Asal Mula Pohon Aren Di Suku Karo
Dahulu kala, di dalam suatu desa hidup seorang Pengulu (Kepala suku) yang memiliki tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Seorang dari anak laki-laki pengulu tersebut sangat gemar berjudi, sedangkan saudara lakilakinya yang lain tidak suka berjudi. Adapun anak perempuan dari si Pengulu memiliki rambut yang keriting dan kasar. Dikarenakan keadaan rambutnya yang seperti itu, maka masyarakat memanggil dia dengan sebutan Beru Sibo. Saudara laki-laki Beru Sibo yang sangat gemar berjudi telah membuat masalah dalam keluarga. Dia selalu kalah berjudi dan menyebabkan dia memiliki banyak utang terhadap banyak masyarakat desa. Karena perilaku abangnya, Beru Sibo merasa sangat malu dan sedih.
Pada suatu malam, ketika Beru Sibo sedang tidur dia bermimpi ada yang mendatangi dia dalam mimpinya dan berkata, “Ercibal Belo kam, Belona belo cawir ras Belo si siwah sepuluh sada. Totoken man Dibata sinjadiken kam jadi manusia. Tapi ertoto la banci I rumah. Kam lawes ku kerangen, ku tepi embang entah pe ibas rebe-reben. Adi lawes kam rumah nari, ola nai kari begindu sora manuk tekuak, ngadi kam bas kerangen e. Cibalken belo e, inganna bulung galuh ujungna.” (Berdoalah kamu dengan memakai daun sirih, daun sirih Cawir dan daun sirih sisiwah sepuluh sada. Berdoalah kepada Tuhan yang telah menjadikan kamu menjadi manusia. Tetapi kamu tidak boleh berdoa dirumah. Kamu harus pergi ke hutan, ke tepi sungai ataupun ke dalam belantara. Kalau nanti kamu pergi dari rumah, jangan sampai kamu mendengar suara ayam berkokok, berhenti kamu di hutan itu. Persembahkan sirih itu, buat tempatnya dengan daun pisang ujungnya).
Maka berdoa lah beru Sibo kepada Tuhannya seperti apa yang telah di sarankan oleh mimpinya tempo hari, “O Tuhan Dibata, kam si njadiken aku jadi manusia. Mela kel kuakap perbahanken mbue kel utang turangku perban erjudi ia”(O Tuhan, kamu yang menjadikan aku menjadi manusia. Aku merasa sangat malu sekali karena perbuatan abangku yang memiliki utang sangat banyak akibat berjudi) kata beru Sibo didalam doanya sambil menangis tersedu-sedu. Karena tangisannya yang begitu sedihnya, tiba-tiba angin menjadi sangat kencang dan disusul dengan hujan yang sangat deras dari langit. Setelah itu, berubahlah si Beru Sibo menjadi Batang Pola. Mulai dari saat itu beru Sibo tidak lagi pulang kerumah.
Beberapa waktu kemudian, ayah dari beru Sibo yang seorang pengulu mulai khawatir akan keberadaan putrinya yang tidak pulang-pulang lagi kerumah. Hingga akhirnya diperintahkan untuk seluh masyarakat desa mencari beru Sibo ke berbagai tempat di penjuru desa setiap hari, siang dan malam. Sampailah pencarian masyarakat desa ke sekitar tempat dimana beru Sibo menjelma, dan seketika itu juga Beru Sibo pun langsung berbicara, “O nande, O bapa, O bibi, O turang, aku enda enggo ertapa, enggo berubah jadi batang pola i tengah kerangen. Gelah bali pagi utang turangku enda ndai kerina, balbal pagi tanku enda. Kenca balbal dua bulan, tektek pagi. Lit pagi launa, tanggerken tare belanga. Pegara apina ngadi-ngadi kental jadi gula. Dayaken pagi gula e guna nggalari kerina utang turangku si perjudi ena” (O ibu, O ayah, O bibi, O abang, aku sekarang sudah bertapa, sudah berubah menjadi pohon aren di tengah hutan. Agar utang abangku ini nanti lunas semua, balbal lah tandanku ini. Setelah balbal selama dua bulan, potong nanti. Ada nanti air yang keluar, masak dengan kuali. Nyalakan apinya sampai menjadi kental dan jadi gula. Jual gula itu untuk melunasi semua utang-utang abangku yang pejudi itu.) kata beru Sibo. Maka setelah itu, lunaslah semua utang- piutang abang dari beru Sibo.
Akhirnya, dilakukan lah kegiatan Ngeria itu terhadap batang pola sampai sekarang dengan tetap memegang kepercayaan akan eksistensi beru Sibo sebagai penghuni atau jelmaan dari batang pola. Dulu masyarakat karo menggunakan nira dari batang pola sebagai minuman khusus apabila ada yang sedang mengadakan upacara adat sebagai simbol kesehatan, dan kemakmuran.
“Ngeria” Menyerap Aren di Suku Karo dan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan adalah Sistem usaha tani dengan pengurangan input bahan bahan kimia , melakukan praktek pertanian konservasi , pengendalian hama penyakit dan gulma secara bijaksana dengan mengutamakan pengendalian agen hayati biologi dan pestisida nabati , melakukan pemeliharaan kesuburan tanah dengan materi utama bahan organik tanah sehingga sistem usahatani tersebut berkeberlanjutan baik secara fisik lingkungan ), biologi dan sosio ekonomi.
Tiga indikator yang dapat dilihat :
1. Lingkungannya Lestari
2. Ekonominya Meningkat
3. Secara social-budaya diterima oleh masyarakat petani
Kearifan Lokal
Dalam kehidupan budaya masyarakat Karo, terdapat banyak kegiatan tradisi yang sudah turun-temurun di lakukan oleh masyarakat setempat dan erat kaitannya dengan musik. Seperti dalam halnya, acara hiburan, ritual, pernikahan, hingga acara kematian pada adat suku Karo selalu identik dengan musik dan nyanyian. Dalam bahasa Karo, nyanyian disebut dengan ende-enden, dan dalam prakteknya masyarakat Karo juga memiliki cengkok khas dalam melantunkan nyanyian-nyanyian yang disebut rengget. Dalam acara-acara adat Karo, biasanya ende-enden dinyanyikan oleh penyanyi yang disebut perende-rende. Seni suara memegang peranan yang cukup penting didalam upacara adat ataupun dalam melakukan ritual-ritual adat Karo.
Masyarakat Karo yang bekerja dengan cara memanfaatkan pohon aren yang tumbuh didalam hutan dimana seluruh bagian dari pohonnya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari seperti memanfaatkan menyaring Nira yang berasal dari pohon aren. Kegiatan menyaring Nira yang dimana disebut dengan Ngeria pada masyarakat Karo. Ngeria sendiri merupakan salah satu tradisi yang berasal dari suku Karo yang mengandung unsur-unsur musikal. Kegiatan ngeria atau erpola tersebut adalah suatu kebudayaan yang dimana prkatiknya menggunakan nyanyian yang berisikan lirik tentang kesengsaraan hidup. Dimana nyanyian tersebut adalah Tabas (nyanyian mantra), dimana nyanyian ini biasa dinyanyikan oleh Guru Sibaso.
Berikut adalah penggalan teks dari nyanyian Ngeria yang dinyanyikan oleh Perpola di Suku Karo :
Ku jolah joleken me kena beru Sibo
(Ku ayun-ayunkanlah kamu beru Sibo)
Dari penggalan teks tersebut beru Sibo-lah yang menjadi ikon, dimana beru Sibo yang dimaksud adalah batang pola yang sedang di balbal.
Sampati kena kel aku
(Tolong bantulah aku)
Adi la kin sampatindu nggo
(Kalau tidak kamu tolong)
Menda mberat bas aku
(Sudah pasti susahlah aku)
Belanjaku pe lanai lit
(Belanjaku pun tak ada lagi)
Penukur isapku pe lanai lit
(Untuk beli rokok pun tak ada lagi)
Dari teks tersebut dapat dlihat perpola sudah tidak memiliki uang lagi untuk membeli keperluan sehari-harinya, seperti keperluan belanjanya bahkan untuk membeli rokok.
Emaka sampati kel aku beru Sibo
(Maka tolong bantulah aku beru Sibo)
Sampati kel aku
(Bantulah aku)
Dari teks emaka sampati kel aku beru Sibo, sampati kel aku, Perpola mengulang kata sampati kel aku yang artinya bantulah aku yang ditujukan kepada beru Sibo. Dapat kita lihat dari pengulangan kata tersebut perpola ingin menekankan bahwa sangat membutuhkan bantuan beru Sibo.
Idahndu ngenda bagenda nge dahinku e pe beru Sibo.
(Kamu lihatnya begini pekerjaanku ini beru Sibo)
Tak kasursar ras kasursar ras kasursar ras kasursar ras
Tak kasursar ras kasursar ras kasursar ras kasursar ras
“Tak” yang digambarkan sebagai suara tanyang telah dipotong dan “kasursar ras” adalah, sebagai gambaran untuk bunyi Nira yang jatuh tepat di tengah tongkap dan menyebar memenuhi tongkap tersebut.
Adapun nyanyian lain yang dilantunkan oleh perpola pada masyarakat suku karo sebagai berikut :
O beru Sibo, kubalbal ko
(O beru Sibo, kupukul kamu)
Nembeh aku labo, sada enca ku pindo
(Bukan aku marah, hanya satu yang kuminta)
Erlau min ko
(Berair lah kamu)
Makna yang tersirat di balik bentuk dan aspek isi dari kata teks nyanyian Ngeria adalah makna konotatif. Dari teks di atas, teks nyanyian Ngeria tidak menggambarkan artian yang sebenarnya, melainkan dengan menggunakan makna tambahan. Terutama di bagian “O beru Sibo, kubalbal ko” yang memiliki arti bahwa beru Sibo bukanlah nama orang dalam artian sebenarnya, melainkan sebuah penggambaran dari batang pola yang akan disadap.
Aspek Lingkungan (Planet)
Aren termasuk dalam suku Aracaceae (pinang), batangnya tidak berduri, tidak bercabang, tingginya bisa mencapai 25 meter dan diameter batang bisa mencapai 0,5 meter. Tangkai daun lontar dapat mencapai panjang 1,5 meter, panjang tangkai daun dapat mencapai 1,45 meter, lebar 7 cm dan bagian bawah daun terdapat lilin. Masyarakat pada umumnya sudah lama mengenal pohon aren sebagai pohon yang dapat menghasilkan bahan untuk industri kerajinan.
Hampir sebagian dari hasil tanaman tersebut dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomis. Bagian fisik pohon aren yang digunakan, seperti akar (untuk pengobatan tradisional), batang (untuk berbagai peralatan dan tepung), aren (untuk bahan bangunan atap), daun (terutama daun muda untuk pembungkus dan pengasapan), sebagai serta hasil produksinya berupa buah dan nira dapat dimanfaatkan sebagai makanan dan minuman.
Aren dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 1.400 mdpl, pada berbagai agroekosistem dan memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan tumbuh. Namun tumbuh paling baik pada ketinggian 500-700 mdpl dengan curah hujan lebih dari 1200-3500 mm/tahun. Kelembaban tanah dan curah hujan yang tinggi mempengaruhi pembentukan tajuk daun tanaman aren. Untuk pertumbuhan dan pembuahan, tanaman aren membutuhkan suhu 20-25 0C. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah pegunungan, lembah, dekat sungai dan banyak dijumpai di hutan.
Aspek Sosial Budaya (People)
Suku Karo adalah suku yang mendiami dataran tinggi Sumatera Utara tepatnya berada di Kabupaten Karo. Suku Karo memiliki sapaan khas yaitu “Mejuah-Juah” yang secara harafiah diartikan sebagai ucapan damai sejahtera, ucapan sehat-sehat bagi masyarakat Karo yang bertemu. Pada umumnya masyarakat Karo yang berada di Tanah Karo masih memegang erat adat dan budaya yang mereka yakini memberi kekuatan didalam melanjutkan kehidupannya. Adat dan budaya itu kemudian mengintegrasikan masyarakat Karo kepada suatu hubungan kekeluargaan yang sangat baik. Adat dan budaya Karo kemudian membuat masyarakat Karo menyadari pentingnya menjaga kerukunan dan keharmonisan antar masyarakat suku Karo.
Dengan kondisi Geografis yang terletak di dataran tinggi, maka dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Karo bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan cara bercocok-tanam,berdagang, dan juga beternak. Namun, ada juga dari masyarakat Karo yang bekerja dengan cara memanfaatkan pohon aren yang tumbuh didalam hutan dimana seluruh bagian dari pohonnya dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari seperti memanfaatkan buahnya untuk dijadikan kolang-kaling, daunnya bisa dijadikan sapu lidi, bisa juga dengan menyaring Nira yang berasal dari pohon aren. Kegiatan menyaring Nira yang dimana disebut dengan Ngeria pada masyarakat Karo.
Ngeria adalah kegiatan menyadap Nira yang berasal dari pohon Aren atau dalam bahasa Karo disebut sebagai Batang Pola, yang dilakukan oleh seseorang yang disebut dengan perpola oleh masyarakat karo. Ngeria yang dilakukan oleh perpola sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pada waktu pagi dan sore. Ngeria sendiri merupakan salah satu tradisi yang berasal dari suku Karo yang mengandung unsur-unsur musikal. Kegiatan ngeria atau erpola tersebut adalah suatu kebudayaan yang dimana prkatiknya menggunakan nyanyian yang berisikan lirik tentang kesengsaraan hidup. Dimana nyanyian tersebut adalah Tabas (nyanyian mantra), dimana nyanyian ini biasa dinyanyikan oleh Guru Sibaso. Selain itu Ngeria dilakukan masyarakat Karo sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan dahulu diketahui bahwa dahulu masyarakat Karo juga ada yang bergantung pada pohon aren ini, baik pada batang, daun, ijuk, dan paling utama Niranya.
Aspek Ekonomi (Profit)
Hampir semua bagian dari pohon aren dapat dimanfaatkan. Bagian-bagian dari pohon aren yang dapat dimanfaatkan juga bernilai ekonomi tinggi dan paling terkenal adalah Nira, Nira yaitu air yang berasal dari tandan bunga jantan yang disadap. Nira dapat diolah menjadi tuak, cuka dan gula aren. Tapi masyarakat karo dahulu banyak menjadikan air Nira yang keluar dari tandan diolah menjadi gula merah untuk dijual dan uangnnya untuk membayar hutang yang telah menumpuk. Namun sekarang air yang keluar dari tandan tersebut rata-rata telah diolah menjadi tuak dan langsung memfermentasikan airnya pada saat penampungan diatas pohon aren tersebut. Selain itu Ngeria dilakukan masyarakat Karo sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan dahulu diketahui bahwa dahulu masyarakat Karo juga ada yang bergantung pada pohon aren ini, baik pada batang, daun, ijuk, dan paling utama Niranya.
SINTESIS
Kearifan lokal adalah pandangan hidup oleh masyarakat lokal yang merupakan hasil proses adaptasi turun temurun dalam periode waktu yang sangat lama terhadap suatu lingkungan alam tempat mereka tinggal. Nilai-nilai dalam kearifan lokal tersebut menjadi modal utama dalam membangun masyarakat tanpa merusak tatanan sosial dan lingkungan alam. Kearifan lokal merupakan produk budaya yang patut dijadikan pegangan hidup karena banyaknya nilai yang bisa diambil. Sinergitas kearifan lokal, nilai-nilai dasar dari kesadaran kosmologis dalam pembangunan pertanian berkelanjutan, khususnya dalam implementasi kebijakan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H