Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

4 Hal yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Krisis Kesehatan Mental

16 April 2020   19:14 Diperbarui: 17 April 2020   17:30 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, suami saya bangun pukul 10 pagi, beranjak dari tempat tidur menuju sofa. Lalu tetap dengan posisi rebahan yang kurang lebih sama. 

Semalam ia begadang hingga jam setengah 5 pagi. Katanya ia sudah mencoba untuk tidur lebih awal, namun matanya tetap tak mau berkompromi.

Ia lantas menyibukkan diri dengan membaca berbagai artikel di gadget, pindah ke TV menonton film-film HBO, lalu menonton YouTube, berganti dari satu channel ke channel lainnya. Ia menunggu setelah Subuh baru kemudian kantuk merapat.

Kondisi ini sudah berlangsung lebih dari dua minggu. Saya mengamati bagaimana master clock di otaknya berubah. Saya tidak sedang membicarakan kesadarannya akan waktu, tetapi lebih pada bagaimana pengaturan waktu alami tubuhnya sedang beradaptasi mencari format yang paling tepat untuk kondisi PSBB ini.

Otaknya paham ada banyak hal yang perlu dilakukan, namun kondisi riil menunjukkan hampir semua rencananya dibatalkan, ditinggalkan, atau ditunda tanpa patokan batas waktu. Produktivitasnya menurun drastis.

Saya yakin, hal yang sama telah melanda banyak orang. Dalam kondisi normal, ini merujuk pada apa yang disebut dengan istilah para milenial sebagai mager atau "Males Gerak". Kondisi yang lebih mudah dipahami lewat lirik lagu Bruno Mars; Today I don't feel like doing anything, I just wanna lay in my bed.

Melihat situasi ini saya agak cemas. Sejauh ini memang tidak ada tanda-tanda yang membahayakan. Setidaknya setiap harinya ia tetap terlihat sama cerianya dan sama cerewetnya seperti biasa. 

Kami menghabiskan waktu bercengkerama dan membahas banyak hal. Bisa dibilang kami mendapatkan waktu bulan madu yang tidak pernah kami dapatkan saat awal menikah.

Namun, suami saya adalah satu contoh dari ribuan bahkan jutaan orang yang mengalami hal yang serupa. Apa yang terjadi bila (amit-amit) kondisi ini tetap bertahan hingga beberapa bulan ke depan. What kind of life would it be?

Apa yang terjadi ketika ratusan juta orang diisolasi, didorong untuk sedapat mungkin tetap berada di dalam rumah dan dipersulit untuk melakukan pekerjaan yang bermakna, olahraga teratur, dan nutrisi yang sehat?

Ya, sebuah ledakan orang-orang yang depresif.

Di awal-awal masa pandemi ini orang-orang sudah berkomat-kamit tentang efek karantina global terhadap ekonomi, tetapi bahasan tentang krisis kesehatan mental baru saja dimulai ketika sudah banyak orang yang mengeluhkan tentang ini.

Dalam artikel sebelumnya saya menyebutkan bahwa fear zone adalah fase awal yang akan dialami semua orang terkait dengan wabah Covid-19. 

Fase itu bisa berlangsung cepat atau lambat bergantung pada respon kita dan lingkungan terhadap ketakutan tersebut. Namun fase fear zone yang lama dan tidak segera diatasi bisa berlanjut pada gangguan kesehatan mental orang-orang.

Dan bilapun kita telah melewati fase itu dengan baik, kita harus memaklumi bahwa kondisi ini tidak sama pada semua orang dan karenanya kita tetap harus bersiap dengan kondisi ledakan jumlah orang-orang depresif dan itu bisa saja adalah orang-orang terdekat kita sendiri.

Kesehatan mental (Sumebr gambar: Cirseru.org)
Kesehatan mental (Sumebr gambar: Cirseru.org)
Beberapa Hal yang Bisa Anda Lakukan

Berikut ini, saya mencoba untuk membuat daftar apa yang bisa dilakukan untuk turut andil dalam menjaga kesehatan mental pribadi dan orang-orang sekitar saya. 

1. Berusaha membuat rutinitas keluarga atau To Do List sendiri 
Kemungkinan karena orang-orang bekerja di kantor atau yang langsung berhubungan dengan orang lain, maka sebagian besar dari mereka pun bergantung pada rutinitas sosial. Ketika sekat-sekat rutinitas itu hilang selama pandemi, kita benar-benar kehilangan arah.

Pandemi tidak dapat saya kontrol, satu-satunya yang bisa saya kontrol adalah rutinitas itu sendiri. Maka saya membuat jadwal rutin dan berusaha untuk disiplin dengan jadwal tersebut. It's difficult I know. Saya masih berjuang untuk melibatkan suami dalam rutinitas bersama. Tapi saya yakin masa adaptasi akan segera lewat.

Anda juga bisa memulai dengan jadwal standar seperti kapan harus tidur, bangun, makan, mandi dan berolahraga atau merawat diri dan berinteraksi sosial lewat gadget.

2. Saat untuk membangun atau memperbaiki hubungan dengan orang lain
Tentu saja maksud saya bukan dengan mengajak bertemu orang-orang. Setidaknya di saat-saat ini, semua orang sepertinya memiliki waktu yang cukup longgar untuk mengirimkan sms atau video call dengan orang-orang yang mungkin sudah lama terabaikan. Entah itu sepupu jauh, atau teman masa kecil. Inilah saat paling tepat untuk menanyakan kabar mereka.

3. Health is a Must 
Kesehatan yang utama. Ini terdengar klise, karena kita akan terus-menerus mendengar ini berkali-kali disebut di masa-masa pandemi. Tetapi yang saya maksudkan bukanlah menghabiskan paket data untuk menonton instruktur senam di YouTube, meskipun ini salah satu tips yang sepertinya digandrungi banyak orang.

Tetapi maksud saya, senyaman apapun kita di rumah, kita perlu tetap mengolah tubuh dengan melakukan gerakan standar seperti latihan pernapasan, squat, shit-up, push up, dan tentunya jalan pagi di depan rumah sambil berjemur. Jangan lupa juga untuk makan lebih banyak sayur dan buah, minum jamu bila perlu. Pokoknya kita harus sehat!

4. INGAT, Anda tidak sendirian
Seperti yang saya tulis pada artikel: Merangkul 2020, dari Fear Zone Menuju Growth Zone, saya pernah mendapati diri saya sendiri menjadi sangat emosional dan hipersensitif terhadap pandemi ini.

Saat itu saya terus menerus mengingatkan diri sendiri bahwa saya tidak sendirian. Memang penting untuk terus menerus memikirkan orang lain di saat-saat seperti ini. 

Ingat betapa keluarga dan teman-teman Anda begitu mencintai Anda dan merindukan saat-saat mereka bisa berkumpul lagi dan bercengkerama bersama-sama.

Selain beberapa hal di atas, ada satu fakta yang ketika saya renungkan bisa menjadikan emosi saya lebih stabil. Yakni bahwa dunia sudah pernah menghadapi berbagai wabah sebelumnya, dan memang benar ada ratusan juta orang gugur dalam perang melawan pandemi itu.

Tetapi pandemi berhasil dikalahkan, karena manusia mempunyai senjata paling ampuh menghadapi perang melawan penyakit seberbahaya apapun, yakni ... harapan hidup. 

Selama kita memilikinya, kita akan baik-baik saja.

KOMA Lawan Corona (Dok. Kompasianer Amboina)
KOMA Lawan Corona (Dok. Kompasianer Amboina)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun