Mohon tunggu...
Esty Cahyaningsih
Esty Cahyaningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru Honorer

Guru honorer yang hobi memesak, bercita-cita menjadi ibu yang profesional

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Stop Menghujat Kaum Penganut Ideologi Googlemap Garis Lempeng

7 Juni 2020   13:05 Diperbarui: 7 Juni 2020   16:01 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya selalu saja berdebat dengan teman hidup a.k.a mas suami, setiap kali melakukan perjalanan. Baik dekat maupun jauh. Kalau debatnya mutu sih nggak papa. Lhaa ini, perkara memilih rute perjalanan urusannya bisa panjang. Tujuh hari tujuh malam nggak selesai, macam mau nyaingin royal weddingnya sultan. 

Jadi situasinya begini. Kita sudah hafal rute perjalanan. Kita paham seluk beluk tipe jalan, dari tanjakan, turunan, tingkat kemiringan aspal, bahkan hingga perkiraan jumlah jalan berlubang pun kita tahu. Nah, dengan kepakaran kita yang tak lagi perlu diragukan itu, bayangkan kalau tiba-tiba ada seseorang mementahkan pendapat kita, karena dia ngotot berkiblat pada sejenis robot berjudul Googlemap, lalu kita disuruh milih melewati jalan lain yang belum jelas bibit bebet dan bobotnya? Kesel nggak sih?

Teman hidup saya itu, yakin betul akan kecanggihan dan kepintaran robot berjudul googlemap. Doi memang tak begitu pintar untuk mengingat jalan. Tanya jalan pada manusia adalah pantangan buatnya. Sebab ia sering mendapatkan jawaban “tidak tahu” dari orang yg ia tanya. Berangkat dari situ, menurutnya bertanya pada robot dengan suara perempuan lempeng adalah niscaya. Meskipun begitu ia tak pernah takut nyasar apalagi tersesat asal ada googlemap. Tapi dengan syarat, katanya berdalih, “yang penting baterai di hape nggak habis dan sinyalnya nggak mendap - mendip”.

Jadi selama ini dia nggak pernah nyasar? nggak pernah tersesat? Iya memang nggak pernah, tapi kalau diblusukke ke jalan – jalan setapak itu biasa. Masuk perkampungan yang tiba – tiba disalah satu gang ada hajatan dan menemukan peringatan bahwa jalan ditutup itu juga biasa. Sehingga kami harus mencari alternatif jalan lain agar bisa keluar dari jalan buntu tersebut. Helow emang enak dikerjakin googlemap? Sir e arep golek dalan cepet malah dadi ngulur waktu buat mutar muter golek dalan metu.

Sedikitnya dua kali setahun kami melakukan mudik perjalanan dan baru – baru ini saya dibuat kesal olehnya. Setiap kali kami mudik dari Kudus ke Klaten ada saja pikiran nylenehnya. Saya hafal betul rute perjalanan yang akan kami lalui. Biasanya saya memilih jalan raya yang rame yakni lajur Semarang – Solo. 

Diperjalanan mudik yang terakhir kali kami tempuh, tiba-tiba ia nyeletuk.

 “eh sik sik, gimana kalau lewat sini”.

 “Lebih cepet 10 KM lho dari jalan yang biasa kita lalui”.

Ia dengan semangat jelajahnya menjelaskan sambil menunjukkan peta kearah saya. Whooot? Doi mendapat jalan baru yang belum pernah kami lewati. Jalan raya Grobogan, Sragen, Boyolali. Ya iya ujung – ujungnya akan sampai Solo juga. Tapi anehnya pilihannya via Pati. Apa ga tambah muter? Pikir saya. 

“Lewat sini tu jalannya muter gimana bisa bilang lebih cepet”. Saya yang membayangkan rute jalan itu spontan menolaknya. Ini pasti akan bernasib seperti yang sudah – sudah. Kalau nggak lewat jalan sempit ya keluar masuk hutan. 

Sebagai penganut googlemap garis lempeng, ia begitu fasih menjelaskan mengapa penting mengunakan googlemap, mulai dari memperhitungkan jarak tempuh, hemat bensin, perkiraan sepi atau ramainya jalan dan estimasi waktu tiba. Berbagai rincian pertimbanganpun  disodorkan, sehingga membuat saya terpaksa mengiyakan keinginannya. Sebenernya ini hanya untuk menghindari debat yang lebih panjang dan rumit. Biar urusan cepet dan nggak mbleber kemana – mana, pokoke teko iyo wae. 

Diperjalanan ia bercerita.  Saat masih bekerja di daerah Sukoharjo, ia terburu – buru ketika akan berangkat bekerja. Nah, untuk mensiasati agar tepat waktu sampai di tempatnya bekerja, lagi – lagi  ia menggunakan googlemap untuk mencari jalan tikus. Jalur jalan setapak menjadi pilihanya. Maksudnya agar lebih cepat sampai. Sialnya ia justru diantarkan pada jalan persawahan yang becek. Makin dikejar makin berlumpur. Makin diteruskan makin belepotan. Sepatu yang ia kenakan sudah penuh dengan lumpur. Akhirnya ia turun dan menuntun motornya. Apakah dia kapok? Tidak.

Justru dari pengalaman buruk itulah ia jadikan pelajaran. Jangan terlalu lempeng mengikuti arahan googlemap, padukan dengan logikamu saat memilih rute atau jalan.

Balik lagi dengan perjalanan mudik terakhir saya, benar saja, setelah mengimani ideologi googlemap yang doi pegang teguh itu, kami melewati hamparan sawah yang panjangnya sepanjang kasih sayang ibu. Perkampungan penduduk yang dengan jalan sempit dan jalan padas berbatu. Belum ada setengah jam kami juga harus menyebrangi sungai dengan jembatan gantung yang kalau dilewati suaranya “ gledek, gledek, gledek mribeni kuping”. Lolos dari jembatan gantung kami menemukan jalan yang alhamdulilah aspalnya mulus semulus kulit semangka.

Tidak cukup disitu, selain udara sejuk yang telah kami dapat, kami juga bisa mendapati bau aroma khas pakan dan kotoran ayam yang tertiup angin. Parahnya setelah saya ngomel panjang lebar sambil mukul – mukul punggungnya dari belakang.  Masak iya dia bilang “ ini itu bukan aroma tai ayam, tapi brownis bakar”. Tanpa rasa dosa dia bisa – bisanya bilang seperti itu. Ini pencemaran oi, pencemaran udara. Benar – benar bonus yang tak pernah saya dapati jika lewat jalan umum biasanya.

Perjalanan masih panjang jendral. Tapi jalan tembusan ke kota tak kunjung nampak. Kami justru terlilit dalam gang – gang kecil rumah penduduk. Jangan bayangkan jalan ini seperti kompleks cluster milik kalian yang tiap rumahnya tertutup rapat. Ini tu bener – bener jalan sempit depan rumah warga. Tak jarang ban motor kami melewati depan teras warga saat berpapasan dengan kendaraan lain. Yungalaaah. Ngapunten nggih pak bu. Untunglah yang punya rumah tak marah – marah. Sebagai imbalannya saya harus menyapa mereka dengan menundukkan kepala berkali – kali dengan menebar senyum pepsodent. “ monggo pak... monggo buk... nderek langkung nggih mbah, pak dhe, budhe. dll

Bener juga. Selepas kita keluar jalan desa. Perjalanan kami tampak begitu cepat sekali. Eh lho kok tiba – tiba sudah sampai grobogan, bentar lagi sragen, lalu solo. Wah cepet ya. Muah muah muah. Ciuman gombal hadiah buat doi.

Jadi buat kalian jangan suudzon dulu kalau ada seseorang yang menyodorkan petunjuk gugelmep saat melakukan perjalanan. Mengimani logikanya itu nggak buruk – buruk amat kok. Acapkali kamu akan dibuat emjing dan terheran – heran dengan kecepatan waktu yang diakselerasi 3 kali lipat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun