Senja. Disaat anak kecil sedang bermain bersama teman-temannya diluar rumah. Aku duduk dengan tenang bersama tumpukan pakaian menemani ibuku.
Ibuku menarik nafas dan membuangnya pelan-pelan....sepertinya akan mengatakan sesuatu. Aku tak beranjak dari tempat dudukku.
Ibu terdiam dengan wajah serius. Hingga ia mulai berbicara, bukan sekedar berbicara namun ada pesan mendalam tentang apa yang dialaminya selama berjuang untuk menggapai cita-citanya. Suaranya berirama sama dengan cerita yang disampaikannya. Bukan dongeng bukan pula khayalan.
Inilah cerita ibuku:
   Dulu, waktu ibuku masih duduk di bangku SD, sebagai anak pertama  memiliki tanggung jawab besar. Sebelum pergi sekolah, ia harus melakukan banyak pekerjaan terlebih dahulu. Ia rela mengorbankan waktunya untuk membantu pekerjaan rumah. Tak jarang harus terlambat ke sekolah.
   Setiap pagi, ia harus membawa 2 ember berisi pakaian melewati jalanan curam....jarak tempuh yang cukup jauh dari rumahnya. Tubuh mungilnya tak mengenal rasa penat melakukan itu semua.
Ia selalu ingat pesan nenek untuk tidak bersantai-santai, mau bekerja keras dan menjadi contoh yang baik untuk adik-adiknya.
Ibu punya keinginan besar yang belum tentu terlintas di pikiran anak kecil saat itu.
Ya...keinginan untuk memakai gamis dan kerudung besar. Namun nenek dan keluarga besar kurang mendukung dengan alasan masih kecil ...teman-temannya pun tidak ada yang seperti itu.
   Tidak berhenti disitu, ibu berpikir bagaimana caranya agar bisa mewujudkan apa yang dicita-citakannya tanpa merepotkan kedua orang tua. Keterampilan membuat kerajinan tangan menjadi sebuah karya  yang bisa menghasilkan rupiah ia tekuni, sampai akhirnya gamis perdana....mulai dari membeli kain sampai gamis itu siap dikenakan terwujudkan.
Senang, bahagia sekaligus bangga. Syukur tak henti dipanjatkan kepada Yang Maha Mengatur segalanya. Nenek pun luluh dan menerima melihat kesungguhannya.
   Tak pernah terbayangkan olehkui. Yang aku pikirkan hanyalah ibu memang sudah berasal dari keluarga yang menjaga hijab. Ternyata tidak, dari awal keinginan besarnya menutup aurat dan mendapat penolakan keluarga...tidak menyurutkan semangatnya. Hidayah pun datang.....nenek serta yang lainnya turut mengenakan kerudung.
   Disaat usia menginjak masuk kuliah. Ibu lulus di salah satu perguruan tinggi negeri di ibu kota.
Namun hanya bertahan 3 bulan saja, selain masih harus beradaptasi dengan lingkungan baru, ia merasa banyak ketidak nyamanan dengan fenomena yang dilihatnya di kos yang ditempatinya.
Hingga suatu saat.....
   Ia masuk ke mushalla kampus. Usai shalat ia berdoa dengan penuh pengharapan ....akan datangnya sebuah petunjuk. Ia ingin tempat yang lebih baik, membimbing dan menguatkannya di jalan yang benar.
Sesaat ia menengok ke sudut mushalla dan dilihatnya ada lembaran kertas. Diambillah lembaran itu, kemudian dibaca dengan seksama. Itulah brosur lembaga kursus bahasa arab, namun tempatnya cukup jauh dari kampus.
   Mulailah ibu berpikir untuk mengambil keputusan, berhenti kuliah di kampus tersebut...pindah kos....mendaftar kursus bahasa arab sebagai bekal sebelum mendaftar ke sebuah perguruan tinggi bahasa arab yang sangat diimpikannya saat masih duduk di bangku SMA....iya ibu ingin fokus mempelajari bahasa arab.
   Ibu pulang ke kampung untuk menemui keluarga, sambil  berdoa memohon kemudahan dalam mengutarakan isi hatinya...memulai pembicaraan dengan pelan-pelan, karena ia pun menyadari bahwa keputusan itu begitu tiba-tiba.
   Awalnya nenek sangat kaget, bagaimana tidak karena mendaftar di tempat baru sama dengan membiayai dari nol. Belum lagi masih ada adik-adik yang sama butuh biaya sekolah.
"Hmmm....boleh saja, tapi biaya sendiri ya".....ungkap nenek.
Jawaban seperti itu tidak membuat semangat ibu turun.
"Terima kasih atas perkenannya....duhai ibuku, in sya Allah saya akan lebih bersungguh-sungguh, mohon doa restu semua". Ucap ibu.
Setelah meyakinkan bahwa pilihannya bukan dipaksa atau dipengaruhi orang lain, ibu pun menjelaskan rencana ke depan dan juga gambaran dari kampus baru tersebut.
   Sebenarnya tidaklah asing di telinga mendengar nama kampus  tersebut, dan yang di pahami keluarga bahwa kuliah disana  gratis bahkan dapat uang saku bulanan. Setidaknya mungkin lebih meringankan bagi keluarga. Namun saat itu ibu belum berani mendaftar karena  kemampuan bahasa arabnya yang masih sedikit.
   Setelah berpamitan dan mendapat restu, kembalilah ibu ke tempat kos semula untuk merapikan barang-barangnya berpindah menuju tempat baru. Sisa uang yang ada harus diatur dengan baik untuk membayar kontrakan baru dan biaya hidup sehari-hari.
   Suasana ibu kota yang sangat jauh berbeda dengan keadaan di kampung yang tenang menjadi tantangan untuk terus berjuang, berpetualang bersama hiruk pikuk diantara para pendatang dengan beragam latar belakang serta tujuan yang berbeda.
Tekadnya...harus membawa perubahan kepada yang lebih baik, menggunakan kesempatan dengan sebaik-sebaiknya, mencari dan menimba ilmu, selektif memilih teman agar tidak terbawa arus.
Iya, keyakinan yang dimiliki bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan perjuangan yang diniatkan untuk mencari ridha-Nya. Seberat apapun ujian dan rintangan tetap harus dihadapi dan dijalani.
   Laju metromini begitu cepat....bergegaslah ibu berdiri sebelum sampai di pertigaan jalan mendekat ke arah pintu bus tanggung itu sambil memberi kode hendak turun.
"Mampang prapatan......mampang prapatan....siap-siap". Seru kondektur
Turun dari metromini tidak menunggu kendaraan itu berhenti sempurna...bahkan nyaris loncat tidak seperti turun dari angkot. Begitulah sudah menjadi kebiasaan umum...padahal ibu mengenakan gamis sambil menenteng barang pula.
Rupanya....untuk sampai ke tempat baru masih harus naik bajaj saat itu. Namun ia memilih jalan kaki saja agar bisa menghemat, sendal putu s jadi saksi bisu.
Yakin akan pertolongan Allah, setelah kesusahan akan datang kemudahan.
   Benar.....beberapa hari kemudian, ada tawaran kerja menjadi Tata Usaha di tempat ibu  kursus bahasa arab yang lokasinya memang  tidak jauh dari tempat ibu tinggal. Beasiswa kursus bahasa arab intensif pun diraihnya setelah melewati ujian.
   Setelah berjalan satu bulan bekerja, sebagai bentuk rasa syukur....ungkapan bahagia dan kasih sayang terhadap keluarga, beberapa tas sederhana dibelinya dari gaji perdana untuk adik-adiknya yang sudah sekolah juga sedikit uang untuk nenek. Ia titipkan kepada  tetangga di kampung yang kebetulan bekerja tidak jauh dari tempat kursus.
Menyusul kemudian keluarlah pengumuman kelulusan di kampus baru, ada nama ibu tertera. Haru, bahagia....bersyukur atas limpahan karunia yang ia peroleh.
Setiap pulang kuliah, ibu masuk kerja sampai jam 9 malam.
   Beberapa bulan kemudian, sepeda bekas menjadi pilihannya sebagai sarana transportasi khusus jarak dekat saja. Alhamdulillah ada bengkel sepeda yang menjual sepeda lama dengan harga terjangkau....jadi bisa keliling komplek dan ziarah ke rumah teman.
******
   Terima kasih untuk ceritanya duhai ibu....semoga menjadi penyemangat agar aku bisa lebih baik dan pandai bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepadaku.
Selamat berjuang......perjalanan masih panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H