Mohon tunggu...
Eko Teguh Paripurno
Eko Teguh Paripurno Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis kerja-kerja kemanusiaan dan penanggulangan bencana. \r\n\r\nPendiri Perkumpulan Komuntas Pencita Alam Pemerhati Lingkungan (KAPPALA) Indonesia. Sekretaris Jendral Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI). Badan Pengurus Perkumpulan Penguatan Institusi Kapasitas Lokal (PIKUL) Kupang. Anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Anggota Volcano Disaster Prepardness Reseach Center (VDPRC) Korea. Anggota Internationa Science Committe (ISCU) Bidang Bencana. \r\n\r\nKetua Pusat Studi Manajemen Bencana dan Dosen MKA Manajemen Bencana dan MKA Vulkanologi dan MKA Teknik Komunikasi Geologi di UPN Veteran Yogyakarta.\r\n\r\nFellow Ashoka (2000), kewirausahaan sosial bidang risiko lingkungan. Penerima penghargaan Sasaka Award dalam Pengurangan Risiko Bencana dari UNISDR (2009), Penerima penghargaan Dosen Berprestasi Khusus dalam Pengabdian pada Masyarakat dari UPN Veteran Yogyakarta (2010), Penerima Piagam Penghargaan Bela Negara dari Kemhan RI (2012), \r\n\r\nMenyelesaikan Doktor Ilmu Pengetahuan Alam di UNPAD Bandung, setelah menyelesaikan Magister Geologi di ITB Bandung dan Sarjana Teknik Geologi di UPN Veteran Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PENANGGULANGAN BENCANA KITA

2 April 2014   06:12 Diperbarui: 4 April 2017   17:24 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kehadiran BNPB merupakan mandat UU 24/2007 tentang PB dan PP 21/2008 tentang Penyelenggaraan PB untuk menyelenggarakan PB. BNPB merupakan lembaga pemerintah yang memiliki mandat utama sebagai penyelenggara PB tersebut melalui fungsi koordinasi, komando dan pelaksana. Namun demikian mandat penyelenggaraan PB secara proporsional juga dimiliki oleh sektor-sektor lain sesuai dengan tupoksi masing-masing. kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Keuangan mempunyai mandat mengatur hubungan dan ketersediaan sumberdaya di pusat dan daerah dalam hal PB. Kementrian Sosial, Kementrian Kesehatan, Kementrian Pekerjaan Umum menangani kondisi darurat bencana. Pertanyaannya, apakah perundangan-undangan yang menjadi acuan tersebut secara substansial selaras dan sinergis? Ternyata tidak.


Undang-undang yang disusun setelah UU PB, rasanya belum melihat isu bencana menjadi hal yang penting. Beberapa undang-undang justru mempunyai unsur ketidakselarasan dan bahkan mempunyai hubungan saling asing. Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini, misalnya: Pertama, UU 27/2007 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang disusun memberikan pemaknaan “mitigasi bencana” (pasal 56) yang berbeda dengan pengertian “mitigasi” di dalam UU PB (pasal 1 ayat 6). Ha ini akan berimplikasi pada perbedaan pengertian pada turunan perundangan dan praktek penyelenggaraan PB berbeda dengan kelaziman yang ada di BNPB. Kedua, UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang disusun belakangan telah memastikan adanya tingkatan status konflik di tingkat daerah, regional dan nasional. Bencana akibat konflik sosial, juga merupakan relung mandat BNPB; yang ironisnya belum ada penentuan status tingkatan bencana. Sampai kapan ya? Untuk memperjelas mandat daerah dan pusat, tingkat status bencana ini perlu ditegaskan. Ketiga, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menggunakan mitigasi bencana sebagai pertimbangan tindakan; namun belum melakukan penyelarasan tata ruang pengelolaan kawasan rawan bencana sebagai bagian dari upaya pencegahan. Mandat pencegahan dan analisis risiko sebagai upaya pencegahan bencana dapat dilihat pada pasal 45, pasal 40, pasal 41 dan pasal 75 UU PB. Keempat, UU 31/2009 tentang BMKG yang menghasilkan produk komponen teknis untuk mendukung sistem peringatan dini tidak mempertimbangkan dan melandasi kehadirannya dengan UU PB. Beberapa pengertian terkait bencana seperti “mitigasi” dan “adaptasi” lebih condong sebagai pengertian dalam perubahan iklim.


Undang-undang yang hadir lebih dahulu cenderung belum mempertimbangkan bencana menjadi urusan pemerintah. Peraturan di bawahnya yang muncul kemudian juga belum menempatkan bencana menjadi pertimbangan. Beberapa contoh dapat kita tunjukkan di sini misalnya: Pertama, UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung Belum diselarasakan standar bangunan gedung dengan kecenderungan intensitas bahaya yang berhubungan dengan kehadirannya di dalam zona rawan bahaya yang berpengaruh langsung terhadap kerusakan gedung (gempa) atau pemanfaatan gedung untuk pengurangan risiko bencana (tsunami). Kedua, UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air belum melihat pengelolaan sumberdaya air dari sisi negatif (bahaya) baik dari sisi kelebihan air (banjir) maupun kekurangan air (kekeringan) sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan pencegahan bencana. Ketiga, UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), belum secara baik menjelaskan peran TNI dalam kondisi aman khususnya bencana. Keempat, UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); dalam peraturan keduanya berhubungan saling asing, walau prakteknya tidak demikian. Karena itu peran Polri dalam PB perlu diatur lebih lanjut.

Fungsi Koordinasi, Tata Kerja dan Pendanaan PB


Ketidakselarasan undang-undang dalam PB tersebut menjadikan Kementrian dan lembaga dan yang menjalankan mandat PB seperti yang tertulis dalam tupoksi sektornya sebagai turunan atas perundangan sektornya tentu bukan sebuah pelanggaran. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah ketika penyelarasan dan koordinasi antar sektor untuk pemwujudkan praktek yang baik tidak dapat dilakukan. Apakah ke”baru”an, BNPB sebagai pemilik mandat dan fungsi koordinasi dalam PB terlihat ragu-ragu dan “sungkan” menjalankan mandat tersebut? Di sisi lain Kementrian dan Lembaga sebagai “aktor” senior “enggan” melakukan koordinasi?


Kesulitan BNPB menjalankan mandat mengkoordinasikan kementrian dan lembaga, bila ditelusuri rasanya berawal dari Perpres 8/2008 tentang Pembentukan BNPB yang “hanya” menempatkan BNPB sebagai lembaga teknis non departemen yang dipimpin oleh kepala setingkat mentri. Demikian juga bila kita lihat, Perpres 24/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah PB dari Masyarakat Profesional dan Perpres 59/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah PB dari Instansi Pemerintah, menempatkan unsur pengarah di bawah kepala. Perpres ini menarik karena Perpres 8/2008 (26 Januari 2008) menempatkan unsur pengarah BNPB “lebih rendah” dari BPLS (Perpres 14/2007, revisi Perpres 40/2009). Pada unsur pengarah BNPB terdiri dari masyarakat profesional, ada semacam “down grade” setelah melalui fit and proper test; sedang dari sisi wakil pemerintah “hanya” diisi pejabat eselon satu.


Permasalahan fungsi koordinasi ini berlanjut dengan hadirnya Inpres No. 4 Tahun 2012 tentang Penanggulangan Bencana Banjir dan Tanah Longsor. Substansi inpres ini pada dasarnya menegaskan kembali fungsi mengkoordinasikan kementrian dan lembaga yang seharusnya dilakukan BNPB. Apakah kehadiran Inpres ini dapat dimaknai sebagai pernyataan atas ketidakmampuan semua komponen kebencanaan untuk berkoordinasi? Mampu mengkoordinasikan dan rela dikooordinasikan?


UU 32 / 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 / 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah ini hadir sebelum UU PB, sehingga belum mengatur mandat Pemerintah Daerah dalam PB. Hal ini berakibat PB belum menjadi “mandat pokok” pendanaan untuk kegiatan PB menjadi “anak tiri” di dalam perimbangan keuangan pembangunan. Pendanaan PB di daerah tidak masuk dalam prioritas utama. Hal yang sama pembagian urusan pemerintahan antara pusat dan daerah dalam penyelenggaraan PB sering dianggap belum jelas.


PP 22/2008 tentang Pendanaan PB dan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten/Kota, atau antara Pemerintah Daerah Provinsi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih belum bermakna. Salah satu perangkat perundangan yang digunakan adalah PP 44/2012 tentang Dana Darurat. Peraturan penggunaan dana darurat perlu mengakomodir praktek-prakek penanganan darurat yang memunculkan status kesiapan darurat dan transisi darurat, dengan mempertimbangkan implikasi yang ada.

Penyelenggaraan PB


Penyelenggaraan PB pada akhirnya dilaksanakan oleh peraturan pemerintah dan keputusan setingkat mentri dan lembaga. Dalam pelaksanaannya masing-masing kementrian dan lembaga membuat aturan sendiri-sendiri, sebagai turunan atas perundang-undangan di atasnya. Kondisi ini memunculkan potensi ketidakselarasan dalam pelaksanaan PB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun