"Sama seperti Hilal?"
"Ya, tak kurang tak lebih"
"Bagaimana bila kita tak bertemu lagi?"
"Jangan ngomong sembarangan!" Bentakmu
"Kau bisa bertemu Hilal karena ada aku. Kalau aku tidak ada, kau tidak akan juga menunggu-nunggunya seperti ini. "
Kau terdiam, ucapanku pasti sudah sangat menohok.
 "Jadi, mana yang lebih kau acuhkan, mana yang lebih kau rindukan?" Aku menyerangmu
Tapi sebelum kau bisa menjawab, Hilal akhirnya mengetuk pintu. Mau tak mau, aku mengakhiri debat kita, berlama-lama menoleh ke arahmu yang sedang bersuka cita menyambut Hilal. Mengobrol banyak dengannya. Lalu ketika akhirnya ada, aku pun memohon pamit.
"Kau telah menghitung waktu bertemu Hilal dengan begitu sabar. Aku setengah cemburu ketika kau mengatakan kadar rindumu padanya dan padaku adalah sama. Maafkan aku, aku selalu ingin lebih"
Kau tercekat oleh kata-kataku, seperti tersadar dari hipnotis. Lalu sesunggukan melepasku di pintu.
Kau tahu bahwa kau tidak pernah tahu adakah kesempatan berikutnya untuk bertemu denganku, tapi meksipun begitu, kau sering alpa dan menjadikan pertemuan denganku adalah biasa. Padahal kita sama-sama tahu bahwa selalu ada kemungkinan ini akan menjadi pertemuan terakhir kita.