“Pieh---panggilan saya ke suami, beliin hape baru dong,”pintaku sedikit merayu.
“Emang hapenya kenapa ?”tanya suami
“Nggak apa-apa, pengen ganti aja sama yang lebih keren,”kataku lagi.
Seperti biasa, permintaan saya selalu ditolak dengan satu prinsip “hemat”. Ini bukan sekali atau dua kali permintaan saya ditolak tapi sudah kesekian ratus kali, sejak saya menjadi pasangan hidupnya. Jurus rayuan mautpun nggak sanggup membuat suami luluh. Nggak mungkin kan saya harus nangis Bombay hanya sekedar pengen ganti hape. Apalagi kalau alasannya cuma buat gaya-gayaan. Suami juga pernah bilang kalau hidup cuma ngikutin teknologi nggak ada habisnya. Sebab perkembangan teknologi jauh lebih cepat dari pada kenaikan gaji. Tapi kalau kondisinya benar-benar diperlukan maka suami juga tidak segan-segan langsung membelikannya.
Kebijakan Keuangan ala Suami
Bukan hanya itu saja, teori dari pakar keuangan saja masih diaudit lagi oleh suami. Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan mengikuti seminar keuangan dan seperti kebiasaan saya selalu melaporkan hasil kegiatan tersebut. Dalam seminar itu sang pakar memberikan teori cara mengatur keuangan, sebagai berikut :
- Cicilan utang 30 %
- Tabungan dan investasi 10%
- Premi asuransi 10%
- Biaya hidup 50%
Adapun maksud saya melaporkan hasil seminar supaya suami mau merevisi soal keuangannya yang ketat. Tapi nyatanya malah sebaliknya.
Mau tau itung-itungan ala suami ?
Untuk biaya hidup dipangkas menjadi 40% dan selebihnya dimasukkan pada tabungan investasi. Bukan itu saja, berhubung kami tidak mempunyai utang yang besar jadi cicilan utang juga diperkecil. Dengan begitu biaya hidup dan tabungan investasi memiliki porsi yang sama, masing-masing 40%.
Jadi alih-alih mau meminta revisi yang sesuai dengan sang pakar, eeehhh malah dikasih PR menghitung investasi. Maksudnya, kalau teori dari suami dijalankan berapa hasil yang didapat selama lima atau sepuluh tahun ke depan.
Sejujurnya, semua teori yang diberikan oleh sang pakar keuangan itu 90% sudah diterapkan oleh suami. Misalnya nih soal kendaraan, saya sudah beberapa kali minta ganti tapi suami tidak bergeming juga. Alasan suami, kendaraan roda empat yang kami miliki masih bisa dipakai sampai lima tahun lagi. Apalagi sejak musim transportasi online kami lebih sering pake aplikasi ketimbang pake kendaraan sendiri.
Ada satu hal yang membuat mata saya terbelalak bahwa nyatanya saya tinggal di negara di mana masyarakatnya masih beranggapan kalau nggak punya mobil belum dianggap mapan. Terus kalau sudah punya mobil satu pengen dua dan seterusnya. Pola pikir seperti inilah yang dihindari oleh suami, pola pikir kapitalis. Karena hidup bukan untuk dipertontonkan tapi untuk dijalankan, begitu katanya.
Saya akui, sebagai perempuan saya memang merasa lebih banyak menggunakan otak kiri dalam hal memenuhi keinginan. Banyak maunya, mau yang kerenlah, ngetrenlah, inilah, itulah dan lainnya. Jauh berbeda dengan suami yang lebih melihat pada kebutuhan daripada keinginan. Pernikahan memang bukan menyatukan dua perbedaan tapi menggenapkan kekurangan.
Nah, dari perbedaan inilah saya mengambil sikap untuk menyerahkan perencanaan keuangan pada suami. Saya cukup belajar untuk mengendalikan keinginan, dengan begitu saya akan bisa mengendalikan pengeluaran. Awalnya saya sempet shock juga, karena suami keukeuh memegang prinsip keuangannya.
Life Style Momok Menakutkan
Intinya sebelum saya diajarkan bagaimana mengelola keuangan dengan baik, terlebih dahulu saya digembleng oleh suami dalam hal pola pikir. Beberapa contoh sudah saya utarakan di atas, lalu setelah itu suami langsung menerapkannya pada teori keuangan. Suatu hal yang nggak mungkin jika kita ingin merencanakan keuangan tanpa membuang keburukan. Saya merasakan sendiri keburukan yang kerap menghantui saya adalah keinginan. Kejadian berulang ketika saya membeli sesuatu lebih banyak yang diinginkan dan bukan yang dibutuhkan.
Berkenaan dengan life style, suami mengingatkan dengan tajam bahwa life style bukan tujuan hidup. Life style sama saja dengan gaya kapitalis yang harus dikesampingkan. Percuma saja, ngomong soal perencanaan keuangan jika dalam kepala masih bercokol pola life style. Satu-satunya cara untuk mengesampingkan life style adalah dengan mengurangi biaya hidup dan memasukkannya pada tabungan atau investasi. Pernah suatu hari suami berkata, coba aja kamu tanya isi dompet teman-temanmu, pasti isinya lebih banyak kartu dan struk belanja daripada uang kas. Saya tidak menjawab, akan tetapi membenarkan dalam hati, jangankan dompet orang lain wong dompet saya juga begitu ( Ya, pantang bagi kami untuk mengetahui dompet pasangan ).
Pola pikir seperti inilah yang mendorong seseorang bersifat konsumtif, dengan mengatas namakan life style. Sebenarnya sah-sah saja menggandrungi life style selagi semua itu bisa dikendalikan. Tapi apesnya terkadang life style sulit dikendalikan bahkan banyak menjerumuskan. Kalau kita masih menggunakan kata “life style” sebagai acuan gaya hidup maka jangan harap deh Anda bisa merencanakan keuangan demi masa depan. Boro-boro untuk masa depan, sampai akhir bulan aja mungkin gaji Anda nggak cukup. Pengalaman saya waktu masih menerima gaji, seminggu sebelum tanggal gajian biasanya sudah mulai kasbon alias utang.
Lantas, gimana dong cara mengatasi semua itu ?
Ganti kata “life style” menjadi kata yang lebih ekstrem lagi yaitu “Gaya Kapitalis”. Bukankah kita semua tahu bahwa kapitalis merupakan momok menakutkan dalam bidang ekonomi. Beberapa Negara besar bisa hancur ekonominya hanya karena mengadopsi gaya kapitalis ini. Dahsyat kan keburukannya ? Maksudnya gini, kalau memang Anda sudah tidak sanggup lagi mengendalikan life style maka sudah saatnya Anda mengubah pola pikir. Seperti yang sudah saya bilang bahwa life style bukan sesuatu yang buruk-buruk amat.
Pengubahan pola pikir ini dilakukan jika Anda benar-benar sudah merasa terjerat oleh gaya life style tadi. Karena secara tidak langsung semua perilaku akan berubah. Saya berikan contoh begini, biasanya Anda nongkrong di caffe seminggu sekali atau makan di restoran fastfood. Nah, coba deh mulai mengurangi hal itu dengan makan di food street yang harganya di bawah resto tadi. Meskipun Anda harus berpanas-panas ria karena street food tidak ada AC nya. Cobalah sampai akhirnya Anda berkata, “Ah ternyata nggak masalah makan di street food.”
Lakukan untuk semua hal, hingga perlahan Anda jadi terbiasa. Pelajaran pertama yang saya dapat dari suami adalah “berani berhemat” jadi bukan “harus berhemat”. Setelah itu baru mengubah pola pikir, jika semua sudah dilakukan percaya deh Anda tidak lagi sulit menerapkan teori perencanaan keuangan ala suami saya. Berani mencoba ? HARUS !!!
Perlahan mereka mengakui bahwa mengikuti tren life style nggak ada habisnya. Tapi justru sebaliknya semakin mau lagi dan lagi seperti kecanduan. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang terlibat utang. Titik inilah yang kemudian saya jadikan contoh untuk mengingatkan kembali pentingnya merencanakan keuangan masa depan. Maklumlah bukankah semakin banyak gaya maka semakin tinggi pula tekanannya.
Perlu dicermati, semua orang di manapun pasti menginginkan hidup mapan di hari tua—gantinya masa depan. Begitu pula dengan saya dan suami, saya benar-benar bersyukur bahwa suami sangat memahami hal ini sejak menikah. Berbanding terbalik dengan saya, bagi saya urusan masa depan ya urusan nanti. Apalagi sekarang ini kita memasuki jaman di mana serbuan life style semakin tak terbendung. Nampaknya lebih banyak orang yang terbawa arus ketimbang melawannya.
Slogan mengencangkan ikat pinggang saja masih belum cukup, harus dibarengi dengan tutup mata dan telinga. Butuh ketaatan dan keketatan jika Anda ingin merencanakan keuangan. Karena tanpa sadar masyarakat Indonesia bisa menjadi masyarakat konsumerisme, tempat jualan paling menyenangkan bagi Negara lain. Bukankah hal ini sudah terjadi ? Buktinya saja Indonesia sudah menjadi Negara yang memiliki mal ( Pusat Belanja ) terbanyak di dunia, melebihi Negara-negara maju. *weleh-weleh sambil geleng-geleng kepala.
Saya senang pada akhirnya saya bisa mentaati rambu-rambu berkat bimbingan dari suami. Jika tidak, mungkin saya sudah menjadi orang miskin se Indonesia atau bahkan bangkrut. Setelah saya berani meninggalkan dunia life style, saya kemudian diarahkan untuk merencanakan keuangan. Di samping itu saya juga merasakan bangkitnya sifat matre dalam arti positif. Buktinya saja, saya langsung semangat mendengar suami mengiming-imingi keuntungan secara materi.
Dalam hal perencanaan keuangan, suami pula yang mengajarkannya pada saya. Saya diberi pilihan tentang perencanaan keuangan, semisal : tabungan atau investasi. Suami sih bilang kalau mau menabung pilih bank yang bisa dipercaya untuk menyimpan dana. Sejauh ini sudah banyak ko bank yang menjadi anggota LPS ( Lembaga Penjamin Simpanan ). Secara awam yang saya ketahui tentang LPS yaitu menjamin simpanan nasabah. Jadi jika terjadi sesuatu pada bank di mana kita menyimpan uang, maka LPS lah yang akan menjaminnya. Dengan begitu dana yang tersimpan akan aman tapi tentu saja dengan mengikuti ketentuan. Untuk lebih jauhnya silakan kunjungi websitenya LPS di www.lps.go.id.
Investasi = Life style
Mungkin para pembaca akan bilang,"Wow…ekstrem banget yah teori keuangannya ?" Banged ( pinjam bahasa kekinian ). Tapi hasilnya saya harus bilang WOW…WOW…WOW...! Saat ini saya dan suami sudah tidak memiliki penghasilan tetap sebagai pegawai. Kami sedang menikmati bagaimana investasi bekerja pada kami. Dengan kata lain kehidupan kami saat ini bergantung pada investasi yang dulu kami simpan. Dan enam bulan lalu waktu suami harus menjalani operasi dengan biaya cukup besar, saya juga tidak terlalu pusing mencari biayanya. Investasi yang kami miliki sanggup membayar biaya pengobatan suami.
Sekarang saya sudah menemukan cakrawala baru yaitu dengan menjadikan investasi sebagai gaya hidup/life style. Hal tersebut bukan lagi sesuatu yang cuma diniatkan saja, tapi lebih dari itu. Dengan menjadikan investasi sebagai life style maka akan terbentuk sebuah pemikiran bahwa saya atau Anda akan melakukannya. Setiap saat bahkan setiap hari, bukankah setiap hari kita juga berkecimpung dengan life style ? Penggunaan gadget, adalah contoh nyata bahwa kita tidak bisa meninggalkannya. Gadget beserta kelengkapannya merupakan life style yang butuh dihidupi. Karena sebenarnya yang terpenting itu bukan gadgetnya keren atau tidak tapi pulsa/kuotanya ada atau tidak. Untuk apa punya gadget bagus kalau nggak ada pulsa internetnya ? Percuma tho ?
Memulai investasi juga nggak rumit ko, mulailah dari yang paling Anda pahami. Saran saya buat pemula sih beli aja emas berupa koin/batang ya bukan perhiasan, nilainya juga beragam. Yang penting saat untuk memulai memang jangan terlalu umit dan itung-itungan. Kita kan mau mengubah mindset dulu, setelah itu tercapai baru deh dilanjutkan ke lebih besar.
Oh ya, investasi ekstrem yang dilakukan suami tidak hanya sampai masa depan saja loh, tapi juga bisa sampai masa tua. Seandainya usia kami tidak bisa menikmati semua investasi ini, toh kami bisa mewariskannya pada anak-anak. Ah, ternyata semua indah pada waktunya. Yuk...kita mulai ! @etybudiharjo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H