Haikal juga menekankan hak-hak kaum perempuan yang harus dijunjung tinggi. Menurutnya, perempuan juga memiliki kebebasan untuk berkiprah dalam masyarakat dan wajib dihormati sepanjang tidak mengganggu kepentingan masyarakat lainnya. Pembicaraan mengenai sistem pemerintahan harus menyangkut banyak hal, seperti sistem ekonomi, moral, kemasyarakatan, terutama yang menyangkut keadaan damai dan perang, agama dan ilmu, serta lainnya. Ia menekankan bahwa sebuah pemerintahan Islam harus berdasarkan pada tiga prinsip dasar Negara Islam, yaitu:
- Prinsip persaudaraan sesama manusia. Â Hal ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi mengenai persamaan antar manusia, Islam juga menekankan pentingnya persaudaraan tanpa membeda-bedakan warna kulit, kebangsaan, dan bahasa. Islam tidak mengutamakan orang Arab maupun non Arab. Islam menghapuskan perbedaan-perbedaan antara manusia yang satu dengan lainnya. Baginya, tindakan Nabi secara tidak langsung mrnjadi landasan dasar bagi umat Islam dalam menjalin persaudaraan. Jalinan persaudaraan ini juga berlaku di antara umat Islam dan umat non-Islam sebagaimana Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana pentingnya menjalin persaudaraan dengan umat non-Islam.
- Prinsip persamaan antarmanusia. Prinsip ini menjadi penting dari negara Islam. Bagi Haikal, setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam aspek kehidupan bernegara, termasuk aspek hukum atau keadilan. Tidak boleh ada perlakuan khusus terhadap seseorang dalam permasalahan hukum, sekalipun orang tersebut adalah seorang pemimpin. Persamaan ini tidak hanya sebatas yang ditetapkan undang-undang saja, tetapi juga mencakup persamaan manusia di hadapan Allah. Islam sama sekali tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan rezeki, ilmu, dan hal-hal duniawi lainnya.
- Prinsip kebebasan. Bagi Haikal, kebebasan adalah sesuatu yang esensial dalam kehidupan manusia. Kebebasan menjadi hak setiap individu, selama hak tersebut tidak merugikan dan mengganggu kebebasan orang lain. Dalam Islam, kebebasan jsutru memiliki makna dan bentuk yang lebih luas. Kebebasan ini mencakup kebebasan beragama, berpikir, menyatakan pendapat, dan kebebasan dari rasa lapar dan takut. Namun, kebebasan dalam Islam bukan tanpa batas, melainkan kebebasan bagi manusia untuk melakukan apa saja selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum syara'.Â
Haikal mendasarkan pikirannya kepada prinsip musyawarah, prinsip persaudaran Islam, prinsip persamaan,prinsip ijtihad (penalaran pribadi) atau kebbeasan berpikir terutama dalam masalah yang tidak ada kaitannya dengan Syariah. Menurutnya, kebebasan, persaudaraan, dan persamaan yang menjadi prinsip-prinsip demokrasi dewasa ini juga termasuk dalam prinsip-prinsip utama Islam. Baginya, Islam dan demokrasi sama-sama berorientasi kepada fitrah manusia sehingga jika sistem yang tidak berdiri atas prinsip-prinsip demokrasi, maka sistem tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam Islam. Prinsip legislasi yang wewenangnya hanya dimiliki oleh para hakim dan tidak dimiliki oleh khalifah atau imam, prinsip ijma' (kesepakatan para ahli), pengawasan terhadap penguasa, akuntabilitas sertapengendalian nafsu bagi penguasa. Prinsip-prinsip demokrasi yang dicetuskan oleh Haikal merupakan sistem politik yang dipraktikkan Nabi di Madinah.
Faktor yang Melatarbelakangi Pemikiran Husein Haikal
Pemikiran Husein Haikal tentang pemerintahan Islam yang sejalan dengan demokrasi ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman hidupnya selama mengenyam pendidikan di Mesir dan Paris. Gurunya, Sayyid Lutfhi, juga memengaruhinya untuk terjun ke dunia politik melalui partai Liberal. Kepandaian gurunya ini membuat kehidupan politiknya semakin berkembang, terlebih ketika Haikal bersama beberapa temannya mendirikan Partai Demokrasi dan menjadikan asas Nasionalisme Mesir sebagai dasar partai sebagaimana yang telah diajarkan oleh al-Sayyid kepadanya. Selain pengaruh gurunya, pengalaman hidup Husein Haikal yang pernah tinggal di dua wilayah yang memiliki perbedaan budaya memengaruhi pemikirannya. Selama menghabiskan waktu di tanah kelahirannya di Mesir, ia menyaksikan bagaimana pemerintahan yang absolut dan despotik menjadikan Mesir sebagai negara yang terbelakang. Ia sudah biasa melihat perkampungan kumuh, pakaian kumal dan lusuh masyarakat, serta kehidupan masyarakat Mesir yang terabaikan dengan dikebirinya hak-hak mereka sebagai masyarakat.Â
Haikal menyadari bahwa sulitnya perkembangan kegiatan-kegiatan ilmiah di Mesir, bahkan adanya pembatasan bagi perempuan untuk keluar dari rumah, kecuali ada kepentingan yang mendesak. Cara berpakaian perempuan yang amat diatur oleh negara dengan menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan telapak tangan.Pemandangan tersebut tentunya berbeda ketika Haikal melanjutkan studinya di Paris. Ia melihat bagaimana tiap individu dijamin kebebasan dan kemerdekaannya, pengetahuan yang tidak dibatasi, serta fungsi negara sebagai pelayan masyarakat begitu jelas. Pada masa itu, hadirnya al-Afghani di Mesir juga memengaruhi pemikiran para intelektual Islam di Mesir. Afghani mendapatkan banyak simpati ketika ia dengan berani mengecam Pemerintah Inggris yang selalu mengintervensi urusan pemerintah Mesir, akan tetapi keberaniannya tersebut justru malah menjerumuskannya ke penjara. Kejadian tersebut mendorong Haikal untuk terus menekankan pentingnya menghargai kebbeasan berpikir. Haikal semakin mengenal liberalisme Barat dan membandingkan kedua peradaban tersebut. Namun, Haikal tidak pernah mau mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang pengikut aliran liberalisme, karena baginya Barat tidaklah lebih baik dari Islam.
