Sudah lima bulan  lamanya Bapak  menghadap Sang Pencipta.  Bapak telah pergi. Kami mencoba tegar, sebab kami sebagai anak-anaknya, yang telah mandiri dan hidup berumahtangga. Sehingga boleh dikatakan, kepergian ayah tidak menjadi sesuatu yang memberatkan kami, anak-anaknya.
Tetapi tidak demikian halnya bagi Ibu kami. Kesedihannya masih sering muncul. Tampak dari pandangannya yang lesu dan tidak bersemangat. Katanya, hal ini masih wajar, malahan ada yg sudah bertahun tahun, masih sedih.
Padahal, sewaktu masih ada ayah, Ibu kelihatan lelah ketika semua keperluan Bapak dan rumah tangganya, Ibulah yang harus selalu stand by, yang menyiapkan dan melayani keperluan Bapak dan anak-anaknya. Mulai dari menyiapkan makanan, merapikan rumah, merawat Bapak dan anak-anaknya ketika sakit, menjahit dan lain-lain. Ya, Ibuku seorang penjahit rumahan. Menerima pesanan jahitan para tetangga. Kata orang, jahitan Ibuku cukup rapi dan memuaskan. Selain itu, Ibu pandai memasak. Hingga kini resep masakan Ibu masih kupakai. Beberapa tips cara memasak yang mudahpun kudapatkan. Misalnya, untuk masakan ikan, cukup pakai garam saja, kemudian dibakar di dalam wajan teflon yang sudah dialasi daun pisang. Aroma ikannya menjadi wangi. Memasak sayur bening, bumbu cukup diiris-iris saja. Ikan asin japuh, kesukaan kami, cukup dibakar saja. Ya, masakan-masakan simple tapi enak. Hemat waktu dan biaya, kan?
Tahu tidak, untuk memasak masakan keluarga, kami para ibu, selalu ingin menghidangkan masakan terbaik walau tidak harus mahal. Kepuasan keluarga, adalah kepuasan kami juga. Â
Sewaktu kecil, Ibuku selalu memasak masakan yang enak dan tidak pernah kekurangan. Tidak mewah, tetapi cukup buat kami. Begitu seterusnya, kami tidak pernah merasa kekurangan makanan. Alhamdulillah, meski Almarhum Bapak dulunya PNS biasa, Ibu tidak pernah mengeluh diberi uang belanja pas - pasan. Pengertian pas disini bukan berarti cukup. Tetapi karena Ibu berusaha mencukup-cukupkan uang yang diberi Bapak. Selain itu Bapak memang tidak terlalu memperdulikan apakah uang belanja itu cukup atau tidak. Yang penting, ada makanan di meja makan.Â
Begitulah, barangkali memang fitrahnya seorang Ibu, yang tidak ingin mengecewakan keluarga, apapun akan ia lakukan untuk menjadikan uang belanja itu menjadi cukup untuk sebulan.
Sekarang aku bertanya. Bagaimana caranya, Bu? Tanyaku. Jawabnya, ya berhutang di warung dan tukang sayur. Gubrak! Sampai seperti itu. Bukankah kita bakalan malu kalau berhutang ? Aku sendiri rasanya tidak bisa deh, kalau harus menghutang dulu ke warung? Gengsi.
Awal-awal memang beliau juga malu, katanya. Tapii..lama kelamaan jadi terbiasa.
Aku tidak setuju. Tapi toh, akupun tidak bisa berbuat apa-apa. Karena itu kejadian lampau. Tentu seandainya tahu, kami anak-anaknya, akan melarangnya berhutang. Hmm..tapi kan waktu itu kami juga masih kecil, sepertinya belum memikirkan hal itu.
Jadi, selama belasan tahun - rahasia Ibu yang sering berhutang ini - tidak kami ketahui. Beliau terpaksa Gali Lubang Tutup Lubang. Uang belanja bulan ini, dipakai untuk membayar hutang bulan lalu. Nah, untuk belanja bulan ini, Ibu berhutang dulu. Hehe..duh, Ibuku.. luar biasa pengorbanan perasaanmu demi menyenangkan hati keluarga. Ibu melakukan itu karena beliau tidak ingin ada keributan di rumah. Karena sebenarnya Ibu bisa saja memaksa Bapak untuk memberinya uang belanja lebih. Namun karena karakter keras Bapak, Ibu memilih untuk menghindari perdebatan dengan Bapak. Khawatir di dengar anak-anaknya!
Pengalaman Ibu seperti ini menjadi pelajaran berharga bagiku, diantaranya :