Mohon tunggu...
Eugenia Naomi
Eugenia Naomi Mohon Tunggu... Lainnya - Product Marketing Specialist | Political Graduate | Urban and Housing Studies Enthusiast

Hanya menulis tentang pengetahuannya mengenai isu sosial dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam dan Demokrasi: Menilik Gagasan Muhammad Husein Haikal tentang Konsep Negara Islam

11 Juni 2023   11:17 Diperbarui: 11 Juni 2023   11:31 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi dalam Islam

Jika kita berbicara mengenai demokrasi yang berkembang di Barat, maka tidak lepas dari nilai-nilai ideal yang ada di dalamnya, seperti kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, pemerintahan yang representatif. Nilai-nilai ideal demokrasi Barat ini telah memberi kesan bagi beberapa pemikir Muslim untuk mencapai kemerdekaan dan persatuan nasional. Demokrasi tumbuh begitu pesat di peradaban Barat, terutama menjelang masa renaissance. Pada masa itu, muncul istilah sistem demokrasi langsung yang mana posisi pemerintahan dapat ditempati oleh masyarakat secara langsung. Adanya pembagian lembaga kekuasaan (trias politica) agar terjadi check and balances dalam pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif di mana masyarakat dapat berperan ke dalam seluruh aktivitas politik tersebut. Akan tetapi, sistem demokrasi langsung ini banyak ditentang oleh para filsuf besar, sehingga muncullah berbagai filsuf politik lainnya yang berupaya menyempunakan teori demokrasi sendiri, yaitu sistem demokrasi perwakilan. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam.

Islam mengandung berbagai prinsip dasar yang sangat responsif terhadap berbagai hukum dan moral. Setiap intelektual Muslim berupaya membangun teori modern mengenai demokrasi Islam bermula dengan membandingkan konsep kesetaraan dalam Islam dan pemikiran politik Barat klasik. Dalam pemikiran Barat, setiap manusia dilahirkan setara, namun menjadi tidak setara oleh adanya kebijakan sosial dan politik yang dibentuk oleh lembaga-lembaga buatan manusia. Oleh karena itu, kesetaraan manusia bagi peradaban bangsa Barat adalah kesetaraan yang berdasar pada kewarganegaraan, bukan kelahiran. Berbeda dengan konsep kesetaraan dalam Islam, Alquran mengakui seluruh manusia, terlepas dari apapun kepercayaan dan kedudukan politik, tanpa menyebutkan kata 'warga negara'. Inilah sebabnya Islam menjadi antitesis terhadap ideologi nasionalisme. Nasionalisme telah membedakan seluruh manusia berdasarkan ras, etnis, dan kriteria lainnya, sementara Islam justru telah menyetarakan semua umat manusia. Dalam Islam, satu-satunya yang membedakan seseorang dengan seorang lainnya hanya diliat dari ketaqwaannya terhadap Allah, sehingga kedudukan non-Muslim lebih rendah daripada Muslim itu sendiri.

Beberapa prinsip demokrasi dianggap telah sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Alquran mengenai shura sehingga menjadi perdebatan bagi Muslim apakah keberadaaan demokrasi itu benar-benar dibutuhkan dalam masyarakat Muslim. John L. Esposito dan James P. Piscatori (dalam Haikiki, 2016) mengklasifikasikan tanggapan para cendekiawan Muslim mengenai demokrasi itu sendiri, yakni: Pertama, kelompok cendekiawan Muslim yang memandang demokrasi dan shura adalah dua hal yang identik tetapi memiliki perbedaan, seperti Imam Khomeini. Beliau beranggapan bahwa Tuhan sebagai penguasa mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, tetapi tetap diperlukan partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Taufiq al-Syawi, cendekiawan Muslim lainnya, juga mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk shura versi eropa, namun keduanya tetap tidak sama karena demokrasi tidak berpegang pada dasar syariat Islam.

Kedua, kelompok cendekiawan Muslim yang memandang demokrasi dan shura adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak, seperti Sayyid Qutub, Syaikh Fadhallah Nuri, Abu al-A'la al-Maududi. Mereka beranggapan bahwa demokrasi adalah persamaan semua warga negara sementara hal ini sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Menurut mereka, Islam telah menyediakan sistem hukum dan moral yang sudah lengkap, sehingga tidak diperlukan legislasi lainnya, termasuk demokrasi. Demokrasi dinilai hanya lebih menguntungkan Barat daripada negara Islam sendiri. Menurut pandangan Esposito dan Piscatori, penolakan model demokrasi Barat oleh sebagian umat Muslim ini sebenarnya adalah reaksi negatif masyarakat Muslim untuk menolak kolonialisme Eropa secara radikal dan upaya mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-negara Barat. Ketiga, sebagian cendekiawan Muslim lainnya justru berpendapat bahwa demokrasi dan shura adalah dua istilah yang serupa. Salah satu tokoh pemikirnya adalah Muhammad Husein Haikal.

Pemikiran Politik Islam Muhammad Husein Haikal

Muhammad Husein Haikal. Sumber: Google.
Muhammad Husein Haikal. Sumber: Google.
Muhammad Husein Haikal lahir pada tanggal 20 Agustus 1888 di Mesir. Beliau merupakan seorang penulis dalam berbagai bidang, seperti sastra, politik, dan agama. Selama riwayat pendidikannya, Haikal mengenyam pendidikan dasar di sekolah Al-Jamaliah-Kairo, lalu sekolah menengah sampai 1905. Kemudian, Haikal melanjutkan pendidikannya dan memilih belajar ilmu hukum di Perancis. Sepanjang hidupnya, Husein Haikal adalah seorang politikus yang berpendidikan Barat. Ia meninggalkan profesinya sebagai pengacara untuk memasuki kancah politik atas saran gurunya, Luthfi Sayyid.

Dalam pemikiran politiknya mengenai Islam dan demokrasi, Haikal mendefinisikan Islam sebagai agama kebebasan, persaudaraan, persamaan, tasy'ri, dan hukum. Menurut pandangannya, demokrasi pertamakali dicanangkan oleh Islam dikarenakan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh paham demokrasi sekarang sebenarnya juga merupakan kaidah-kaidah Islam. Sistem pemerintahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk demokrasi yang serupa dengan pengertian demokrasi Yunani kuno sebagaimana dunia internasional juga mengakui landasan demokrasi, yaitu kebebasan, persaudaraan, dan persamaan antar bangsa. Sistem pemerintahan dalam berbagai negara demokrasi tentunya berbeda-beda, termasuk sistem pemerintahan Islam. Bagi Haikal, sistem pemerintahan Islam berdasarkan pada permusyawaratan model Islam.

Haikal berpandangan bahwa Islam justru tidak menerangkan secara rinci mengenai pemerintahan dan Alquran hanya menerangkan secara garis besarnya saja. Baginya, tidak ada bentuk pasti dari negara Islam, serta tidak ada sistem pemerintahan yang baku, oleh karena itu umat Islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun selama sistem tersebut dapat menjamin persamaan antar warganya. Sistem pemerintahan di zaman Rasul tidak begitu dipersoalkan karena Rasul membiarkan pemerintahan Arab selama mereka mau memeluk dan menerima ajaran Islam. Haikal sendiri memilih bentuk negara konstitusional sebagai bentuk negara Islam yang berdasar pada hukum Tuhan (syara'). Menurutnya, Islam hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia untuk mengatur prilaku manusia, termasuk dalam kehidupan berpolitik. Adapun prinsip-prinsip dasar itu, antara lain:

  • Prinsip Iman akan keesaan Tuhan (tauhid). Islam mengajak umat manusia untuk meyakini Islam sebagai dasar kehidupan bersama. Keyakinan dasar ini disebut sebagai tauhid dan dari prinsip ini akan lahir prinsip kebersamaan. Iman, menurut Haikal, menjadi salah satu prinsip dasar pemerintahan Islam karena perbedaan keyakinan akan selalu menyebabkan keresahan dalam suatu masyarakat atau negara.
  • Prinsip kepercayaan akan adanya hukum alam. Dalam prinsip ini, Haikal menandaskan bahwa pengelolahan masyarakat atau negara agar memperhatikan watak-watak manusia sesuai dengan fitrah alamiahnya dan tidak memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan fitrah manusia itu. 
  • Prinsip persamaan. Dalam prinsip ini, Haikal begitu menekankan persamaan fitrah antara laki-laki dan perempuan. Di mata Tuhan, manusia itu sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya, serta harus sama-sama tunduk kepada sunnatullah. Tidak ada perbedaan antara manusia, kecuali ketaqwaannya kepada Tuhan. Di satu sisi, Haikal juga menegaskan bahwa setiap manusia bebas memilih keyakinan mereka sendiri dan Islam tidak akan pernah memaksakan seseorang untuk  masuk agama Allah, terlebih dengan cara-cara kekerasan. Namun, bagi mereka yang tidak mau memeluk Islam wajib membayar jizyah agar mereka berada dalam perlindungan kaum muslimin yang berkuasa untuk menolak serangan musuh dan mempertahankan keberadaan dan kehormatan negara.

Negara Islam menurut Haikal adalah negara yang mempunyai keseimbangan hubungan antara warga negara dengan warga negara dan warga negara dengan penguasa tertinggi alam semesta (Allah). Konsep negara Islam ini berdasarkan pada nilai-nilai tauhid yang mengatur hubungan manusia dengan penguasa alam dan nilai-nilai humanis yang menjaga hubungan antar warga negara. Baginya, penguasa negara hanyalah perwakilan dari Allah yang menjalankan semua perintah dan menjauhi larangannya. Pandangannya ini menjadi pengingat bahwa Allah adalah penguasa yang lebih tinggi dari penguasa negara sehingga penguasa negara tidak boleh bertindak semena-mena terhadap rakyatnya. Jika kita mengartikan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang bertentangan dengan kediktatoran, maka pemikiran Hussein Haikal bahwa demokrasi sejalan dengan Islam, dilihat dari prinsip-prinsip demokrasi yang telah terkandung dalam Islam, tentu membuat Islam menjadi kompatibel dengan demokrasi. Dalam demokrasi, tidak ada tempat bagi seseorang ataupun sekelompok orang untuk menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, sebagaimana Haikal juga menegaskan bahwa dalam pemerintahan Islam, tidak mengenal adanya pemerintahan diktator yang memberikan kekuasaan tanpa batas pada kepala negara. Prinsip pemerintahan representatif yang ada dalam demokrasi juga kompatibel dengan pandangan Haikal bahwa pemerintahan Islam dipimpin oleh seorang kepala negara yang posisinya hanyalah sebagai wakil umat. Kepala negara dipilih secara langsung oleh umat, sehingga umat berhak mengawasi dan meluruskannya jika sang pemimpin menyimpang dari kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun