Diperjalanan ia bercerita. Saat masih bekerja di daerah Sukoharjo, ia terburu – buru ketika akan berangkat bekerja. Nah, untuk mensiasati agar tepat waktu sampai di tempatnya bekerja, lagi – lagi ia menggunakan googlemap untuk mencari jalan tikus. Jalur jalan setapak menjadi pilihanya. Maksudnya agar lebih cepat sampai. Sialnya ia justru diantarkan pada jalan persawahan yang becek. Makin dikejar makin berlumpur. Makin diteruskan makin belepotan. Sepatu yang ia kenakan sudah penuh dengan lumpur. Akhirnya ia turun dan menuntun motornya. Apakah dia kapok? Tidak.
Justru dari pengalaman buruk itulah ia jadikan pelajaran. Jangan terlalu lempeng mengikuti arahan googlemap, padukan dengan logikamu saat memilih rute atau jalan.
Balik lagi dengan perjalanan mudik terakhir saya, benar saja, setelah mengimani ideologi googlemap yang doi pegang teguh itu, kami melewati hamparan sawah yang panjangnya sepanjang kasih sayang ibu. Perkampungan penduduk yang dengan jalan sempit dan jalan padas berbatu. Belum ada setengah jam kami juga harus menyebrangi sungai dengan jembatan gantung yang kalau dilewati suaranya “ gledek, gledek, gledek mribeni kuping”. Lolos dari jembatan gantung kami menemukan jalan yang alhamdulilah aspalnya mulus semulus kulit semangka.
Tidak cukup disitu, selain udara sejuk yang telah kami dapat, kami juga bisa mendapati bau aroma khas pakan dan kotoran ayam yang tertiup angin. Parahnya setelah saya ngomel panjang lebar sambil mukul – mukul punggungnya dari belakang. Masak iya dia bilang “ ini itu bukan aroma tai ayam, tapi brownis bakar”. Tanpa rasa dosa dia bisa – bisanya bilang seperti itu. Ini pencemaran oi, pencemaran udara. Benar – benar bonus yang tak pernah saya dapati jika lewat jalan umum biasanya.
Perjalanan masih panjang jendral. Tapi jalan tembusan ke kota tak kunjung nampak. Kami justru terlilit dalam gang – gang kecil rumah penduduk. Jangan bayangkan jalan ini seperti kompleks cluster milik kalian yang tiap rumahnya tertutup rapat. Ini tu bener – bener jalan sempit depan rumah warga. Tak jarang ban motor kami melewati depan teras warga saat berpapasan dengan kendaraan lain. Yungalaaah. Ngapunten nggih pak bu. Untunglah yang punya rumah tak marah – marah. Sebagai imbalannya saya harus menyapa mereka dengan menundukkan kepala berkali – kali dengan menebar senyum pepsodent. “ monggo pak... monggo buk... nderek langkung nggih mbah, pak dhe, budhe. dll
Bener juga. Selepas kita keluar jalan desa. Perjalanan kami tampak begitu cepat sekali. Eh lho kok tiba – tiba sudah sampai grobogan, bentar lagi sragen, lalu solo. Wah cepet ya. Muah muah muah. Ciuman gombal hadiah buat doi.
Jadi buat kalian jangan suudzon dulu kalau ada seseorang yang menyodorkan petunjuk gugelmep saat melakukan perjalanan. Mengimani logikanya itu nggak buruk – buruk amat kok. Acapkali kamu akan dibuat emjing dan terheran – heran dengan kecepatan waktu yang diakselerasi 3 kali lipat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H