Ini adalah buku hasil iseng berburu di sebuah mini bookshop di kawasan Jakarta Selatan sekitar bulan November tahun lalu. Namun bukunya harus ikutan antre dulu di reading list saya, dan baru mulai saya baca awal maret ini. Saya ingat sekali, banyak buku bagus di bookshop itu, tapi perhatian saya tertuju pada buku dengan sampul orange ini, dan langsung memutuskan untuk membelinya setelah membaca sinopsisnya;
"Gwangju, Korea Selatan, 1980. Di tengah kecamuk demonstrasi mahasiswa yang dihadapi dengan kekerasan dan peluru tajam oleh penguasa, seorang pemuda mencari jenazah kawannya..."
Sinopsisnya saja membuat saya merinding, curious, tapi juga lega. Merinding karena membayangkan sebuah tragedi, curious karena tidak pernah mendengar sebelumnya tentang sejarah politik Korea Selatan, dan lega karena akhirnya saya bisa menikmati sebuah karya asal Korea tanpa embel-embel KPop.
Novel ini berangkat dari kejadian nyata pergerakan di Gwangju yang terjadi ketika presiden Park Chung-hee terbunuh pada tahun 1979 dan tampuh kekusaan negara diambil alih Jenderal Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo.Â
Rakyat bereaksi meluapkan kekecewaan karena menginginkan transisi yang demokratis. Sebuah demonstrasi pada tanggal 18 Mei 1980 melibatkan buruh, mahasiswa dan warga dibubarkan oleh militer dengan cara yang bengis dan banyak orang mati. Sejarah kelam negeri KPop ini hampir sama dengan peristiwa pembersihan PKI tahun 1965 di Indonesia.
Isi Cerita (Spoiler Alert!)
Terdapat tujuh bab dalam novel ini, masing-masing mewakili narasi tiap tokoh yang saling berkelindan. Bab pertama adalah tentang tokoh seorang pemuda (anak SMP) bernama Dong Ho yang mencari jenazah kawannya, hingga ia harus terlibat sebagai relawan di sebuah gedung darurat yang dipakai untuk menampung jasad para korban tragedi.Â
Gedung yang sudah penuh dan berbau busuk namun masih terus kedatangan jenazah. Dong Ho bertugas untuk mencatat identitas dan ciri jenazah serta menemani keluarga yang datang ingin mengidentifikasi.
"Ketika orang yang masih hidup menunduk memandangi orang mati, apakah jiwa sang mati juga menunduk memandangi wajahnya sendiri?"
Kawan yang dicari-cari jenazahnya oleh Dong Ho adalah Jong Dae, yang pada bab kedua bernarasi akan keadaanya setelah menjadi arwah serta keinginannya bertemu kakaknya.
Di bab ketiga tiba-tiba waktu melesat ke lima tahun kemudian. Dikisahkan seorang wanita penyunting naskah tentang peristiwa demonstrasi naas itu, yang harus mengalami 7 kali tamparan yang sulit ia lupakan. Tamparan karena naskah yang ia sunting itu harus sesuai dengan keinginan pemerintah sehingga kisah periode kelam itu bisa ditutupi. Bab ini adalah ilustrasi ketidakbebasan pers pada saat itu.
Kemudian di bab keempat, adalah waktu 10 tahun setelah tragedi. Yakni cerita mengenai demonstran yang hidup namun sempat dipenjara, disiksa dengan sadis, diintimidasi lalu dibebaskan. Namun kehidupannya tak kan pernah sama lagi. Mereka-mereka itu hidup dengan hantu masa lalu, fisik yang tak lagi kuat, karena luka-luka di sekujur tubuh, serta reputasi yang buruk dinggap pembuat makar karena pernah dipenjara tertangkap basah memegang senjata. Padahal faktnya mereka tidak berani sedikitpun menggunakan senjata-senjata itu untuk melawan. Di hari naas itu mereka seperti "dikondisikan" menggunakan senjata untuk membela diri.
Ada pula narasi mengenai seorang buruh demonstran yang hanya ikut-ikutan, namun terjebak dalam aksi yang radikal karena mendapatkan kobaran atau orasi perlawanan yang ekstrim. Ini diceritakan di bab kelima. Buruh wanita muda itu terkena tusukan yang menyobek rahimnya dan membuatnya tidak akan pernah bisa punya anak.
Di bab keenam kita akan melihat jeritan hati keluarga korban, yang diwakili oleh narasi ibu dari Dong Ho. Padahal malam sebelum tragedi itu, sang ibu sudah datang memanggil anaknya untuk pulang, namun Dong Ho tetap tidak pulang hingga operasi penghabisan oleh militer dilancarkan di gedung tempat Dong Ho menjadi relawan sambil mencari jenazah kawannya. Dong Ho pun akhirnya menjadi salah satu  yang tewas.
Dan akhirnya bab ketujuh diceritakan menggunakan narasi penulis novel ini. Han Kang menceritakan masa kecilnya kala mendengar desas desus tentang tragedi Gwangju, hingga proses penulisan novelnya yang berliku.
Dikisahkan Secara Menakjubkan
Saya yakin Han Kang dalam menuliskan kisah-kisah di buku ini, pasti mengalami guncangan emosi yang luar biasa dan traumatik, karena pembaca bisa sangat merasakan kedalaman emosi setiap tokoh yang ada dalam buku ini. Saya dibuat bergidik membaca bagaimana penyiksaan yang dialami oleh para demonstran dan keluarganya , serta merasakan pilu yang menyesakkan membaca bagaimana para demonstran yang disiksa dan akhirnya bisa bertahan hidup harus berjuang melawan paranoia dan trauma masa lalu serta mencoba melanjutkan hidupnya yang porak poranda.
Selain itu meskipun Dong Ho sepertinya sering sekali disebutkan, namun tidak lantas ia menjadi satu-satunya tokoh utama. Han Kang dengan tekniknya, memungkinkan semua tokohnya menjadi spesial. Meskipun hubungan antar tokohnya itu tidak dengan mudah bisa dipahami dan sepertinya memang sengaja dibuat mengambang. Han Kang membiarkan pembaca menebak-nebak dan menyimpulkan sendiri.
Novel ini berhasil menampilkan wajah lain Korea Selatan, dan memberikan tempat bagi mereka yang sebelumnya bungkam. Novel yang berani mengungkap fakta dan menggelorakan semangat idealisme dan perlawanan terhadap kediktatoran.
"Kamu merasa aneh melihat mereka menggelar bendera Korea di atas peti mati dan mengikatnya kuat-kuat dengan tali. Kenapa mereka menyanyikan lagu kebangsaan untuk orang-orang yang dibunuh oleh tentara? Kenapa mereka menyelimuti peti mati dengan bendera Korea? Seolah-olah yang membunuh mereka bukan Negara."Â
Judul          : Mata Malam (Human Acts)
Penulis        : Han Kang
Penerjemah   : Dwita Rizki
Penerbit      : BACA
Tahun Terbit  : 2017 (Edisi Terjemahan)
Tebal          : 257 hal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H