Setiap sore, sehabis mandi Arjuna (5 tahun) selalu rutin mengajakku untuk menemaninya bersepeda. Sampai sejauh ini saya membolehkan Arjuna bermain sepeda hanya sebatas lingkungan tempat tinggal saja.Â
Maklum komplek tempat tinggal kami dekat dengan jalan raya yang volume kendaraannya cukup padat. Oleh karena itu saya tidak mengijinkan Arjuna main sepeda jauh dari rumah cukup di depan rumah. Kebetulan jalan raya persis di depan rumah tidak dilalui banyak kendaraan, saya jadi leluasa mengawasinya.
Selain Arjuna masih banyak anak-anak lain yang keluar untuk bermain, ada yang bermain petak umpet, gobak sodor dan lainnya. Pokoknya hampir setiap sore jalan raya di depan rumah selalu ramai oleh anak-anak. Baru setelah terdengar adzan Maghrib satu persatu mereka pulang, dan berulang keesokan harinya.
Melihat anak-anak tidak bisa bermain bebas, terpikir oleh saya tentang sebuah tempat untuk mereka bergerak. Anak-anak butuh ruang gerak yang memadai, mereka juga ingin aktivitas bermainnya tidak terganggu saat ada kendaraan melintas.Â
Saya seringkali melihat, bila ada kendaraan lewat maka mereka harus ngalah memberi jalan buat kendaraan tersebut. Hal ini sangat jauh berbeda saat saya kecil dulu. Saya tidak pernah merasa terganggu ketika bermain, bahkan merasa sangat puas. Satu-satunya ganguan bermain saya adalah panggilan Ibu untuk segera pulang.Â
Setelah lama berpikir, anak-anak di komplek tempat saya tinggal butuh ruang publik. Hanya saja bagaimana bentuk dan komponennya saya tidak tahu sama sekali.
Akhirnya saya menyadari bahwa Arjuna dan teman-temannya memerlukan tempat bermain dan berkumpul dalam Ruang Publik yang aman dan nyaman bagi mereka.Â
Ruang Publik bukan cuma untuk kaum dewasa saja. Justru sedari kecil anak-anak sudah selayaknya mendapat kesempatan bermain di Ruang Publik. Mungkin puluhan tahun silam, hal ini boleh jadi tidak terpikirkan sama sekali karena lahan di Jakarta masih sangat luas.Â
Rumah juga tidak berhimpitan seperti sekarang, bahkan dulu pekarangan rumah saya saja bisa dijadikan tempat untuk bermain Badminton. Tapi saat ini anak-anak butuh ruang, bukan saja untuk bermain tapi juga mengaktualisasikan dirinya.
Jadi kondisinya sama sekali tidak aman bagi tempat bermain anak-anak. Bisa jadi mereka akan tercebur ke kali saat bermain atau jatuh, pokoknya sangat mengkhawatirkan.
Anak-anak bukanlah orang dewasa yang mengetahui segala hal, baik dan buruk. Jika sudah bermain yang dipikirkan oleh seorang anak hanyalah perasaan senang saja. Tanpa peduli apakah mereka bermain di tempat aman atau tidak. Saya juga menyayangkan mengapa pemangku kepentingan memberikan tempat berbahaya seperti itu.
Saya bersyukur bahwa apa yang saya pikirkan selama ini telah mendapat respon dari pemangku kepentingan, meskipun belum sampai di wilayah tempat saya tinggal, Pondok Pinang.
Terus terang saja saya sendiri belum memahami benar apa yang melatar belakangi timbulnya Ruang Publik ini. Semua masih dalam pemikiran individu saya saja, salah satunya adalah keterbatasan lahan di Jakarta.
Menurut pandangan umum, ruang publik sudah ada sejak zaman Yunani Klasik. Namun seiring dengan memudarnya era Yunani dan munculnya zaman feodal yang diiringi dengan perkembangan kapitalisme telah terbentuk sebuah ruang publik baru yang oleh Habermas disebut sebagai Ruang Publik Borjuis – pertengahan abad XVII hingga pertengahan abad ke XX ( the bourgeois public sphere ).
Dalam bukunya “Habermas; Rescuing the Public Sphere, mengartikulasikan kepentingan ruang publik untuk kebutuhan masyarakat dengan berkumpul bersama-sama.Â
Secara nyata pada awalnya Habermas menggambarkan ruang publik dalam sebuah coffee house dan salon, ketika sekelompok laki-laki anggota kaum borjuis, bangsawan dan intelektual bertemu untuk membahas karya sastra.
Itu adalah sepenggal perjalanan panjang awal mula terciptanya ruang publik. Seiring perkembangan zaman di mana saat ini telah memasuki abad XXI, ruang publik semakin diminati oleh semua kalangan masyarakat.Â
Kalau dulu ruang publik hanya diperuntukkan bagi kaum borjuis dan bangsawan saja, namun tidak untuk saat ini. Pada akhirnya masyarakat sangat mengapresiasi keberadaan ruang public ini. Hal ini terbukti dengan beragam kebutuhan serta keinginan masyarakat yang berbeda, maka terciptalah ruang publik baru. Seperti misalnya di Kota Bandung, telah tercipta ruang publik dengan beragam kepentingan dan kebutuhan.
Di New York sana, pada tahun 1984 Project for Public Spaces mengatakan ruang publik yang dimaksud secara umum pada sebuah kota adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, fasilitas transportasi umum seperti halte dan sebagainya. P
ada umumnya ruang publik dapat digambarkan pula sebagai ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Di ruang ini pertemuan antar manusia kerap kali terjadi untuk saling berinteraksi, sehingga hubungan tersebut menimbulkan kegiatan bersama.
Pendapat lain dari Roger Scurton ( 1984 ) mengenai ruang publik adalah sebagai berikut; suatu lokasi yang didesain seminimal mungkin, memiliki akses besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia atau pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat.
Pengertian ruang publik yang saya uraikan di atas bersifat umum, artinya ruang publik masih dominan menjadi milik orang-orang dewasa. Sedangkan saya menginginkan ruang publik yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak. Bukankah di abad ini populasi manusia semakin bertambah? Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan lansia semua memiliki kebutuhannya sendiri. Mengingat anak-anak merupakan generasi penerus sebuah bangsa maka wajar saja jika semua kebutuhannya selalu mendapat perhatian khusus.
Demikian pula dengan ruang publik, seyogyanya anak-anak juga sudah bisa memiliki ruang publik sendiri. Bukankah semua pengajaran khususnya bersosialisasi harus diajarkan sejak masih anak-anak?Â
Sebagai orang tua saya lebih cenderung mengajarkan anak untuk bersosialisasi, mengeksplor semua kegiatan yang disukai oleh anak. Selain ilmu secara teori, saya juga melihat sendiri bahwa anak yang sukses itu memiliki kecenderungan EQ nya lebih baik ketimbang mempertahankan IQ nya.
Kejadian yang Melatarbelakangi Perlunya Ruang Publik Ramah Anak
Seperti yang kita ketahui melalui beberapa pemberitaan, dalam enam bulan belakangan banyak sekali kasus menimpa anak-anak. Mendengar hal itu saya sempat berkata bahwa saat ini anak-anak sedang berada dalam keadaan darurat.Â
Kasus yang menimpa anak-anak juga cukup beragam, mulai dari penculikan, kekerasan seksual, perlakuan kasar pada fisik, gizi buruk, anak jalanan, anak terlantar, bahkan sampai pada kasus pembunuhan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABDH) selama tahun 2014 di Indonesia telah terjadi sekitar 2.879 kasus anak melakukan tindak kekerasan dan harus berhadapan dengan hukum. Adapun rentang usia anak tersebut yaitu 6–12 tahun sebanyak 268 anak (9%) . Kasus yang tertinggi adalah kekerasan pada anak sebanyak 1.701, pelecehan seksual 198, pembunuhan 170 dan perkosaan 104 kasus. Kasus lainnya yang membuat para orang tua khawatir yaitu narkoba dan minuman keras.
Melihat banyaknya kasus yang menimpa anak-anak yang tak lain adalah sebagai tunas bangsa, rasanya sudah sepantasnya semua elemen masyarakat ikut memikirkan hal ini.Â
Semua terobosan harus dicoba untuk mengurangi kasus-kasus tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan oleh Gubernur DKI Ahok adalah dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor : 349 tahun 2015 tentang Tim Pelaksana Pembangunan dan Pemeliharaan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak.Â
Dan berdasarkan keputusan tersebut saat ini DKI Jakarta sudah memiliki 6 RPTRA yang terletak di Cideng, Gandaria, Sungai Bambu Utara, Kembangan, Pulau Untung Jawa dan Cililitan. Sedangkan untuk tahun 2015 Bapak Gubernur menargetkan membangun 54 RPTRA lagi.
Konsep Ruang Publik Ramah Anak di DKI Jakarta
Seperti yang sudah saya ceritakan di atas, bahwa Arjuna dan teman-temannya membutuhkan ruang publik. Tentu saja ruang publik buat anak-anak berbeda dengan ruang publik orang dewasa. Karena anak-anak tidak bisa mempertahankan dirinya sendiri maka segala sesuatu yang menyangkut keamanan harus diberikan.Â
Mengutip dari beberapa media online yang meliput peresmian Ruang Publik Terpadu Ramah Anak ( RPTRA ) di beberapa tempat di DKI Jakarta, rasanya saya perlu acungi jempol atas komitmen Bapak Gubernur -- Ahok. Beberapa dari komitmen yang beliau sampaikan pada acara pembukaan antara lain adalah :
1. Dalam perencanaannya DKI Jakarta akan membuka 300 RPTRA karena ini merupakan bagian dari perwujudan Jakarta sebagai kota layak anak. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor : 12 Tahun 2010.
2. Harus memiliki fasilitas yang mendukung aktivitas anak seperti : Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD ), Posyandu, Ruang music, Kafe atau kantin, Ruang kesehatan, Lapangan futsal mini, Taman bermain dan Kolam ikan.
3. Perlunya pemasangan alat keamanan berupa CCTV sebagai usaha untuk melindungi anak.
Saya yakin keberadaan RPTRA ini memiliki banyak manfaat dan sedikit mengurangi biaya hidup di Jakarta. Bagaimana tidak, jika saja setiap Minggu anak-anak harus bermain di Mall dengan alat permainan modern maka tidak akan cukup untuk memenuhi biaya hidup. Pengalaman saya, jika membawa anak-anak bermain di Mall dengan dua anak, hampir mengeluarkan biaya 500 ribu rupiah.
Saya melihat dalam era digital sekarang ini, minat baca terhadap anak-anak mulai menurun. Padahal kita semua tahu bahwa buku merupakan jendela dunia dan membaca adalah ilmu tanpa batas.
Bapak Gubernur DKI Jakarta telah memenuhi keinginan masyarakatnya dengan membangun RPTRA. Sekarang saatnya masyarakat berperan serta untuk menjaga, memelihara dan merawatnya. Selain itu orang tua dalam hal ini Ibu-ibu harus juga ikut mengawasi dan menjaga anak-anak jika bermain di RPTRA tersebut. Walau bagaimanapun pengawasan yang ketat harus datang dari para orang tua. Pemerintah DKI Jakarta hanya bisa sebatas menyediakan fasilitasnya saja, sedangkan orang tua tetap harus berkewajiban mengawasi anak-anaknya.
Hadirnya RPTRA di DKI Jakarta ini bukan tanpa tujuan dan target. Bapak Gubernur sendiri mengatakan bahwa target dari pembangunan RPTRA ini antara lain adalah :
• Tidak ada lagi anak yang kurang gizi
• Tidak ada lagi lansia yang sakit keras dan tidak terurus
• Tidak ada lagi kasus bunuh diri
• Tidak ada lagi anak yang terlantar
• Tidak ada lagi anak yang teraniaya
• Saling mengawasi satu sama lain
• Terciptanya kerukunan antar warga
• Mengajarka anak bersosialisasi sejak dini
Hidup di kota besar apalagi sebesar Jakarta memang dibutuhkan ketahanan besar. Ketahanan ini bukan hanya lahir dari masyarakatnya saja tapi juga dari pemangku kepentingan. Kerja sama antara masyarakat dan pemimpin harus dapat direfleksikan dengan baik agar tujuan hidup di kota terpenuhi.Â
Menurut Zoer’aini ( 1997 ) tujuan umum pembangunan suatu kota adalah untuk pertahanan hidup manusia yang terdiri atas dua aspek yaitu tetap hidup dan meningkatkan nilai hidup.Â
Dari kajian inilah maka orientasi hidup di kota bukan lagi sebatas pemenuhan ekonomi belaka tapi harus lebih dari itu. Semua harus menjaga bukan saling menuntut satu sama lain, karena kota ditempati oleh masyarakat heterogen. Niscaya jika semua ini dijalani dengan penuh tanggung jawab maka kenyamanan dan ketentraman tinggal di kota bukan sesuatu yang muskil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H