Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Upaya Keras Mencegah Benih Radikalisme

18 November 2020   14:20 Diperbarui: 18 November 2020   14:26 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ninjaoutreach.com>tentara.ganteng

oleh : Kolonel Esra K. Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han)

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto pada  konferensi pers yang dilaksanakan mendadak didampingi jajaran Komandan Pasukan Khusus menegaskan bahwa TNI  menjadi garda terdepan untuk menjaga keutuhan bangsa.

Pernyataan ini disampaikan merespons gangguan berupa provokasi dari pihak-pihak tertentu yang bisa mengaburkan kesatuan dan persatuan melalui provokasi dan ambisi yang dibungkus oleh berbagai identitas. Siapa yang dimaksud? Munculnya   kerumunan ribuan massa simpatisan tokoh tertentu (berulangkali) dan tidak memperdulikan aturan PSBB merupakan kondisi yang sangat ironi  disaat pemerintah serius mengatasi Pendemi Covid 19. Kenapa ada oknum yang berani secara terang-terangan melanggar aturan PSBB. Apakah ada yang kebal hukum di Negara ini ?.Meminjam istilah Cicero, filsuf berkebangsaan Italia, "Salus populi suprema lex esto", keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara. 

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Panglima TNI yang harus langsung turun tangan dengan mengumpulkan para komandan pasukan khusus TNI dalam menyikapinya. Mengapa bukan yang lainnya. Perlu dipahami khalayak luas bahwa Panglima TNI merupakan pimpinan TNI yang mempunyai kewenangan komando untuk menggerakkan pasukan melaksanakan operasi militer. Operasi dilaksanakan baik Operasi Militer Perang maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP), sedangkan untuk Kepala Staf Angkatan yakni Kasad, Kasal maupun Kasau adalah pimpinan masing-masing matra yang berfungsi pembinaan. Pemegang Komando nya tetap  Panglima TNI. 

Siapa yang diperingatkan ?. 

Supaya dapat memahami situasi ini, perlu dijelaskan secara singkat bahwa Institusi militer adalah aktor yang kuat dalam mempromosikan atau mensosialisasikan nilai-nilai tertentu, termasuk ideologi dan pandangan politik, khususnya bagi mereka yang memilih untuk bergabung. Hal ini disebabkan oleh karakter institusi militer yang oleh banyak pihak diasosiasikan sebagai total institution, yang  merujuk kepada jenis institusi yang memiliki sistem sosialnya sendiri yang tertutup dari dunia luar, diatur oleh aturan-aturan ketat, norma, dan otoritas tunggal yang menentukan apapun yang terjadi dalam institusi tersebut. Karakter ini memungkinkan institusi militer seperti TNI untuk benar-benar mengawasi anggotanya dalam hal fisik, mental, maupun ideologi, baik ketika anggota tersebut masih berstatus calon prajurit, maupun ketika sudah aktif berdinas.  

Kekhawatiran masuknya radikalisme ke tubuh TNI memang memiliki dasar. Sudah ada beberapa kasus di mana prajurit TNI pernah terpapar paham radikalisme ataupun paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto menyebutkan bahwa TNI pernah memecat dua prajurit yang terpapar radikalisme di Aceh dan Poso.Indikasi nyata bahwa prajurit TNI juga tidak immun kepada radikalisme. Selalu saja ada kemungkinan terulang kembali dalam berbagai bentuk radikalisme yang lainnya seperti video prajurit yang viral karena menyambut kembalinya tokoh tertentu yang berakibat pada kekisruhan dan pertanyaan pada situasi kekondisian netralitas TNI.  

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan kepada seluruh prajurit TNI tentang pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa sehingga tak mudah terhasut dan terprovokasi hal yang bisa memecah belah bangsa. Antisipasi yang sangat beralasan karena sangat strategis nya status dan kemampuan prajurit TNI yang bila tidak terkendali bisa saja dimanfaatkan atau termanfaatkan pihak "luar" dan menjadi "krikil" dalam tubuh milter. 

Bila ditelisik secara lebih mendalam, hal ini sangat beralasan, karena dalam praktek politik di Indonesia berulangkali prajurit TNI berusaha ditarik-tarik atau didorong-dorong oleh pihak tertentu untuk kembali masuk dalam dunia politik, minimal menjadi bagian dari "riak-riak" politik. Sehingga setuju atau tidak setuju, ke tidak pahaman pada sensitifitas status nya sebagai prajurit ini dapat dimanfaatkan dan di "goreng" secara politis oleh para "avounturir" politik. Disinilah bahayanya!

Pengalaman dinamika yang terjadi dalam intrik Pemilu 2019 yang baru lalu membuktikan bahwa kesatuan dan persatuan bangsa (dapat) menjadi terancam ketika   provokasi dan ambisi dibungkus dalam politik  identitas didalam negara Indonesia yang pluralistik ini. Politik Identitas bisa memicu disintegrasi bangsa seperti yang pernah terjadi pada pengalaman pahit bangsa seperti maraknya gerakan separatisme akibat radikalisme di Indonesia pada tahun 50 an, karena itu potensi munculnya kembali benih radikalisme dalam bentuk apapun itu harus diantisipasi, sejak benihnya masih kecil. Kalau sudah besar dan meluas, kemungkinan sudah tidak akan bisa dipadamkan lagi. 

Bagaimana dengan TNI?

Masih jelas terngiang dalam benak kita, pernyataan mengejutkan (mantan) Menteri Pertahanan , Ryamizard Ryacudu yang  menyebutkan ada sekitar  tiga persen anggota TNI yang terpengaruh paham radikalisme, baik karena segi agama, ekonomi, dan politik. Kondisi ini diperjelas oleh Al Chaidar seorang pengamat terorisme bahwa secara teologis sekarang banyak orang sudah terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan lewat berbagai media sosial tidak hanya lagi melalui televisi yang cenderung lebih formal dan bersifat banyak sensor. Karena itu, penanganannya juga harus komprehensif.

Dampaknya juga dapat berlipat ganda mengingat dalam suatu institusi militer, satu orang prajurit - tergantung pangkat dan jabatannya - bisa memiliki komando alias menggerakkan belasan, ratusan, hingga puluhan ribu prajurit. Jika ditarik lebih jauh lagi, TNI memang pernah mengalami pengalaman buruk ketika prajuritnya terpapar radikalisme. Hal ini terjadi pada peristiwa pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat pada tahun 1949. Tidak hanya terjadi di Indonesia, radikalisme di tubuh militer ternyata juga terjadi di negara lain.

Pada tahun 2015 Wakil Menhan Malaysia menyatakan bahwa sekitar 70 prajuritnya terlibat organisasi terorisme global ISIS. Di Singapura, pada tahun 2017 seorang prajurit bernama Adzrul Azizi Bajuri terindikasi juga terpapar paham radikal ISIS. Dulu kondisi ini disinyalir bisa terjadi karena memang situasi negara kita yang masih baru berdiri. Apakah kita masih rela bila TNI kecolongan lagi ?. Tentu tidak !. 

Jelas dan tegas, Semakin luas pemahaman seseorang, maka ia akan semakin bijak dan toleran dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk prajurit TNI. Untuk itu kualitas pembinaan dan pendidikan kepada seluruh prajurit TNI menjadi semakin mendesak untuk segera ditingkatkan. Kebijakan politik negara harus bisa dijelaskan dengan bijak sehingga dapat dipahami oleh seluruh prajurit TNI. TNI tidak berpolitik.

Politik TNI adalah Politik Negara, tidak boleh ada agenda politik yang lain. Jika sudah dijelaskan dengan segala upaya secara  maksimal, maka  jika masih ada prajurit TNI yang tetap tidak paham dan tetap tidak mendukung kebijakan politik negara maka  secara otomatis oknum prajurit tersebut dinilai sudah  tidak memenuhi syarat lagi untuk tetap menjadi prajurit TNI. Harus diputuskan secara tegas dan keras !. 

Memang harus demikian !. Bayangkan apa yang terjadi bila prajurit TNI tidak loyal pada politik negara dan masing-masing memiliki agenda politiknya sendiri-sendiri. 

Penutup

Realitas menunjukkan bahwa anggota TNI memang tidak otomatis immun dari faham radikalisme. Untuk itu memang perlu pengawasan melekat dan contoh tindakan disiplin yang tegas bagi pelanggar aturannya. Tidak layak dan tidak perlu ada komentar dari siapapun saat TNI menegakkan aturannya. Kebijakan pimpinan TNI yang mengambil tindakan tegas dan keras kepada pelanggar netralitas TNI maupun aturan disiplin lainnya harus didukung bersama, karena bila sejak masih "kecil" masih dalam bentuk "benih"  tidak ditegakkan dengan jelas, tegas  dan keras, maka "benih" itu seolah mendapat "angin dukungan",  akan semakin besar dan bertambah besar. Pasti semakin sulit untuk diikendalikan. 

Tidak perlu diperdebatkan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun