Estetia Alma (200904035)/Cyntia Lim (200904071)
Dosen : Drs.Syafruddin Pohan,M.Si,Ph.D
Â
Sebagian besar mahasiswa identik dengan perantau, lokasi universitas yang tersebar di kota-kota besar Indonesia dengan tingkat kualitas berbeda-beda memunculkan pandangan berbeda pada masing-masing calon mahasiswa dalam menentukan pilihan universitas.
Bercampurnya mahasiswa dengan identitas budaya yang berbeda-beda dalam suatu daerah bukanlah hal baru yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya tingkat gerak sosial geografis oleh seorang individu atau kelompok individu di atas kemajemukan budaya, suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya yang terdapat di Indonesia yang sangat memungkinkan terjadinya kontak budaya diantara penduduk Indonesia. Maka tidak heran jika potensi terjadinya kekagetan budaya di antara para individu perantau yang tinggal di suatu daerah baru juga akan semakin besar.Â
Pada tahap awal kehidupannya di tempat rantauan ia akan mengalami problem ketidaknyamanan terhadap lingkungan barunya yang kemudian akan berpengaruh baik secara fisik maupun emosional sebagai reaksi ketika berpindah dan hidup dengan lingkungan baru terutama yang memiliki kondisi budaya berbeda. Budaya yang baru dapat berpotensi menimbulkan tekanan, karena memahami dan menerima nilai-nilai budaya lain bukanlah hal yang instan serta menjadi sesuatu hal yang tidak dapat sepenuhnya berjalan dengan mudah.Â
Culture shock (gegar budaya) pertama kali diperkenalkan oleh antropologis bernama Oberg pada tahun 1960 untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan disorientasi yang dialami oleh individuindividu yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang baru (dikutip dari Dayakisni, 2012: 265).
      Culture shock di lingkungan kampusÂ
Culture shock merupakan tuntutan penyesuaian yang berada pada level kognitif sosio-emosional, perilaku dan psikologi yang dialami oleh seseorang yang berada pada budaya yang berbeda (Indrianie, 2012). Seseorang yang mengalami gegar budaya atau culture shock, biasanya akan merasa cemas, bingung, frustasi.Â
Sebab, ia mengalami kehilangan tanda, lambang dan cara bergaul yang diketahuinya dari kultur asalnya. Culture shock atau gegar budaya adalah kondisi saat seseorang mengalami goncangan mental dan jiwa yang disebabkan oleh adanya ketidaksiapan dalam menghadapi kebudayaan asing dan baru baginya. Kondisi tersebut menyebabkan seseorang mengalami stres, gelisah, tidak percaya diri hingga depresi (Aang Ridwan, 2006).
Timbulnya masalah culture shock tersebut memicu persoalan penyesuaian diri mahasiswa atau yang biasa disebut dengan proses adaptasi. Adaptasi merupakan upaya yang dilakukan setiap individu agar dapat menyatu dengan segala kondisi di lingkungan baru. Setelah memutuskan keluar dari lingkungan hidup yang lama dan masuk ke dalam lingkungan hidup yang baru, maka permasalahan yang berkenaan dengan kondisi sosial budaya di lingkungan baru perlahan-lahan akan bermunculan.Â
Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya membutuhkan penyelesaian yang diperoleh melalui proses adaptasi. Adaptasi budaya merupakan sebuah proses individu dalam memadukan kebiasaan pribadinya dan adat istiadat agar sesuai dengan budaya tertentu. Culture shock merupakan hal yang selalu dan hampir pasti terjadi dalam beradaptasi. Â Adapun proses adaptasi yang dilakukan masing-masing mahasiswa dalam menghadapi culture shock tentunya berbeda-beda.
Seperti yang kita ketahui, kampus sendiri merupakan salah satu tempat terjadinya culture shock, apalagi mahasiswa kampus tersebut terdiri dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia tentu menjadikan kampus tersebut rentan terhadap culture shock (Gegar Budaya). Salah satu kampus yang yang menjadi tempat berkumpulnya mahasiswa di seluruh Indonesia, yang berasal dari latar belakang budaya yang beraneka ragam adalah Universitas Sumatera Utara, Medan.
