Bukankah waktu selama 12 purnama yang kita lewati sudah lebih dari cukup buatmu untuk menggunakannya sebagai kesempatan membuktikan omongan-omongan manismu? Tidakkah itu lebih dari cukup? Harus berapa purnama lagi yang kamu perlukan untuk membuktikan omongan-omongan manis itu?
Lalu pada malam itu, malam yang sangat menyedihkan dan menyakitkan, sesungguhnya adalah kesempatan terbesarmu untuk memenangkan hatiku kembali. Tapi, alih-alih memenangkan hatiku, kamu malah justru membuat malam itu semakin menyakitkan dan menyedihkan.
Demi Tuhan, aku sakit malam itu dan kamu tidak perlu jadi kekasihku dulu untuk setidaknya merasa kasihan dan peduli. Karena pada nyatanya, teman-temanku dan bahkan orang asing pun bisa peduli dengan kesakitanku.
Mungkin ini salahku juga, yang selalu mengatakan tidak apa-apa. Karena sesungguhnya aku merasa tidak apa-apa dan berpikir kamu akan berusaha juga nanti pada akhirnya. Karena apa yang dicari dalam hubungan sepasang orang dewasa selain pengertian dan saling memberi?
Ternyata kamu terlalu terlena dan tenggelam dalam ombak pengertian yang terus menerjangmu, hingga mungkin kamu berpikir, kamu tidak perlu berjuang untukku karena toh, seperti yang sudah-sudah, kamu juga berpikir aku akan mengerti.
Tapi, sayang, aku juga punya hati.
Hati yang kupertaruhkan keutuhannya ketika sepakat untuk memulai hubungan ini.
Hati yang lelah karena berjuang sendiri.
Kini giliranmu untuk mengerti aku yang memutuskan untuk menyudahi ini,
Kini giliranmu untuk mengerti bahwa ada atau tidak adanya kamu, hidupku terasa sama saja.
Kini giliranmu untuk mengerti bahwa selama 12 purnama ini, kamu melewatkan banyak kesempatan untuk membuktikan kata-kata manismu.