"Aku berguru pada rindu saat bersimpuh padamu. Memeluk erat tubuh rentamu. Menatap pekat teduh matamu."
Dua cangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng tersaji manis di atas meja kayu ukir, yang berada tepat di ujung kanan beranda rumah sederhana nan bersih. Angin sepoi-sepoi menambah sejuk suasana sore itu. "Bu, hari Senin besuk aku ada panggilan interview kerja di Jakarta. Doain Ajeng nggeh Bu." Ucap Ajeng selepas menyeruput teh hangatnya. "Pasti Ibu doakan. Semoga kali ini menjadi rejekimu nduk. Jangan lupa juga ngabari mas Agung, dia yang selalu perhatian dan selalu mencemaskanmu." Jawab Ibu panjang. Sesaat dada Ajeng berdesir mendengar nama sosok itu disebut. Dengan disertai hela nafas panjang Ajeng mengangguk.
Minggu malam Ajeng berangkat ke Jakarta naik kereta. Selama dalam perjalanan Ajeng berdoa. Semoga kali ini dia lolos interview. Setelah melewati banyak interview di banyak kota yang ujungnya mengecewakan. Kalau tak lolos ya tak sesuai dengan passionnya. Kali ini dia lebih legowo. Lebih ikhlas. Apapun hasilnya.
Ajeng hanya kepikiran Ibu. Mungkin dia akan memboyong Ibu ke Jakarta jika memang rejeki pekerjaannya ada di kota itu. Atau dimanapun Ajeng akan membawa Ibu. Ibu harus selalu ada disamping Ajeng. Â Ajeng tidak bisa hidup tanpa Ibu.
Ajeng melihat 5 panggilan tak terjawab di ponselnya. Juga banyak chat whatsapp yang belum terbaca. Siapa lagi kalau bukan dari Mas agung. Bukannya Ajeng tidak mau membalas, tetapi dia masih merasa tidak enak hati. Mas Agung terlalu berlebihan memperlakukan Ajeng. Dan Ajeng tidak suka.
Tepat di jam Ajeng melakukan interview kerja, saat itu juga Ibu di atas sajadah. Memohon sepenuh hati dan berdoa untuk kelancaran perjuangan Ajeng hari itu. Ibu menitikkan air mata tanpa bersuara. Betapa dia menyayangi dan mencintai putri satu-satunya itu. Permata hatinya yang kini telah beranjak dewasa. Yang dengan penuh perjuangan membesarkan dan menyekolahkan hingga perguruan tinggi. Hanya dari hasil berjualan sayur keliling dan membuat kue-kue basah. Seorang diri. Tanpa suami.
Tring tring.. ada bunyi sms masuk di ponsel Ibu.
"Assalamualaikum Ibu, sore ini hasil interview sudah keluar. Berkat doa Ibu, Alhamdulillah Ajeng lolos. Nanti malam Ajeng pulang naik kereta dan mengambil baju-baju dirumah. Karena seminggu lagi Ajeng sudah mulai masuk kerja".
Tulis Ajeng panjang mengabarkan kegembiraannya.
"Alhamduliah nduk, hati-hati dijalan".
Balas Ibu singkat sambil berurai air mata haru.
Di ujung sana Ajeng juga meneteskan air mata haru. Sambil meringis menahan perutnya yang lapar. Dia kecopetan selepas naik kopaja menuju tempat interview. Untung ada seorang satpam yang baik. Memberi beberapa lembar uang sekedar ongkos balik ke stasiun. Berhuntungnya lagi dia sudah memesan tiket pulang pergi.
Seberat apapun perjuangan Ajeng hari itu, Ibu tidak boleh tahu. Dia bersyukur tak pulang membawa kekecewaan lagi. Ajeng membawa kemenangan hari itu. Demi membalas semua kebaikan dan perjuangan Ibu. Ajeng harus sukses dan Ibu harus bangga dan bahagia.
***
"Ibu sangat mengerti maksud nak Agung. Tapi semua saya kembalikan dan serahkan ke Ajeng ya.. " Kata Ibu lembut dan penuh hati-hati. Agung hanya menunduk dan mengangguk. Mau tidak mau dia akan mencoba bersabar sekali lagi. Dia akan mencari tahu dulu sosok ayah Ajeng. Setidaknya masih ada waktu dan harapan yang dapat dia gunakan sebaik mungkin.
***
Sore itu sesampainya dirumah Ajeng juga memberi kabar ke Mas Agung. Dia mengabarkan kalau sudah sampai rumah dan ingin bertemu.
"Maaf mas, Ajeng baru sempet bales. Nanti selepas magrib Ajeng tunggu dirumah ya.. "
Bukan main senangnya Mas Agung membaca pesan dari Ajeng. Benar-benar waktu yang tepat untuk menyatakan sesuatu yang sudah lama tersimpan rapi di hati.
"Tapi Ajeng belum bisa mas, belum siap. " Jawab Ajeng tiba-tiba. Mas Agung menghela nafas berat sesaat. "Mas tahu, mas akan selalu dan terus menunggu sampai kamu siap. " Ujar Mas Agung
Andai Mas Agung tahu. Bukannya Ajeng mengulur waktu atau tidak mau. Tapi Ajeng merasa takut. Merasa bingung. Antara memilih mas Agung atau Ibu. Dan masih banyak lagi kelibat ketakutan-ketakutan di benak Ajeng yang tak bisa dijelaskan. Ajeng merasakan akan ada sesuatu yang terjadi selepas pilihan dijatuhkan.
Sosok pendamping hidup bagi seorang Ajeng bukanlah yang utama. Toh ibunya bisa hidup sendiri tanpa pendamping. Membesarkannya seorang diri dari bayi. Ajeng ingat sekali, ibu memperkenalkannya dengan seorang laki-laki yang kemudian dia panggil bapak. Tetapi hanya sebatas itu. Dalam sebulan mungkin hanya sekali bapak berkunjung kerumah. Itupun hanya beberapa tahun saja. Jelang SMP sosok bapak menghilang dari hari-harinya.
Ibu bilang jangan terus-terusan menanyakan bapak. Bapak sudah punya kehidupan sendiri. Bapak sudah bahagia dengan keluarganya. Saat itu Ajeng hanya bisa diam, dan menerka-nerka dengan jalan pikirannya yang masih belum cukup mampu menangkap apa maksud ucapan ibu saat itu.
***
Jelang senja di Awal September. Yah, Ibu menautkan ikrar pernikahan dengan seorang lelaki  bernama Ardiansyah. Masih ingat betul bagaimana berdarah-darahnya perjuangan mereka berdua hingga sampai pada titik itu. Menikah.
Dan ternyata pernikahan mereka bukan menjadi akhir perjuangan. Beruntut kejadian mengiring rumah tangga. Banyak kerikil dan badai menghadang.
"Bagaimanapun kau harus bertanggung jawab atas anak itu mas. " ujar Ranti dengan isak tertahan.
"Aku akan menikahinya dengan restumu, tetapi sampai kapanpun aku tak akan pernah meninggalkanmu Ranti. " jawab Ardiansyah dengan suara yang sedikit bergetar.
***
"Ibu, ini sudah malam, kenapa masih melamun sendirian di beranda". Kata Ajeng yang sontak membuyarkan lamunan Ibu.
Ibu hanya sedikit kaget dan tersenyum melihat putrinya yang sudah duduk disampingnya. Dielus nya rambut putri cantiknya yang kini sudah beranjak 25 tahun. Ibu mengerti sangat karakter dan sifat Ajeng, apa yang ada dibenak Ajengpun Ibu mengerti. Kenapa Ajeng begitu dingin dengan Mas Agung atau semua lelaki yang mendekatinyapun Ibu mengerti. Apa yang tak Ibu mengerti hanya kenapa Ardiansyah perlahan meninggalkannya dan seolah melupakan janji-janjinya. Meninggalkan seorang Ranti dan putri kecilnya menapaki kerasnya dunia seorang diri.
Ibu mungkin memang terus mencoba berusaha untuk ikhlas. Ikhlas akan takdir yang telah digariskan Tuhan  untuknya. Tetapi Ibu juga menginginkan anaknya bahagia. Menikah. Punya keluarga. Memberinya cucu yang lucu-lucu. Bukan kuasa Ibu pula memaksa Ajeng menikah padahal Ajeng sendiri bahkan belum siap. Biarkan Agung menjadi deret paling atas harapan Ibu. Setidaknya untuk tetap setia menunggu putrinya siap. Karena Ibu tahu jika Agung itu sosok yang baik dan dari keluarga yang baik-baik pula. Biarlah waktu yang akan menguji sejauh mana kebaikan dan kesetiaan Agung.
"Ibu, mungkin saat ini Ajeng hanya ingin membahagiakan Ibu dulu. Ajeng sayang sekali sama Ibu. Ajeng belum bisa menerima lelaki manapun untuk menikahi Ajeng saat ini. Ajeng hanya ingin sendiri. Untuk saat ini dan entah sampai kapan. Ajeng pikir semua lelaki itu sama. Sama seperti Bapak memperlakukan Ibu. Dan Ajeng tak sanggup membayangkan jika itu semua terjadi pada hidup Ajeng. Maafkan Ajeng Ibu". Kata Ajeng panjang dengan menggenggam erat kedua tangan Ibu.
Mereka berdua pun berpelukan dengan  bulir air mata yang mengalir deras.
"Ibu, ajari aku merenda pagi. Meronce hari-hari. Merangkai mimpi-mimpi. Melukis pelangi. Memahat kelopak senja. Dan mengayuh tulus doa-doa".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H