"Hilal telah tampak tak?" Tanyamu sudah kesekian kali, sambil bolak-balik melongok jendela rumah.
"Masih juga semangat kau tunggu orang itu?" Timpalku.
Kau mengangguk dengan antusias, membuatku tersenyum tipis. Tipis sekali hingga kupikir aku sedang mengejekmu. Sayang kau tak merasa.
"Aku sudah tidak sabar." katamu
"Dia pasti akan datang. Tak akan dicepat-cepatkan atau dilambat-lambatkan. Dia akan tiba pada saatnya." Kataku sambil membuang pandangan, tak suka aku melihat senyum semangatmu karena kerinduan pada yang lain.
"Ya aku tahu, tapi tetap saja excited " Jawabmumu, yang membuatku tak bisa menahan diri lagi.
 "Tiap tahun menunggunya untuk bertemu sebentar, lalu ditinggalkan. Aku di hadapan malah diacuhkan."
"Eh, siapa yang mengacuhkanmu. Aku menjamumu dengan baik bukan?" Ucapmu membela diri.
"Iya, tapi kalau aku pergi, apa kamu akan merinduiku seperti bagaimana kau merindui Hilal?" Aku sudah dipuncak kecemburuanku
"Tentu saja!"
"Sama seperti Hilal?"
"Ya, tak kurang tak lebih"
"Bagaimana bila kita tak bertemu lagi?"
"Jangan ngomong sembarangan!" Bentakmu
"Kau bisa bertemu Hilal karena ada aku. Kalau aku tidak ada, kau tidak akan juga menunggu-nunggunya seperti ini. "
Kau terdiam, ucapanku pasti sudah sangat menohok.
 "Jadi, mana yang lebih kau acuhkan, mana yang lebih kau rindukan?" Aku menyerangmu
Tapi sebelum kau bisa menjawab, Hilal akhirnya mengetuk pintu. Mau tak mau, aku mengakhiri debat kita, berlama-lama menoleh ke arahmu yang sedang bersuka cita menyambut Hilal. Mengobrol banyak dengannya. Lalu ketika akhirnya ada, aku pun memohon pamit.
"Kau telah menghitung waktu bertemu Hilal dengan begitu sabar. Aku setengah cemburu ketika kau mengatakan kadar rindumu padanya dan padaku adalah sama. Maafkan aku, aku selalu ingin lebih"
Kau tercekat oleh kata-kataku, seperti tersadar dari hipnotis. Lalu sesunggukan melepasku di pintu.
Kau tahu bahwa kau tidak pernah tahu adakah kesempatan berikutnya untuk bertemu denganku, tapi meksipun begitu, kau sering alpa dan menjadikan pertemuan denganku adalah biasa. Padahal kita sama-sama tahu bahwa selalu ada kemungkinan ini akan menjadi pertemuan terakhir kita.
Kau masih sesunggukan. Air matamu deras membasuh kedua pipimu yang kau gunakan untuk menyeka seluruh wajahmu. Dan aku melihatnya seperti cahaya. Tapi aku sudah akan bergegas, dan aku tidak akan menoleh. Aku akan membiarkanmu merinduku dengan purba.
---
Semoga kita bertemu Ramadan tahun berikutnya...Â
30 Ramadan 1441H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H