"Siapa yang menginginkan popularitas, maka ia adalah hamba popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa, maka ia akan menjadi hamba penguasa. Dan siapa yang menyembah Allah, maka baginya sama saja, terkenal ataupun tidak." (Syaikh Abu al-Abbas)
Gelimang materi, penghormatan, fasilitas yang mengalir dan endorse berbagai produk. Seringkali membuat gelap mata para pencari popularitas, sehingga berharap mendapatkan ketenarannya dengan instant. Berbagai upaya dilakukan, agar namanya dikenal, dibicarakan dan diakui. Serta memiliki ribuan follower.
Media sosial menjadi alat ampuh sebagai jimat pengundang kemasyhuran. Berbekal keberanian, atau lebih tepatnya kenekatan. Mereka para pecinta popularitas semu itu, membuat konten yang penting aneh, tidak biasa namun terlihat menarik.Â
Maka media sosial dibanjiri oleh konten yang tidak mendidik, sekedar aneh dan berbeda. Mulai dari mandi di jalan, hingga menipu orang dengan cara menyakitkan.Â
Konten yang berujung pada pengunggahnya untuk meminta maaf, menyesal, atau pura-pura menyesal. Bahkan hingga masuk jeruji besi. Padahal sebelumnya, di depan kamera mereka beraksi dengan angkuh.
Para pencari popularitas instant itu lupa, bahwa kemasyhuran bisa saja terlahir dengan cepat karena viral. Namun, dapat dipastikan akan terhapus juga dengan cepat.Â
Betapa banyak selebritis yang kemudian viral, wara wiri di tv, lalu tenggelam. Kemudian tertekan dalam kesedihannya sebab kini orang sudah mulai melupakannya.
Nasehat Syaikh Ibnu At-Thaillah ini dapat menjadi renungan,
"Tanamkan dirimu dalam tanah kerendahan. Sebab tiap sesuatu yang tumbuh tetapi tidak ditanam, maka tidak sempurna hasil buahnya."
Kesukesan seseorang biasanya bermula dari saat-saat yang tersembunyi, ketekunan yang sepi dari keramaian. Seperti tertanam di tanah, tidak diketahui. Jika proses tersebut tidak dilalui, maka popularitas instant yang diperoleh.Â