Alkisah, pada zaman Rosullulah ada seorang tabib Mesir yang dikirim ke kota Madinah. Sebagai seorang tabib, jobdesk nya tentu mengobati orang sakit. Tapi, ada fakta yang mengherankan, selama 8 bulan bertugas, tak satupun warga Madinah berobat ke kliniknya.
Ia pun bertanya pada Rosullulah, mengenai rahasia kesehatan warga Madinah. Apa gerangan jawaban beliau? Rosullulah mengatakan bahwa itu disebabkan karena mereka terbiasa tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang.
Maknanya, sudah ada contoh dari Rosullulah mengenai pola makan sehat yang seharusnya menjadi rujukan umat Islam.
Pola makan yang dicontohkan Rosullulah membuat tubuh sehat dan tidak boros. Ya, karena jika makan hanya secukupnya, maka belanja pun akan mengikuti kebutuhan bukan keinginan.
Namun faktanya, kita kerap kesulitan menahan keinginan untuk makan secukupnya saja. Apalagi disaat bulan Ramadan. Seolah sudah menjadi tradisi yang mendarah daging, pola konsumsi saat Ramadan justru meningkat dibanding hari biasanya.
Sudah jadi kebiasaan pula, hal tersebut akan membuat harga barang kebutuhan pokok naik. Bagi mereka yang berduit, kenaikan harga itu nggak masalah. Tapi, bagi orang dengan penghasilan rendah, tentu jadi masalah. Daya beli mereka pun menurun. Lihat, kan, dampak buruk dari kebiasaan belanja secara berlebihan.
Puasa Di Masa Pandemi Seharusnya Tak Timbulkan Panic Buying
Sejak pandemi Covid-19 melanda banyak negara di dunia, sejumlah negara seperti Italia dan Malaysia melakukan lockdown. Apa yang terjadi kemudian adalah terjadinya panic buying.
Orang berbondong-bondong belanja dalam jumlah besar, secara bersama-sama.
Akibatnya barang habis tak tersisa. Rak-rak di supermarket kosong. Orang yang belanja belakangan tentu tak kebagian. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan fenomena ini adalah egois.
Mereka hanya memikirkan diri sendiri. Yang penting mereka bisa bertahan di masa pandemi dengan stok makanan yang cukup. Sementara itu kebutuhan orang lain, mereka abaikan.Â
Panic buying adalah respon manusia agar bisa bertahan hidup di situasi yang tak menentu. Pandemi Covid-19 adalah ketidakpastiannya. Kita belum bisa memastikan kapan pandemi akan usai. Vaksin yang digadang-gadang segera ditemukan juga belum nampak ada perkembangan.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Profesor Marketing NUS Business School,  Leonard Lee,  yang berjudul Control Deprivation Motivates Acquisition of Utilitarian Products’ (2016) disebutkan bahwa panic buying terkait erat dengan kontrol diri. (Kumparan)
Melalui simulasi yang dilakukan Lee, sejumlah responden diminta mengingat situasi saat mereka tak memiliki kendali atas lingkungan. Ternyata yang mereka lakukan disaat seperti itu adalah membeli bahan kebutuhan pokok. Hal tersebut dilakukan agar mereka memiliki kembali kendali atas lingkungannya.
Masalahnya terletak pada akibat dari menimbun barang, orang lain jadi tak memiliki akses untuk memperoleh barang tersebut. Ini jelas bentuk dari ketidakadilan.
Nah, disaat puasa Ramadan, umat Islam telah diperintah melaksanakan ibadah puasa. Al shiyam dalam bahasa Arab bermakna tidak bergerak, menahan atau berhenti. Jadi hakikat puasa adalah pengendalian diri.
Tak hanya menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan badan di siang hari. Namun juga, menahan diri dari perbuatan yang tidak disukai Alloh SWT, seperti ghibah, berbohong, fitnah, tidak berlebihan saat makan dan minum.
Seperti disebutkan di dalam Surat Al Araf Ayat 31,
"Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."
Dari ayat tersebut jelas sekali tuntunannya. Kita seharusnya tak berlebihan dalam makan dan minum.
Jika ayat di atas diaplikasikan secara tepat maka fenomena panic buying disaat pandemi seperti tak akan terjadi. Apalagi saat pandemi memasuki bulan Ramadan.
Sudah seharusnya, kita mampu menahan diri dari keinginan untuk menyetok bahan kebutuhan pokok secara berlebihan. Ada hak orang lain yang dirampas jika kalap belanja.
Jika saat puasa ternyata kita kalap berbelanja maka kita gagal mencapai hakikat puasa. Kita gagal menahan diri dari nafsu perut.
Dalam sebuah riwayat Al Miqdam Bin Ma'dikarib disebutkan :
Rosullulah bersabda
"Tidaklah anak adam yang memenuhi kantungnya daripada perut. Cukuplah bagi anak adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika harus melebihinya maka hendaknya 1/3 perutnya diisi untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 lagi untuk bernafas. "
Dalam riwayat tersebut disebutkan dengan jelas porsi makan yang ideal. Kita tidak boleh memenuhi perut kita dengan makanan dan minuman tanpa menyisakan ruang udara.
Yang ada, kita bakal kekenyangan dan sulit bernafas. Akibat lainnya akan mengalami obesitas, dan penyakit degeratif lainnya.
Saat puasa pun, Rosullulah telah memberikan tuntunan terbaik.
“Dari Anas bin Malik, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum shalat dengan ruthab (kurma basah),  jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering), dan jika tidak ada tamr, beliau meminum seteguk air".
Jika tuntunan Rosullulah begitu sederhana, mengapa kita justru ingin segala macam makanan enak tersedia di meja makan.
Bukan tidak boleh mengonsumsi makanan yang sedang tren. Boleh saja, asal dibatasi jangan sampai jatuh pada berlebih-lebihan.
Puasa seharusnya mampu membuat kita memiliki kendali atas diri dan lingkungan secara tepat. Selama 30 hari raga kita dilatih untuk menahan diri dari lapar dan haus serta hubungan badan di siang hari.
Sementara jiwa kita dilatih agar lebih peka dengan kesusahan yang dialami kaum papa.
Jika kedua hal tersebut disadari dan dipahami serta diamalkan maka fenomena panic buying tak terjadi lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H