Mohon tunggu...
Eugenia Naomi
Eugenia Naomi Mohon Tunggu... Lainnya - Product Marketing Specialist | Political Graduate | Urban and Housing Studies Enthusiast

Hanya menulis tentang pengetahuannya mengenai isu sosial dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Yesus, Marxisme dan Feminisme

18 Juni 2023   20:32 Diperbarui: 26 Juni 2023   09:09 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada hari Minggu, tentu sudah menjadi kewajiban umat Kristiani untuk beribadah. Beribadah, bagaimana pun juga bentuknya, bisa diartikan esensinya sebagai salah bentuk penghormatan umat kepada Tuhan sehingga mereka diharapkan dapat memberikan satu hari istirahatnya untuk memuji dan memuliakan nama-Nya. 

Akan tetapi, bagi umat seperti saya, keputusan untuk bertahan memeluk agama yang diwariskan kedua orang tua saya ini bukan semata-mata saya memang ingin mengikuti semua tradisi yang diajarkan agama tersebut. Pertama, saya pribadi pernah mengidentifikasi diri sebagai seorang agnostik; percaya adanya kekuatan lain yang lebih besar daripada Tuhan dan manifestasi agama hanyalah bagian dari akal-akalan manusia dalam membentuk sebuah ideologi ekstrim. Kedua, kehidupan akademis yang mendorong dialektika kepercayaan saya akan Tuhan melalui pemahaman-pemahaman modern yang saya kenal, seperti Marxisme dan Feminisme. 

Saya tidak mengatakan kedua pemikiran kontemporer tersebut lebih unggul daripada konsep ke-Tuhanan dan agama yang cenderung diidentikan dengan masalah sosial di era ini, yakni fanatisme dan populisme. Bagi saya, ideologi manapun akan mendorong nilai-nilai tersebut bilamana ia diyakini sebagai sesuatu yang absolut, mutlak, dan radikal. Tulisan saya ini juga tidak bertujuan untuk menyudutkan salah satu pemahaman karena menurut saya manapun tak ada yang lebih baik. Saya punya banyak kritik terhadap masing-masing pemahaman berdasarkan sudut pandang saya setelah mempelajari agama dan filsafat. 

Mengutip pemikiran Marx, agama adalah ideologi ekstrim yang mampu mendoktrinasi manusia dalam hal berpikir, bertindak, dan berprilaku. Namun, ia tidak mengatakan hal tersebut untuk mengkritik Tuhan sebab masalah utama yang ia temukan bukan terletak pada Sang Pencipta, melainkan manusia-manusia yang bermain di belakang panggung agama. Ia menilai agama sebagai ideologi yang bertindak sebagai opium bagi rakyat, kemudian hal ini dimanfaatkan oleh "kelas-kelas penguasa" untuk menjaga status quo dan menindas kelas pekerja. 

Perhatikan bahwa Marx di sini jelas memiliki pemahaman kritis terhadap kondisi kelas pada masa itu, sehingga tak dapat diartikan bilamana pemikirannya bertujuan mengajak pengikutnya untuk menjadi seorang atheis walaupun mungkin bisa menjadi salah satu dasar kuat yang mendorong munculnya "ketidakpercayaan" tersebut. Itu pun tak bisa diyakini serta merta karena untuk membuat seseorang "percaya" dan "tidak percaya" bukan hanya didasarkan pada pemikiran Marx, tetapi pengalaman hidup orang tersebut yang tentu lebih berperan besar dalam prosesnya mencari Tuhan. 

Kembali lagi, tulisan saya kali ini bukan ingin menyudutkan pemahaman mana yang salah dan mengglorifikasi mana yang benar. Nyatanya, tulisan ini menjadi bentuk penghormatan saya kepada Yesus, tokoh inspirasional yang sedikit banyak mendorong saya untuk hidup seperti diri-Nya. 