Faktor Penyebab Culture Shock MahasiswaÂ
Bahasa
Culture shock yang terjadi bagi mahasiswa pertantau contohnya adalah terkait penggunaan bahasa. Misalnya galon yang berarti SPBU. Kereta yang berarti motor. Pajak yang berarti pasar, dan masih bangak lagi. Selain itu, nada bicara yang tinggi juga menjadi hal yang baru bagi mahasiswa pertantau. Mereka seringkali dikagetkan dengan cara bicara yang sangat lantang dan nada yang seringkali meninggi. Tentunya ini menjadi culture shock terutama bagi perantau dari daerah Jawa, yang dikenal dengan cara bicara yang lemah lembut.Â
Bukan hanya soal kebiasaan, adat istiadat yang dianut oleh masyarakat  Sumatera Utara seringkali menjadi  pengalaman yang mengejutkan bagi para perantau khususnya yang berada diluar pulau Sumatera. Perbedaan logat atau dialek bahasa yang merupakan ciri khas gaya berbicara kedaerahan merupakan salah satu permasalahan yang paling sering terjadi dalam konsep bahasa.
Permasalahan dalam logat bahasa cenderung menjadi pemicu utama. Mahasiswa perantau yang mendatangi kota Medan cenderung masih sangat kental dengan bahasa-bahasa daerahnya Hal tersebut menjadi salah satu hambatan dalam proses adaptasi mahasiswa perantau  di kota Medan karena menimbulkan gangguan terhadap keadaan emosional atau mental para informan yaitu timbulnya rasa tidak percaya atau takut akibat perbedaan tata bahasa.
 Adat Istiadat
Berdasarakan hasil analisis terhadap bentuk bentuk culture shock yang dihadapi perbedaan adat istiadat yang juga memiliki kaitan dengan agama yang Adat Istiadat. Faktor adat istiadat dalam lingkungan sosial budaya mengarah kepada perbedaan nilai-nilai budaya,norma norma dan hukum atau aturan aturan yang berlaku di kota Medan.
Makanan
Makanan merupakan salah satu bagian dari penyebab terjadinya culture shock pada mahasiswa perantau di kota Medan. Dalam hal ini, perbedaan cita rasa memang bukanlah menjadi suatu masalah utama yang dihadapi. Perbedaan cita rasa makanan hanya pada rasa yang mana ada beberapa mahasiswa  menyatakan bahwasannya di Medan, rasa makanan lebih kepada rasa pedas sedangkan di daerah asal mereka  lebih kepada rasa manis. Kondisi kota Medan yang plural tentunya menyediakan jenis makan yang beragam dan oleh beragam identitas suku ataupun agama.
Kepribadian (karakter)
Setiap kebudayaan mempunyai "modal personality structure" atau kepribadian umum yakni sejumlah ciri watak yang berada dalam jiwa mayoritas warga suatu masyarakatnya yang dibentuk oleh latar belakang kebudayaan atau sub kebudayaan dari lingkungan sosial tempat individu hidup dan dibesarkan (Linton, 1945).Â
Dalam antropologi, Koentjaraningrat (1990) agaknya menempatkan pembahasan karakter dalam isu kepribadian yang disebutnya dengan ciri-ciri watak. Hornby (1955) mendefenisikan secara etimologis karakter (character) diartikan sebagai ciri-ciri (nature) mental atau moral atau seluruh kualitas moral atau mental yang membuat seorang individu atau sekelompok individu berbeda dengan individu atau kelompok individu lainnya atau ras suatu masyarakat.
Sebagai mahasiswa perantau, yakin bahwa dengan tekad dan semangat yang kuat, kita dapat mengatasi segala tantangan yang dihadapi. Meskipun jauh dari keluarga dan tanah kelahiran, kita membuktikan bahwa semangat perjuangan dan keinginan untuk meraih impian tidak pernah pudar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H