Pandangan Kritis Penulis
Jika kita menggunakan frasa Mawdudi mengenai theo-democracy dalam mencocokan Islam dengan prinsip demokrasi, Islam mungkin akan kompatibel dengan demokrasi jika itu bertentangan dengan kediktatoran. Menurutnya, demokrasi Islam yang tetap menjunjung kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat yang saling eksklusif tetap menjadi antitesis dari demokrasi Barat yang sekuler. Theo-democracy tidak hanya sekadar kediktatoran negara, tetapi lebih mencakup kedaulatan bersama semua Muslim, termasuk warga negara biasa.
Dalam tatanan abstrak, salah satu syarat dari demokrasi sendiri adanya aturan hukum (rule of law), begitupun dalam konsep negara Islam yang dicanangkan oleh Haikal, aturan hukum tersebut berasal dari hukum Tuhan. Alquran menjadi manifestasi hukum Tuhan dalam mengatur kehidupan bersosial dan berpolitik manusia. Selain aturan hukum, demokrasi juga mensyaratkan adanya keputusan yang didasarkan atas keinginan bersama. Dalam hal ini, Islam juga menerapkan hal yang serupa mengenai prinsip shura (konsultasi) dan ijma (konsensus). Menurut penulis, meskipun pemikiran Haikal sangatlah idealis dan utopis, tetapi Haikal dapat menarik benang merah di antara nilai-nilai yang ada dalam demokrasi dan Islam.
Sayangnya, Haikal kurang memperhatikan kondisi geopolitik dari daerah Timur Tengah sendiri. Sekalipun pemikirannya mengenai keselasaran Islam dan demokrasi ini sungguh menarik, namun ia melupakan fakta bahwa demokrasi justru sulit berkembang di negara-negara Timur Tengah, terlebih negara-negara Muslim justru terkenal sebagai negara-negara paling tidak demokratis. Jika Haikal memandang ketiadaan aturan bentuk pemerintahan dalam Alquran memberikan kebebasan bagi umat Islam untuk menentukan bentuk pemerintahannya sendiri, tetapi pada kenyataannya justru ketiadaan aturan bentuk pemerintahan dalam Islam ini ini sering kali menghasilkan kegagalan model pemerintahan, terlebih karena seringnya pergeseran jenis rezim yang menyebabkan ketidakstabilan politik di negara-negara Islam. Dalam bukunya yang berjudul Islamic Democratic Discourse: Theory, Debates, and Philosophical Perspectives, M. A. Muqtedar Khan berargumen bahwa dalam dunia Islam terkini justru semakin membanggakan tipe rezim kediktatoran dan demokrasi palsu, seperti di Mesir, Sudan, dan Tunisia.
Beberapa tokoh-tokoh pemikir politik Islam yang menentang demokrasi dalam negara Islam ini karena menilai adanya perbedaaan Islam dengan nilai demokrasi, khususnya pada poin di mana hukum Islam tidak memberikan kesetaraan bagi semua warga negara di bawah hukum tanpa memandang agama dan gender. Islam memang tidak memandang perbedaan antar manusia secara fisik, namun imanlah yang mampu membedakan seseorang dengan seorang lainnya. Bukay, dalam tulisannya yang berjudul Can There be an Islamic Democracy, mengungkapkan bahwa kehendak mayoritas masyarakat Muslim yang besar dapat membentuk negara Islam yang ideal, akan tetapi dalam praktiknya bisa kita lihat dari negara Iran yang membatasi proses demokrasi dan menghancurkan masyarakat sipil. Di negara Arab-Islam lainnya hanya rezim otoriter dan kepemimpinan patrimonial. Dalam tataran teoritis, Islam lebih mudah mengadopsi retorika demokrasi, namun kurang mampu menjalankan prinsip-prinsipnya. Jika Haikal memandang konsep shura sama artinya dengan demokrasi, menurut Taha al-Alwani, shura adalah dewan penasehat, bukan partisipatif yang merupakan warisan kesukuan, bukan kedaulatan.
 Â