkomunikasi dan didengarkan serta ditanggapi dengan serius.

Tubuh anak-anak ditimbang dan diukur dibawah pengawasan ilmiah. Seperti minat anak-anak, imajinasi, nilai keagamaan,  sikap, menggambar, bermain boneka, sosio drama karena yang paling penting bagi kita, tahapan pertumbuhan mereka. Awal mula pendekatan perkembangan ilmiah mulai dikenal dan dilanjutkan melalui karya Jean Piaget (1896-1980), pada awal abad ke-20.

Piaget memandang bahwa tahapan perkembangan kognitif sebagai struktur pemikiran yang seragam. Akan tetapi konsep operasional konkret tidak tidak muncul serempak, kemampuan kognitif dapat muncul lebih lambat (Mu’min, 2013).  Mereka tidak memikirkan anak yang berkebutuhan khusus, misalkan buta ataupun lumpuh.

Disini fungsi teori kritis terlihat jelas, dimana keadaan yang tertindas menjadi lebih diakui keberadaannya. Tidak selamanya pengetahuan itu terstruktur, namun adakalanya menyesuaikan dengan apa yang mereka tinggali. Baik teori dan kebijakan tidak selamanya benar, namun kebenaran dilihat dari berbagai persfektif.

Pendidikan anak usia dini baik formal dan nonformal melayani perkembangan anak. Dengan melihat kebutuhan akan sarana dan prasarana lembaga dalam menunjang perkembangan anak, membuat persfektif baru di dunia pendidikan khususnya pendidikan anak usia dini. Capaian suatu lembaga secara tidak sadar dipengaruhi oleh system kapitalistik yang dapat menindas kaum di bawah kaum menengah.

Lembaga PAUD yang berkualitas dianggap yang bisa menyajikan pelayanan yang maksimal baik dari sumber daya manusia, tempat dan sarana prasarana pendukung. Imbas dari anggapan tersebut menjadikan pola penerimaan peserta didik yang secara tidak sadar hanya menerima kelas menengah ke atas. Dimana orang tua yang bisa memenuhi biaya yang menjadi standar anggran pembiayaan lembaga tersebut.    

Dampak pedagogis terjadi hilangnya yang bermakna, yang dialogis, dan internally-driven. Murid dijadikan konsumen pembelajaran yang terstandar seperti produk. Dampak pada siswa adalah hilangnya kecintaan dan kenikmatan belajar. Belajar hanya tuntutan semata, hilangnya agensi sebagai pembelajar. PAUD berfokus pada democratic citizenship bukan tuntutan pasar, berfokus pada komunitas bukan individual success, kurikulumnya tidak mengikuti standar tertentu, tapi mengakomodasi keragaman anak, projek (jangka pendek, menengah dan panjang), bukan worksheet, dokumentasi pembelajaran untuk refleksi pengembangan pembelajaran, bukan akuntabilitas performa.

Dampak psikologis yang terjadi adalah terbetuknya manusia-manusia yang kompetitif, ambisius mengejar performa, supersibuk, pekerja keras, siap bekerja lembur, selalu merespon WA dengan cepat. Terbentuknya sifat individualisme dan juga terlalu memandang bahwa adanya contoh dari diri sendiri. Agar mampu berfikir kritis mengenai kehidupan kapitalisme barat, contoh yang satu ini biasanya akan menjadi pikiran di dalam masyarakat kita untuk selalu mengejar karir dan juga secara keseluruhan di dalam  hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA

 

Eka, A. G., & Wuryanta, W. (n.d.). Teori Kritis dan Varian Paradigmatis dalam Ilmu Komunikasi.

Mu’min, S. A. (2013). Teori Pengembangan Kognitif Jian Piaget. Jurnal AL-Ta’dib, 6(1), 89–99. https://ejournal.iainkendari.ac.id

Tjahyadi, S. (2003). Teori Kritis Jurgen Habermas (Asumsi Asumsi Dasar Menuju Metodologi Kritis Sosial) Sindung Tjahyadi JURNAL. Jurnal Filsafat, 34(2), 180–197.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun