Meja makan tua yang kecil dan tidak terlalu kokoh itu. Kini menjadi meja belajar Cepi selama di rumah. Di ruang tengah itu juga, Sholeh duduk lesehan sambil memperhatikan laptop jadulnya, ia  mencoba berjualan online setelah dirumahkan dari kerjanya sebagai kepala toko di mall terkenal di Bogor.
Rumah mungil nan bersih itu kini menjadi ramai dengan hangatnya persaudaraan, terutama setelah Sholeh mager di rumah. Keluarga yang memang terdiri dari Ibu, Bapak dan dua anak itu, menjadi  mudah terhubung. Walau si bungsu Cepi, lebih intim dengan smartphone yang begitu lengket ditangannya. Sesekali Sholeh menggoda adiknya yang usia SMA itu, dengan candanya yang selalu berakhir dengan tawa lepas seluruh penghuni rumah.
Ibunda mereka, adalah ibu rumah tangga, yang sesekali berjualan gorengan dengan menitipkannya di warung depan. Sedangkan ayahnya, berprofesi ojek online yang kini lebih sering menjadi ojek offline karena mengantar bantuan untuk disalurkan kepada yang membutuhkan.
Kehidupan mereka yang sederhana, menjadi semakin sederhana, saat PSBB mulai diterapkan. Namun mereka cukup beruntung, si sulung Sholeh, masih memiliki tabungan untuk melanjutkan hidup mereka sekitar empat atau lima bulanan walau dengan keterbatasan. Tabungan yang semula disiapkan sebagai biaya untuk pernikahannya nanti.
Semula orangtuanya melarang tabungan itu digunakan. Biarlah masalah rumah tangga menjadi tanggungjawab mereka berdua. Tapi Sholeh memaksa, lagi pula saat ini ayah dan ibunya tidak mudah untuk mengais rezeki seperti dulu.
"Ijinkan Sholeh berbakti walau sedikit!" Sholeh memohon pada ibunya
"Tapi itu bukannya untuk nikahan kamu Leh!"
"Ngga apa apa Bu, lagi pula calonnya belum ada hi..!"
"Jomblo ni ye..!" tiba-tiba adiknya memotong
"Tapi jomblo high quality Cep!" Sholeh cepat menimpali.
"Kamu ini Cep, Ibu lagi ngobrol serius sama kakakmu malah di potong!"