Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Gaya hidup dan humaniora dalam satu ruang: bahas buku, literasi, neurosains, pelatihan kognitif, parenting, plus serunya worklife sebagai pekerja media di TVRI Maluku!

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Resensi Buku] Garis Waktu oleh Fiersa Besari

21 Mei 2019   21:56 Diperbarui: 22 April 2021   14:57 7027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Garis Waktu menceritakan tentang sosok "aku" dan "kamu"dengan tentu saja dinarasikan oleh si "aku", yang menurut saya adalah sudut pandang dan pengalaman nyata Bung Fiersa sendiri. 

Ini adalah buku pertama karya Fiersa yang saya baca, karena melihat rekomendasi dari sebuah tayangan wawancara dengan Fiersa di Youtube. Saya tertarik karena kata-kata Fiersa "Untuk apa patah hati bila tidak jadi royalti'. Sebuah kalimat yang sangat kapitalistik dan mengusik. Tetapi saya termasuk yang setuju bahwa rasa sakit itu bisa memunculkan karya-karya besar. 

Seperti Frans Kafka yang melahirkan mahakarya berjudul Metamorfosis, yang merupakan perwujudan penderitaannya atas perlakuan sang ayah, JK. Rowling yang menderita karena terlibat hutang dan kemudian menghasilkan Harry Potter yang fenomenal  atau Bethoven yang tuli namun bisa menghasilkan simfoni-simfoni indahnya.

Karenanya saya penasaran, rasa sakit dari  patah hati seperti apa yang dialami Fiersa dan mahakarya seperti apa yang bisa dihasilkan dari patah hati itu  yang membuatnya mendapatkan royalti?  It turns out, saya agak menyesal memilih membaca buku ini.  

Penyesalan karena jauh dari ekspektasi saya, tulisan-tulisan ini benar-benar adalah cerita orang kebanyakan yang jatuh cinta, pacaran, patah hati dan ditinggal kawin. Saya pribadi merasakan masa-masa itu, tetapi sebegitu flat alur bertuturnya saya tidak merasakan sakitnya patah hati yang dimaksud Fiersa. 

Padahal cerita ini adaah cerita yang sangat bisa merepresentasi pengalaman hidup saya dulu dan saya yakin juga sangat merepresentasi kisah orang-orang pada umumnya.  Ada ekspektasi bahwa ini bisa menjadi nostalgia pribadi saya, namun sekali lagi ini gara-gara ekspektasi saya yang terlalu besar itu. 

Fiersa sendiri dalam kata pengantarnya mengakui bahwa buku ini hanyalah potongan-potongan curahan hatinya yang ia lebur dalam sebuah cerita karena permintaan banyak orang. Can I say it, tuntutan pasar? Karenanya menurut saya tulisannya belum matang untuk dijadikan buku.

Tetapi, membaca karya Fiersa yang ini juga membuat saya memahami mengapa Fiersa lebih digandrungi para remaja baper. Kekuatan Fiersa memang ada pada permainan diksi indah nan puitis dan sangat pas dengan trend saat ini. 

Wajar kalau kemudian banyak kalimat-kalimat dalam buku ini yang dikutip dan dijadikan musikalisasi atau sekedar caption foto di jejaring sosial para pembaca. Setidaknya untuk saya sendiri ada 3 kutipan yang menarik perhatian:

"Tak perlu kekinian, karena kekinian akan alay pada masanya" Hal 28

Sebuah negasi dari kata-katanya sendiri, kutipan-kutipan Fiersa hari ini telah menjadi sangat kekinian dan populer. I wish one day, it will not turns out to be alay. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun