Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Media Vs Hoaks, Mana yang Akan Menang di Pilkada?

7 Oktober 2024   00:28 Diperbarui: 7 Oktober 2024   03:34 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Literasi Media: Kunci Memutus Rantai Hoaks
Melawan hoaks bukan hanya tugas pekerja media, tapi juga tanggung jawab masyarakat. Sayangnya, di era digital ini, banyak orang yang lebih suka membaca judul daripada mengecek fakta. Paradoksnya, meski akses informasi semakin mudah, literasi media justru menjadi semakin jarang.

Dalam sebuah sesi literasi media yang saya hadiri, seorang peserta bertanya, "Bagaimana kita bisa membedakan berita asli dan palsu jika semuanya terlihat benar di internet?" Pertanyaan ini menyoroti betapa pentingnya edukasi media di era digital. Hanya dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat bisa lebih kritis dalam menerima informasi.


Sebuah Pertempuran Sengit
Hoaks tidak hanya menjadi tantangan bagi media tradisional, tapi juga bagi platform digital. Paradoksnya, platform digital yang seharusnya bisa menjadi alat melawan hoaks justru sering menjadi jalur penyebarannya. Media sosial memiliki potensi untuk menyaring konten, namun sering kali berita yang viral lebih diutamakan karena lebih menguntungkan, bahkan jika itu adalah hoaks.

Ini pernah diingatkan oleh Carl Bernstein, "The greatest power of the press is not in what it covers, but in what it chooses not to cover." Ironisnya, banyak platform digital memilih untuk tidak terlalu ketat dalam menyaring konten yang beredar.

Bekerja di media tentulah menghadapi banyak dilema. Di satu sisi, kami harus netral dan objektif, tapi di sisi lain, ada kepentingan politik dan sosial yang sering kali memengaruhi persepsi publik terhadap media. Kami harus memastikan bahwa kami tetap fokus pada penyajian fakta, meski informasi yang tidak benar jauh lebih menarik bagi publik. Inilah pertempuran sengit itu.

Walter Cronkite pernah berkata, "The way to disarm lies is to expose them to the light of day." Peran kami sebagai pekerja media---menjadi pilar kebenaran dan berusaha sebaik mungkin menyajikan informasi yang akurat, meski kebenaran terkadang tidak sepopuler kebohongan.

Namun Kebenaran Akan Selalu Menang
Di akhir tulisan ini, saya ingin bilang bahwa  perlawanan terhadap hoaks bukanlah perjuangan individu. Ini adalah perjuangan kolektif yang melibatkan media, masyarakat, dan platform digital. Awak media harus berkomitmen untuk terus berdiri di garda depan dalam menghadirkan informasi yang benar dan dapat dipercaya.

Pilkada Serentak 2024 adalah kesempatan bagi kita semua untuk membuktikan bahwa masyarakat Indonesia mampu memilah informasi yang benar dan mengedepankan kebenaran di atas kebohongan. Dan ingatlah, seperti secangkir kopi yang baik, kebenaran mungkin membutuhkan proses, tetapi selalu memberikan energi yang lebih kuat.

Mari bersama-sama melawan hoaks, dan menjaga kebenaran tetap hidup di setiap ruang informasi yang kita jejaki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun