oleh : Kolonel Esra K. Sembiring, S.IP, M.AP, M.Tr (Han)
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto pada  konferensi pers yang dilaksanakan mendadak didampingi jajaran Komandan Pasukan Khusus menegaskan bahwa TNI  menjadi garda terdepan untuk menjaga keutuhan bangsa.
Pernyataan ini disampaikan merespons gangguan berupa provokasi dari pihak-pihak tertentu yang bisa mengaburkan kesatuan dan persatuan melalui provokasi dan ambisi yang dibungkus oleh berbagai identitas. Siapa yang dimaksud? Munculnya  kerumunan ribuan massa simpatisan tokoh tertentu (berulangkali) dan tidak memperdulikan aturan PSBB merupakan kondisi yang sangat ironi  disaat pemerintah serius mengatasi Pendemi Covid 19. Kenapa ada oknum yang berani secara terang-terangan melanggar aturan PSBB. Apakah ada yang kebal hukum di Negara ini ?.Meminjam istilah Cicero, filsuf berkebangsaan Italia, "Salus populi suprema lex esto", keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara.Â
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Panglima TNI yang harus langsung turun tangan dengan mengumpulkan para komandan pasukan khusus TNI dalam menyikapinya. Mengapa bukan yang lainnya. Perlu dipahami khalayak luas bahwa Panglima TNI merupakan pimpinan TNI yang mempunyai kewenangan komando untuk menggerakkan pasukan melaksanakan operasi militer. Operasi dilaksanakan baik Operasi Militer Perang maupun Operasi Militer Selain Perang (OMSP), sedangkan untuk Kepala Staf Angkatan yakni Kasad, Kasal maupun Kasau adalah pimpinan masing-masing matra yang berfungsi pembinaan. Pemegang Komando nya tetap  Panglima TNI.Â
Siapa yang diperingatkan ?.Â
Supaya dapat memahami situasi ini, perlu dijelaskan secara singkat bahwa Institusi militer adalah aktor yang kuat dalam mempromosikan atau mensosialisasikan nilai-nilai tertentu, termasuk ideologi dan pandangan politik, khususnya bagi mereka yang memilih untuk bergabung. Hal ini disebabkan oleh karakter institusi militer yang oleh banyak pihak diasosiasikan sebagai total institution, yang  merujuk kepada jenis institusi yang memiliki sistem sosialnya sendiri yang tertutup dari dunia luar, diatur oleh aturan-aturan ketat, norma, dan otoritas tunggal yang menentukan apapun yang terjadi dalam institusi tersebut. Karakter ini memungkinkan institusi militer seperti TNI untuk benar-benar mengawasi anggotanya dalam hal fisik, mental, maupun ideologi, baik ketika anggota tersebut masih berstatus calon prajurit, maupun ketika sudah aktif berdinas. Â
Kekhawatiran masuknya radikalisme ke tubuh TNI memang memiliki dasar. Sudah ada beberapa kasus di mana prajurit TNI pernah terpapar paham radikalisme ataupun paham-paham lain yang bertentangan dengan Pancasila. Juru bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto menyebutkan bahwa TNI pernah memecat dua prajurit yang terpapar radikalisme di Aceh dan Poso.Indikasi nyata bahwa prajurit TNI juga tidak immun kepada radikalisme. Selalu saja ada kemungkinan terulang kembali dalam berbagai bentuk radikalisme yang lainnya seperti video prajurit yang viral karena menyambut kembalinya tokoh tertentu yang berakibat pada kekisruhan dan pertanyaan pada situasi kekondisian netralitas TNI. Â
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahyanto dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan kepada seluruh prajurit TNI tentang pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa sehingga tak mudah terhasut dan terprovokasi hal yang bisa memecah belah bangsa. Antisipasi yang sangat beralasan karena sangat strategis nya status dan kemampuan prajurit TNI yang bila tidak terkendali bisa saja dimanfaatkan atau termanfaatkan pihak "luar" dan menjadi "krikil" dalam tubuh milter.Â
Bila ditelisik secara lebih mendalam, hal ini sangat beralasan, karena dalam praktek politik di Indonesia berulangkali prajurit TNI berusaha ditarik-tarik atau didorong-dorong oleh pihak tertentu untuk kembali masuk dalam dunia politik, minimal menjadi bagian dari "riak-riak" politik. Sehingga setuju atau tidak setuju, ke tidak pahaman pada sensitifitas status nya sebagai prajurit ini dapat dimanfaatkan dan di "goreng" secara politis oleh para "avounturir" politik. Disinilah bahayanya!
Pengalaman dinamika yang terjadi dalam intrik Pemilu 2019 yang baru lalu membuktikan bahwa kesatuan dan persatuan bangsa (dapat) menjadi terancam ketika  provokasi dan ambisi dibungkus dalam politik  identitas didalam negara Indonesia yang pluralistik ini. Politik Identitas bisa memicu disintegrasi bangsa seperti yang pernah terjadi pada pengalaman pahit bangsa seperti maraknya gerakan separatisme akibat radikalisme di Indonesia pada tahun 50 an, karena itu potensi munculnya kembali benih radikalisme dalam bentuk apapun itu harus diantisipasi, sejak benihnya masih kecil. Kalau sudah besar dan meluas, kemungkinan sudah tidak akan bisa dipadamkan lagi.Â
Bagaimana dengan TNI?