“Waaah…makasih ya mbak, kalau mbak Ety mau bantu anak-anak itu. Terus terang saya nggak kuat melihat mereka. Miris banget mbak,”kata mbak Uli dalam sebuah percakapan by phone. “Mereka memang harus diselamatkan dan dibangun kembali hidupnya. Masa depan mereka masih panjang,”begitu kata mbak Uli lagi. Ya…udah nanti saya minta assisten bikin jadwal untuk program mbak Ety.” Obrolanpun selesai.
Saatnya bergerak, membantu remaja putri Indonesia untuk bangkit, membangun kembali serpihan masa depan yang retak. Masa depan yang hancur oleh berbagai alasan. Dan mereka tak sanggup membangunnya kembali. Boro-boro membangun, menata saja mereka nggak bisa.
Kasian,
Miris,
Terbuang,
Bergabungnya saya di sebuah yayasan sosial tiga tahun lalu dan sampai saat ini bukan tanpa sebab. Cerita tentang prostitusi anak dan penjualan anak ( Trafficking ) bukan isapan jempol belaka. Saya jadi ingat, tiap kali saya dan keluarga berkunjung ke villa di kawasan Puncak – Bogor, selalu berulang cerita yang sama. Cerita yang saya dengar sendiri dari penjaga villa tempat kami menginap.
“Ah, itu mah sudah biasa Bu, sudah jadi mata pencaharian di kampung sini,”begitu kata si penjaga villa.
Bagaimana mata saya tidak terbelalak mendengarnya, kata-kata ‘sudah biasa’ yang meluncur dari mulut si penjaga seperti semburan api di wajah saya. Bagaimana mungkin anak-anak perempuan berumur 10 – 17 tahun menjajakan seks untuk tamu-tamu di villa sekitar. Waktu malam di mana seharusnya mereka belajar tapi malah digunakan untuk bekerja di dunia kelam. Saya yakin jika Ibu Pertiwi tahu dia pasti menangis, melihat remaja putrinya berlaku demikian.
Saking penasarannya, pernah suatu malam saya minta si penjaga untuk menemani saya melihat praktek seperti itu. Selepas waktu maghrib, saya dijemput si penjaga menuju tempat di mana sales seks biasa mangkal. Benar saja ! Di antara gerimis hujan, para sales itu menyalakan senter—sebagai kode pada tiap kendaraan, mobil atau motor yang lewat. Transaksi tidak berlangsung lama, lalu dengan diantar sales si pemangsa seks berlalu menuju tempat tertentu. Sampai di sini penasaran saya terhenti, berganti menjadi kesedihan juga kemarahan.
Sedih melihat kenyataan tentang penjaja seks diusia dini tapi marah pada siapa saya tidak tahu. Itu bukan drama atau cuplikan sinetron yang tidak layak tayang. Itu realita yang sedang menghinggapi remaja putri kita. Anak-anak kita, anak Indonesia anak yang menjadi tumpuan bangsa dan Negara ini.
Apa yang dijual ? Seks !