Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengajak Si Kecil Bicara Soal Bencana

29 September 2019   19:23 Diperbarui: 1 Oktober 2019   11:29 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gempa bumi, tsunami, angin topan atau bahkan peperangan adalah hal-hal yang bagi kita cukup menantang untuk didiskusikan dengan anak-anak.

Anggapan tersebut dimiliki oleh banyak orang dewasa karena ketika peristiwa-peristiwa itu kita bingkai dalam pikiran kita, membayangkan seperti apa kehidupan orang-orang yang terkena bencana, lalu membayangkan bagaimana bila kita yang berada dalam situasi yang sama, kita sendiri pun akan terpapar dengan perasaan penderitaan yang mendalam.

Demikian otak bekerja, hanya dengan membayangkan saja kita bisa seolah merasakannya.

Bila dengan membayangkan saja kita bisa merasa menderita, bagaimana dengan anak-anak? Kita tentu khawatir cara kita menjelaskan dan diksi yang kita pilih mungkin saja akan membuat mereka membingkai gambaran bencana dengan versi yang akan mengganggu tumbuh kembang mereka.

Lantas bagaimana menjelaskan tentang bencana kepada anak-anak dalam cara yang melindungi dan memelihara mereka? Berikut ini adalah beberapa gagasan yang saya rangkum dari berbagai referensi.

Tenangkan Diri Anda Terlebih Dahulu

Sebagai orang dewasa kadang kita pun bisa terbawa perasaan mengenai peristiwa terkini dan mudah merasa tidak berdaya. Responnya kita akan menangis, gemetar, merasa insecure, tidak aman. Namun, jangan berlama-lama karena mungkin kita akan menularkan perasaan cemas itu kepada anak-anak.

Tenangkan diri dengan mengingat Sang Pencipta, lalu berbicaralah dengan orang dewasa lainnya tentang perasaan dan reaksi kita. Biarkan kecemasan itu mengalir dan didengarkan, dan kita pun bisa mendengarkan kecemasan mereka pula. Saling menyikapi beban emosional yang ditimbulkan oleh sebuah tragedi memiliki efek trauma healing.

Sharing atau berbagi perasaan, membantu kita memulihkan harapan dan energi yang diperlukan untuk melakukan apa yang kita bisa dalam keluarga dan komunitas untuk memperbaiki keadaan serta saling bertukar informasi mengenai cara terbaik meminimalkan resiko dampak bencana.

Jujur Pada Anak Tentang Perasaan Kita

Jika emosi tiba-tiba meluap di hadapan si kecil, silakan tunjukkan secara terbuka, tetapi tanpa penjelasan yang terlalu rinci tentang perasaan tersebut.

Kita bisa mengatakan "Ibu sedih tentang sesuatu yang baru saja ibu dengar di berita dan Ibu hanya perlu menangis sebentar untuk membiarkan kesedihan itu keluar".

Penting juga untuk menunjukkan kepada anak-anak bahwa kita peduli pada orang lain, dan merasakan apa yang mereka rasakan di masa-masa sulit. "Ibu sedih karena banyak sekali orang yang tidak bisa tidur, dan makan dengan nyaman".

Batasi Paparan Informasi dari Media Massa atau Media Online

Saat sebuah bencana terjadi, orang-orang dewasa sering sekali meng-update berita lewat media massa. Anak-anak usia dini belum bisa mencerna berita menyangkut penderitaan manusia. Paparan media dan interpretasi orang-orang yang mengabarkan berita tersebut akan sangat menakutkan bagi mereka.

Lindungi mereka dari media. liputan televisi, foto surat kabar, dan komentar di radio atau video youtube yang menyampaikan bahwa orang dewasa tidak merasa aman, tidak bertanggung jawab, atau tidak percaya pada orang lain.

Bila kita ingin mengakses berita, jangan di hadapan mereka atau jangan sampai terdengar dan terlihat oleh mereka. Tunggulah sampai mereka tidur, atau saat mereka sedang sibuk bermain. Jangan biarkan berita yang tidak sengaja mereka ketahui mengikis rasa aman mereka.

Sementara itu untuk anak yang beranjak remaja yang memang sudah memiliki akses informasi dari media sosial, akan lebih baik bila orang tua tetap mendampingi mereka menonton tayangan tentang bencana tersebut sambil bersiap menjawab pertanyaan atau pun berdiskusi dengan mereka tentang apa yang sedang terjadi.

Buat Mereka Merasa Aman

Anak-anak mempunyai ekspektasi dunia yang indah, aman, nyaman dan adil. Karenanya mereka akan tegang tertekan dan insecure apabila melihat gelagat sesuatu yang tidak sesuai dengan gambaran ekspektasi mereka akan dunia.

Orang tua perlu memberi tahu secara eksplisit bahwa mereka aman, bahwa kita akan menjaga mereka, bahwa kita melakukan hal terbaik yang kita bisa untuk mencegah hal buruk terjadi pada mereka, dan bahwa kalaupun ada hal buruk yang terjadi, kita akan mencoba sebaik mungkin memperbaiki situasi dan memulihkan keadaan. Tambahkan jaminan tersebut dengan konsep tentang tanggung jawab, kita bisa mengatakan "Tuhan memberikan tanggung jawab kepada orang tua untuk membuat anak-anaknya merasa aman. Dan Itu yang akan Ibu dan Ayah lakukan". Pernyataan jaminan rasa aman dari orang tua sangat diperlukan oleh sang anak.

Gali Informasi Dari Mereka dan Jelaskan Dengan Bahasa Mereka

Sebelum menjelaskan sesuatu, bertanyalah dulu apa yang mereka sudah ketahui. Ini membantu kita sendiri untuk memikirkan pilihan diksi yang sesuai dengan semesta bahasa mereka. 

Jelaskan kejadiannya dalam istilah umum dan istilah yang dimengerti anak-anak kita. Contohnya, kita bisa mengatakan "Orang-orang dewasa sedang merasa kecewa, karena ada gempa bumi dan gelombang besar yang menyakiti banyak orang dan termasuk Ibu juga merasa tersakiti karena melihat mereka tersakiti". Ini sekaligus mengajarkan anak untuk berempati terhadap orang lain.

Alan Chrisman seorang professor Ilmu perilaku dan psikatri dari Duke University menyatakan bahwa Orang tua punya tendesi untuk menjelaskan secara berlebihan sebuah informasi yang tingkatan pemahamannya melebihi apa yang bisa ditangkap oleh sang anak. Akibatnya anak menjadi overwhelmed, kewalahan akibat kebanjiran informasi.

Bertanya lebih dahulu, "Bagaimana perasaanmu?" atau "Apa yang sudah kamu dengar?" dan "Apa yang membuatmu khawatir saat ini?"

Karena meskipun mereka hanya butuh mendengar kepastian bahwa mereka aman, dengan bertanya kita bisa langsung mengenali apa yang menjadi ketakutan paling spesifik yang mereka rasakan. Mungkin saja mereka bertanya "Apa nanti mainanku baik-baik saja kalau ditinggal?" , "Apa bisa kita bawa hewan peliharaan kalau harus mengungsi?"dan lain-lain.

Menghadapi Pertanyaan-Pertanyaan Yang Rumit

Jika kita ditanya mengapa tragedi terjadi, sesuaikan jawaban kita dengan usia dan pengalaman si kecil. Ketika sebuah gempa bumi terjadi misalnya, beri tahu bahwa terkadang bumi juga butuh untuk meregangkan tubuhnya. Dan bahwa semua orang sedang berusaha keras untuk menyelamatkan orang-orang yang terkena musibah itu. Akuilah juga bahwa kita tidak memiliki segala jawaban atas pertanyan-pertanyaan rumit mereka.

Jelaskan bahwa orang-orang akan belajar dari apa yang sudah terjadi, bahwa orang dewasa membutuhkan waktu untuk merasa sedih dan menangisi hal tersebut, demikian manusia membutuhkan waktu untuk menunjukkan perasaan dan mengumpulkan energi untuk bangkit dan menemukan solusinya.

Menurut Gene Beresin, Profesor psikiatri Harvard Medical School dan direktur eksekutif dari Clay Center for Young Healthy Minds di Massachusetts General Hospital, anak-anak dari segala usia ingin tahu tiga hal mendasar: "Apakah saya aman?" , "Apakah pengasuh saya aman?" , dan "Bagaimana bencana ini akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari saya?".

Cara menjawabnya harus bergantung pada usia perkembangan anak. "Orang tua paling mengenal anak mereka dan berapa banyak informasi yang dapat mereka ambil," kata Melissa Brymer, direktur program terorisme dan bencana di Pusat Nasional untuk Stres Traumatis Anak Universitas Duke-UCLA.

Anak-anak usia dini juga perlu diberitahu bahwa bencana bukanlah sesuatu yang bisa dikontrol oleh manusia. Apa yang bisa kita lakukan adalah mempersiapkan diri dan orang tua akan memastikan semua anggota keluarga dalam keadaan siap ketika itu terjadi.

Bila memungkinkan, kita juga bisa memberitahu gambaran umum perencanaan mitigasi bencana. Namun jauhi hal-hal yang terlalu terperinci karena akan sangat membingungkan mereka. 

Jangan lupa untuk selalu memeluk dan merangkul mereka pada saat kita menerangkan gambaran umumnya, untuk membuat mereka merasa yakin bahwa situasi apapun itu mereka akan siap menghadapinya.

Jangan berusaha terlalu keras untuk menjelaskan, bencana alam adalah hal yang tidak masuk akal bagi anak-anak.

Fakta-fakta yang ada tidak membuat bencana bisa mudah dimengerti oleh mereka. Anak-anak kecil lebih memerlukan penjelasan mengenai mengapa orang dewasa di sekitar mereka bereaksi dan bahwa mereka ada dalam keadaan yang sangat serius sekarang, tetapi orang tua akan merawat mereka. 

Anak-anak kita membutuhkan jaminan sebanyak yang kita bisa berikan bahwa kerugian apapun yang akan datang karena bencana tidak akan menyakiti mereka.

Referensi:

[1] "Your brain on imagination: It's a lot like reality, study shows" University of Colorado at Boulder
[2] "Look For The Helpers" Fred Rogers, https://www.youtube.com/watch?v=-LGHtc_D328&feature=youtu.be
[3] "Disaster and Scary Events -- Helping Children Cope", Seattle Children Hospital
[4] "Talking With Kids About Disasters" Denise Mann,
 [5] "How to Talk to Your Kids About Natural Disasters" Caroline Bologna, Huffiington Post

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun