Persoalannya, ketika timbul gejala alergi, kita tak serta merta bisa mengetahui pemicunya. Untuk itulah, sebaiknya segera bawa anak ke dokter ketika mengalami gejala alergi.Â
Dokter akan melakukan diagnosis klinis melalui pemeriksaan riwayat alergi keluarga, tanda dan gejala alergi sejak kecil, dan riwayat pemberian makanan. Jika dari hasil pemeriksaan ini ditemukan  pemicu alergi maka tidak diperlukan tes alergi.
Namun, proses menemukan pemicu alergi seperti ini kerap tak cukup dengan anamnesis (wawancara dokter dengan orangtua dan pasien). Tidak semua anak memiliki catatan riwayat kesehatan rinci dan catatan makanan harian. Padahal adanya kedua catatan tersebut akan membuat diagnosa menjadi cepat dan tepat.
Jika alergi kerap muncul namun orangtua tidak mampu mengenali pemicunya maka sebaiknya melakukan tes alergi. Ada dua jenis tes alergi yang direkomendasikan, yaitu skin prick test (SPT) dan tes darah IgE.
Menurut dr. Oktora Wijayanto Sp.A, M. Kes, tes alergi penting dan bisa dilakukan sejak usia 6 bulan. Sayangnya, di Indonesia tes alergi tak selalu dilakukan. Â Biaya yang mahal ditengarai menjadi alasannya.
Hasil survei dibeberapa rumah sakit dan laboratorium di wilayah Surakarta, yang saya lakukan di minggu ketiga bulan Oktober 2019, ternyata tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas tes alergi. Jikalau ada fasilitas tes alergi, biayanya memang mahal.
Terbatasnya fasilitas dan mahalnya biaya bisa jadi kendala orangtua dalam mengobati alergi pada anaknya. Setelah mengetahui pemicu alergi, tindakan selanjutnya adalah mengenali faktor resiko alergi. Yang pertama adalah faktor genetik. Anak dari orangtua yang memiliki riwayat alergi kemungkinan besar akan mengalami alergi juga. Walaupun jenis alerginya bisa berbeda.
Untuk besaran persentase resiko bisa dilihat di grafis berikut ini: