Di New York sana, pada tahun 1984 Project for Public Spaces mengatakan ruang publik yang dimaksud secara umum pada sebuah kota adalah bentuk ruang yang digunakan manusia secara bersama-sama berupa jalan, pedestrian, taman-taman, fasilitas transportasi umum seperti halte dan sebagainya. P
ada umumnya ruang publik dapat digambarkan pula sebagai ruang terbuka yang mampu menampung kebutuhan akan tempat-tempat pertemuan dan aktivitas bersama di udara terbuka. Di ruang ini pertemuan antar manusia kerap kali terjadi untuk saling berinteraksi, sehingga hubungan tersebut menimbulkan kegiatan bersama.
Pendapat lain dari Roger Scurton ( 1984 ) mengenai ruang publik adalah sebagai berikut; suatu lokasi yang didesain seminimal mungkin, memiliki akses besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia atau pengguna ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain mengikuti norma-norma yang berlaku setempat.
Pengertian ruang publik yang saya uraikan di atas bersifat umum, artinya ruang publik masih dominan menjadi milik orang-orang dewasa. Sedangkan saya menginginkan ruang publik yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak. Bukankah di abad ini populasi manusia semakin bertambah? Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa dan lansia semua memiliki kebutuhannya sendiri. Mengingat anak-anak merupakan generasi penerus sebuah bangsa maka wajar saja jika semua kebutuhannya selalu mendapat perhatian khusus.
Demikian pula dengan ruang publik, seyogyanya anak-anak juga sudah bisa memiliki ruang publik sendiri. Bukankah semua pengajaran khususnya bersosialisasi harus diajarkan sejak masih anak-anak?Â
Sebagai orang tua saya lebih cenderung mengajarkan anak untuk bersosialisasi, mengeksplor semua kegiatan yang disukai oleh anak. Selain ilmu secara teori, saya juga melihat sendiri bahwa anak yang sukses itu memiliki kecenderungan EQ nya lebih baik ketimbang mempertahankan IQ nya.
Kejadian yang Melatarbelakangi Perlunya Ruang Publik Ramah Anak
Seperti yang kita ketahui melalui beberapa pemberitaan, dalam enam bulan belakangan banyak sekali kasus menimpa anak-anak. Mendengar hal itu saya sempat berkata bahwa saat ini anak-anak sedang berada dalam keadaan darurat.Â
Kasus yang menimpa anak-anak juga cukup beragam, mulai dari penculikan, kekerasan seksual, perlakuan kasar pada fisik, gizi buruk, anak jalanan, anak terlantar, bahkan sampai pada kasus pembunuhan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABDH) selama tahun 2014 di Indonesia telah terjadi sekitar 2.879 kasus anak melakukan tindak kekerasan dan harus berhadapan dengan hukum. Adapun rentang usia anak tersebut yaitu 6–12 tahun sebanyak 268 anak (9%) . Kasus yang tertinggi adalah kekerasan pada anak sebanyak 1.701, pelecehan seksual 198, pembunuhan 170 dan perkosaan 104 kasus. Kasus lainnya yang membuat para orang tua khawatir yaitu narkoba dan minuman keras.
Melihat banyaknya kasus yang menimpa anak-anak yang tak lain adalah sebagai tunas bangsa, rasanya sudah sepantasnya semua elemen masyarakat ikut memikirkan hal ini.Â