Seorang lelaki separuh baya itu berdiri di altar, mengenakan baju batik lengan panjang lengkap dengan kopiah. Tangan kanannya diangkat dan diletakkan dekat telinga kanan, lalu mulailah ia melantunkan dengung paling indah yang menyebut-nyebut kebesaran Allah, memanggil-manggil orang untuk sholat, menyeru makhluk menuju pada kemenangan. Lalu hadirin yang duduk menyaksikan dengan khidmat, mendengarkan dengan takzim.Â
Kira-kira begitulah pemandangan yang saya lihat di sebuah tayangan video yang viral beberapa saat lalu. Kumandang azan itu diperdengarkan dari altar Gereja Jemaat GPM Imanuel Amahusu Ambon pada acara adat Panas Pela yang dikemas dalam Ibadah Adventus Pertama di bulan Desember tahun ini. Warga dari empat desa di Maluku yang terdiri dari dua desa muslim, Â Tial dan Laha, serta dua desa Kristen yakni Amahusu dan Hatalai, duduk di satu rumah ibadat bersama. Tidak hanya azan, ada pula pembacaan barzanji yang diperdengarkan.
Bagi saya yang secara sosio-anthropologis besar dan hidup di tengah masyarakat Islam tradisional Maluku yang traumatik terhadap konflik berbau agama, ini memang pemandangan yang tidak biasa, nyentrik sekaligus mengundang perhatian. Video itu membuat saya bertanya-tanya: Bagaimana mungkin pria itu diizinkan mengumandangkan Azan di rumah ibadah agama lain? Lalu seperti orang-orang Maluku pada umumnya - yang tentunya melek medsos, tidak seperti yang dikatakan Shafiq Pontoh - saya membuka Facebook dan mendapati timeline saya diserbu oleh begitu banyak status mengenai peristiwa ini.Â
Segelintir orang menyayangkan peristiwa ini dengan menyebut-nyebutnya sebagai toleransi yang kebablasan. Segelintir lagi bahkan merasa terusik dan mengecam tidak sepantasnya azan dikumandangkan di gereja, 'haram!' kata mereka. Sisanya adalah status-status yang netral, mengapresiasi wujud toleransi tapi juga ragu-ragu membela, mungkin takut dicap Kafir juga. Lalu dalam seminggu saja video viral ini berubah menjadi penghakiman terhadap beberapa tokoh tertentu. Rapat pun digelar, konferensi pers diadakan dan berujung pada permintaan maaf mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Okay, masalah itu sepertinya selesai sampai di situ. Dan untuk apa juga membahas lagi perkara yang sensitif itu. Tapi, saya masih belum puas karena pertanyaan saya -Bagaimana mungkin ada orang yang diizinkan mengumandangkan azan di rumah ibadah agama lain?- belum terjawab. Lalu berjelajahlah saya di google, membuka buku-buku terkait, menelusuri sumber-sumber yang bisa menjawab pertanyaan itu, dan yang saya dapati kemudian cukup membuat saya terhenyak. Ada beberapa poin yang perlu ditelaah dan dijadikan refleksi sehingga peristiwa azan di gereja itu tidak hanya dilihat -setidaknya oleh saya pribadi- dari kacamata halal haram semata.
All of this happened before and it will all happened again.
Begitulah kata-kata pembuka Novel James Matthew Barrie berjudul Peter Pan, yang seolah menyiratkan apa yang saya dapati dalam penelusuran saya. Gema azan di gereja ternyata sudah beberapa kali terjadi di berbagai negara, mulai dari negara sekuler seperti Amerika hingga negara Islam yang kita sebut-sebut sebagai saudara kita, Palestina.
Ada azan di  Gereja Marble Collegiate New York, bahkan dua kali dikumandangkan, yakni pada tahun 2007 untuk mengawali berlangsungnya dialog segitiga kalangan penganut agama Kristen, Yahudi dan Islam di New York. Dan di tahun 2009 yang kurang lebih sama tujuannya yakni kampanye toleransi antar agama di Amerika. Kegiatan lintas agama dan kampanye toleransi tersebut adalah bentuk solidaritas masyarakat di tengah kecamuk ketakutan non-muslim Amerika kepada Islam. Video kumandang azannya pun sempat viral di berbagai negara.
Pada pertengahan November 2016, gereja-gereja di Palestina secara kompak mengumandangkan azan sebagai respons atas rencana Pemerintah Israel untuk membatasi volume suara azan di masjid-masjid setempat. Tepatnya di Kota Nazareth seluruh gereja menunjukkan solidaritasnya dengan mengumandangkan azan. Sikap dewan gereja Palestina ini juga merupakan bentuk dukungan penuh terhadap hubungan harmonis antara warga Muslim dan Kristen di Palestina. Langkah gereja ini memicu kekaguman dari dunia Islam, yang melihatnya sebagai bentuk kehidupan yang harmonis antar umat beragama di Palestina. Insiden ini terdokumentasi dalam sebuah video yang menjadi viral di media sosial. Berbagai pujian dilayangkan terhadap aksi solidaritas itu, sementara, cemoohan terus menghujani pembatasan kebebasan beragama yang diatur oleh otoritas Israel.
Azan sebagai bentuk protes juga terjadi di Gereja di Amerika. Pada Januari 2017 masyarakat di Boston melakukan protes keras terhadap presiden Amerika, Donal Trump atas kebijakan rasisnya yang menolak Muslim dan para Imigran. Azan tersebut dikumandangkan di depan Gereja Trinity Church yang berlokasi di Copley Square tempat massa pendemo berkumpul. Protest yang diselenggarakan oleh CAIR Massachusetts, sebuah grup advokasi warga muslim di Amerika. Protes itu bahkan dihadiri oleh pembicara yang terdiri dari Walikota Walsh dan Senator AS Warren dan Markey.
Di Australia azan juga dikumandangkan di gereja. Pada Ramadhan di bulan Juni 2018, seorang muslim mengumandangkan azan maghrib ke arah kiblat, yang kebetulan sama arahnya dengan sebuah salib besar yang menggantung di Gereja Church All Nations milik komunitas Kristen Protestan di kota Melbourne. Â Azan ini menandai acara buka puasa bersama komunitas muslim di Melbourne yang diadakan di gereja tersebut.Â