Kemudian di bab keempat, adalah waktu 10 tahun setelah tragedi. Yakni cerita mengenai demonstran yang hidup namun sempat dipenjara, disiksa dengan sadis, diintimidasi lalu dibebaskan. Namun kehidupannya tak kan pernah sama lagi. Mereka-mereka itu hidup dengan hantu masa lalu, fisik yang tak lagi kuat, karena luka-luka di sekujur tubuh, serta reputasi yang buruk dinggap pembuat makar karena pernah dipenjara tertangkap basah memegang senjata. Padahal faktnya mereka tidak berani sedikitpun menggunakan senjata-senjata itu untuk melawan. Di hari naas itu mereka seperti "dikondisikan" menggunakan senjata untuk membela diri.
Ada pula narasi mengenai seorang buruh demonstran yang hanya ikut-ikutan, namun terjebak dalam aksi yang radikal karena mendapatkan kobaran atau orasi perlawanan yang ekstrim. Ini diceritakan di bab kelima. Buruh wanita muda itu terkena tusukan yang menyobek rahimnya dan membuatnya tidak akan pernah bisa punya anak.
Di bab keenam kita akan melihat jeritan hati keluarga korban, yang diwakili oleh narasi ibu dari Dong Ho. Padahal malam sebelum tragedi itu, sang ibu sudah datang memanggil anaknya untuk pulang, namun Dong Ho tetap tidak pulang hingga operasi penghabisan oleh militer dilancarkan di gedung tempat Dong Ho menjadi relawan sambil mencari jenazah kawannya. Dong Ho pun akhirnya menjadi salah satu  yang tewas.
Dan akhirnya bab ketujuh diceritakan menggunakan narasi penulis novel ini. Han Kang menceritakan masa kecilnya kala mendengar desas desus tentang tragedi Gwangju, hingga proses penulisan novelnya yang berliku.
Dikisahkan Secara Menakjubkan
Saya yakin Han Kang dalam menuliskan kisah-kisah di buku ini, pasti mengalami guncangan emosi yang luar biasa dan traumatik, karena pembaca bisa sangat merasakan kedalaman emosi setiap tokoh yang ada dalam buku ini. Saya dibuat bergidik membaca bagaimana penyiksaan yang dialami oleh para demonstran dan keluarganya , serta merasakan pilu yang menyesakkan membaca bagaimana para demonstran yang disiksa dan akhirnya bisa bertahan hidup harus berjuang melawan paranoia dan trauma masa lalu serta mencoba melanjutkan hidupnya yang porak poranda.
Selain itu meskipun Dong Ho sepertinya sering sekali disebutkan, namun tidak lantas ia menjadi satu-satunya tokoh utama. Han Kang dengan tekniknya, memungkinkan semua tokohnya menjadi spesial. Meskipun hubungan antar tokohnya itu tidak dengan mudah bisa dipahami dan sepertinya memang sengaja dibuat mengambang. Han Kang membiarkan pembaca menebak-nebak dan menyimpulkan sendiri.
Novel ini berhasil menampilkan wajah lain Korea Selatan, dan memberikan tempat bagi mereka yang sebelumnya bungkam. Novel yang berani mengungkap fakta dan menggelorakan semangat idealisme dan perlawanan terhadap kediktatoran.
"Kamu merasa aneh melihat mereka menggelar bendera Korea di atas peti mati dan mengikatnya kuat-kuat dengan tali. Kenapa mereka menyanyikan lagu kebangsaan untuk orang-orang yang dibunuh oleh tentara? Kenapa mereka menyelimuti peti mati dengan bendera Korea? Seolah-olah yang membunuh mereka bukan Negara."Â
Judul          : Mata Malam (Human Acts)
Penulis        : Han Kang
Penerjemah   : Dwita Rizki
Penerbit      : BACA
Tahun Terbit  : 2017 (Edisi Terjemahan)
Tebal          : 257 hal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H