Menariknya, sepanjang saya mempelajari filsafat di bangku kuliah, saya setidak-tidaknya menemukan benang merah dasar-dasar pemikiran Marxisme dan Feminisme dari sosok Yesus. Ketika saya berani mengatakan diri saya sebagai seorang feminis, maka itu tidak bisa lepas kaitannya dari bagaimana peran Yesus mampu menggerakkan hati saya untuk membela perempuan yang kerapkali menjadi korban tertindas dan kelompok marjinal dalam lingkup sosial, budaya, politik, dan ekonomi. 

Budaya dan agama yang terbangun seringnya menempatkan dominasi pria di atas perempuan, sehingga hal itu berdampak kepada bagaimana manusia menormalisasi dan meromantisasi hal tersebut ke dalam lingkup sosial, politik, dan ekonomi. Bagaikan siklus lingkaran setan, perempuan tidak mampu keluar dari hal-hal yang membuat mereka direpresi. Begini misalnya, perempuan desa yang lahir dalam kondisi ekonomi keluarga rentan, dipaksa untuk bekerja menghasilkan uang agar saudara laki-lakinya mampu membayar mahar yang mahal dan mengadakan resepsi pernikahan adat. 

Budaya patriarkis memaksa perempuan harus tunduk kepada laki-laki sebagaimana mereka percaya laki-laki adalah wajah dari keluarga itu sendiri. Laki-laki adalah pemberi kejayaan dan pengangkat derajat keluarga, begitulah yang selalu mereka tekankan. 

Sementara perempuan? Ia hanya dihadapkan pada pilihan menikah dengan saudagar kaya untuk mengangkat derajat orang tua atau mengurus keluarga di rumah. Tak berniat merendahkan posisi mulia tersebut, tetapi saya hanya mengkritisi bagaimana kondisi-kondisi ini menempatkan perempuan pada ruang yang tidak bebas bagi mereka bergerak dan berkembang. Bahkan, dalam tatanan masyarakat, politik dianggap sebagai salah satu cara terakhir yang paling efektif dalam mengubah status quo, hanya saja kembali lagi representasi perempuan yang terbatas membuat kepentingan-kepentingan perempuan selalu terabaikan. 

Setidak-tidaknya, ketika saya mempelajari filosofi Marxisme dan Feminisme, itu membuka mata dan hati saya untuk tidak menjadi buta pada situasi dan kondisi masyarakat yang terjadi pada masa kini; ketidak-adilan dan minimnya rasa keberpihakan. Namun, lebih dari sebelum saya mengenal dua pemikiran kontemporer hebat ini yang telah berhasil mengubah tatanan dunia dan pemahaman manusia akan kondisi yang ada, kedua nilai tersebut saya yakini sudah dibangun oleh Yesus Kristus (Isa Almasih) sendiri sepanjang kehidupan-Nya di di dunia (itu yang diyakini oleh orang-orang Kristiani dan Muslim).

Sebelum lebih jauh membahas mengenai hal tersebut, saya pernah menjadi seorang gadis kecil yang dididik untuk mencintai Tuhan saya melalui gereja dan sekolah minggu. Sedari kecil, nilai-nilai cinta akan agama sudah ditanamkan oleh kedua orang tua saya agar saya lebih mengenal Tuhan saya. 

Dimulai dari dibaptis secara Katolik, disekolahkan di institusi pendidikan berbasis agama yang sama dengan orangtua saya, sampai mereka berusaha memasukkan saya pada organisasi dan/atau komunitas anak muda di gereja saya (walaupun rencana ini gagal karena saya memutuskan untuk keluar). Lingkungan inilah yang membuat saya setidak-tidaknya mengenal siapa itu sosok Yesus dan bagaimana pada akhirnya cara penginjilan-Nya menginspirasi pemikiran saya hingga berhasil membantu proses pencarian iman saya. 

Mengapa saya terinspirasi dengan Yesus? Sebab tak lain tak bukan adalah saya menemukan benang merah di antara nilai-nilai penginjilan Yesus dengan filosofi Marxisme dan Feminisme. Menariknya, cara penginjilan Yesus sudah ada di dunia lebih dulu daripada kedua pemikiran kontemporer itu. 

Jauh sebelum Marx mengkritik agama Katolik yang menyelewengkan kekuasaan, Yesus sudah hadir sebagai "Juruselamat". Mungkin saja bila ketokohan Yesus hadir setelah Marx ataupun peristiwa Women's suffrage di awal abad ke 18, pengikut-Nya akan mengidentifikasikan diri sebagai pendukung Yesuisme dibanding menggunakan istilah "Kristiani", mengingat apresiasi manusia terhadap sosok-sosok yang dinilai sebagai pencetus pemikiran itu hanya menggabungkan nama si tokoh dengan penggalan -isme. 

Mungkin juga dibandingkan mengidentifikasi diri sebagai Kristiani, saya akan lebih nyaman menyebut diri ini terpengaruh dengan ideologi Yesuisme. Kembali lagi, Yesus adalah Tuhan, bukan sekadar tokoh masyarakat, sehingga saya tetap harus menggolongkan diri ke dalam sebuah agama yang meyakini Yesus adalah Tuhan. Setidaknya begitu cara pikir saya memandang posisi agama di hidup saya untuk saat ini.

Sepanjang saya mempelajari penokohan Yesus, saya menemukan banyak pengajaran dan sikap Yesus yang sangat relevan dengan masyarakat miskin dan perempuan dalam Alkitab. Di dalam Injil, Yesus menunjukkan kepedulian dan perhatian yang besar terhadap orang-orang yang terpinggirkan, termasuk masyarakat miskin dan perempuan. Ia secara konsisten menunjukkan kepedulian dan kasih-Nya terhadap orang-orang miskin dan yang menderita dengan menghabiskan waktu bersama mereka, mendengarkan cerita mereka, dan memberikan penghiburan serta pertolongan. 

Sama seperti Marx, bahkan Yesus lebih dulu mengutuk ketidakadilan sosial dan kemunafikan para pemuka agama dalam kondisi-kondisi tertentu. Kedua konsep menunjukkan perhatian terhadap masyarakat yang miskin, tertindas, dan terpinggirkan, serta menyoroti pentingnya berbagi sumber daya dan menciptakan kesetaraan dalam masyarakat. Ketika Yesus lebih dulu mengajarkan tentang pentingnya berbagi harta dengan orang miskin, Marxisme melahirkan pemikiran yang menekankan kepemilikan bersama dan redistribusi kekayaan dalam rangka mencapai kesetaraan sosial.

Ibaratnya, Yesus berusaha mengubah kondisi ketidakadilan dengan keberpihakannya pada kaum papa dengan menekankan perubahan hati dan transformasi moral. Berbeda dengan Marx yang memang menekankan materialisme dalam pemikirannya, perubahan sosial harus dicapai melalui perubahan struktural dan revolusi sosial. 

Kemudian, penokohan Yesus ini bisa dibilang menjadi salah satu yang mendasari spirit feminisme di hidup saya. Perlu diketahui ketika saya mempelajari feminisme, saya juga mencoba mempelajari argumen-argumen yang sering diajukan oleh beberapa kelompok feminist atheis terkait penempatan posisi perempuan dalam kitab-kitab samawi, seperti Alkitab. Pertama, dalam pandangan mereka, agama mendorong diskriminasi gender dengan adanya ayat-ayat yang menetapkan peran dan tanggung jawab perempuan dalam struktur keluarga dan masyarakat yang patriarkal, atau pengajaran yang melarang perempuan untuk mengambil peran kepemimpinan dalam konteks keagamaan. 

Kedua, kitab-kitab samawi diduga memposisikan perempuan sebagai subordinat atau di bawah kekuasaan laki-laki, seperti pertanyaan yang kerap mereka ajukan "mengapa Tuhan harus diidentifikasikan sebagai laki-laki dengan penggunaan subjek He dalam Bahasa Inggris? Bukannya memungkinkan bila penggunaan subjek untuk Tuhan adalah she?". Ketiga, mereka memandang kitab samawi menggambarkan perempuan adalah penggoda yang membuat manusia jatuh ke dalam dosa pertama kalinya, sehingga hal ini melahirkan budaya patriarkis dan seksis yang menempatkan sosok perempuan sebaiknya di bawah laki-laki untuk menghindari kemaksiatan manusia. 

Keempat, mereka juga memperhatikan bahwa banyaknya peraturan hukum yang sangat mengatur sikap dan perilaku perempuan, sehingga hal tersebut dianggap tidak adil terhadap perempuan dalam penggambaran kitab-kitab samawi. 

Namun, saya menyadari ketika saya mempelajari Perjanjian Baru dalam alkitab, sedikit banyak saya tergugah dengan penggambaran perempuan di dalam kitab ini. Setidaknya, saya meyakini bahwa perjanjian ini berusaha menaikkan derajat perempuan dengan kemunculan beberapa karakter perempuan hebat seperti Maria, ibu Yesus. 

Narasi mengenai perempuan pun menjadi lebih positif dibandingkan dalam perjanjian sebelumnya dengan adanya konsep pemulihan, pengampunan, dan kasih yang mencakup semua orang, tanpa memandang gender. Perjanjian Baru ini nampaknya memberikan ilham baru bagi umat Kristiani untuk memandang perempuan dengan cara yang lebih baik dibandingkan sebelumnya, terlebih karena Yesus berhasil memberikan peran yang signifikan kepada perempuan dalam pelayanan-Nya, dan murid-murid perempuan seperti Maria Magdalena dan Maria, ibu Yakobus, tercatat dalam kisah-kisah Injil.

Yesus mengajarkan nilai kesetaraan dan martabat semua individu di hadapan Allah. Ia menunjukkan perhatian khusus terhadap perempuan dalam masyarakat yang pada saat itu sering kali dianggap rendah. Ia berinteraksi dengan perempuan secara terbuka, menghormati mereka, dan memperhatikan masalah-masalah yang mereka hadapi. Tak bisa diabaikan, pengajaran dan tindakan-Nya yang membebaskan dan memberdayakan individu, termasuk perempuan, mendorong empati kuat seorang feminis seperti saya dalam memandang keberpihakan Yesus terhadap kelompok perempuan.

Ia menghadapi norma dan tradisi sosial yang menindas perempuan pada zamannya dan menentangnya, seperti hukuman melempar batu kepada para perempuan yang dicap "pelacur". Secara tegas, Ia mengkritik pemberian hukuman tersebut dengan menekankan sikap bahwa tak ada yang pantas menghakimi seseorang lebih dari Tuhan, bahkan Tuhan sekalipun tak pernah menghakimi manusia lebih dari manusia itu sendiri. Ajaran-ajaran Yesus tentang cinta, belas kasihan, dan keadilan sosial inilah yang mendasari nilai-nilai feminisme, setidaknya dalam diri saya sendiri.

Itulah mengapa saya begitu terinspirasi dengan penokohan Yesus, bisa dibilang saya ngefans banget dengan cara penginjilan-Nya. Yesus berhasil menunjukkan kepada saya bahwa rasa keberpihakan seharusnya bukan hanya sekedar nyangkut di buah pemikiran saja, melainkan kita mampu mengejawantahkannya sebagai aksi nyata. Dengan kata lain, Yesus bertindak bukan hanya sekadar mencetuskan premis-premis keilmiahan. Ibarat kata, bagus ketika kita memiliki cara pandang untuk berpihak pada kelompok miskin dan perempuan yang tertindas, tetapi lebih dari itu, mempercayai Yesus berarti saya juga dituntut untuk bertindak karena spirit Kristiani adalah perbuatan.

Sebagaimana yang ditekankan dalam alkitab, iman tanpa perbuatan hakikatnya mati. Maka, mengidentifikasi diri sebagai seorang dengan pemikiran kritis feminis tanpa berbuat apapun hakikatnya omong kosong belaka. Itu sebabnya, saya ingin terus berupaya melakukan yang terbaik untuk mengubah tatanan sosial masyarakat yang masih memarjinalkan masyarakat miskin dan perempuan. Semua itu saya lakukan juga untuk memuji dan memuliakan Yesus sebagai sosok yang saya idolakan sampai saat ini. Tuhan memberkati...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun