Mohon tunggu...
Esra K. Sembiring
Esra K. Sembiring Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS

"Dalam Dunia Yang Penuh Kekhawatiran, Jadilah Pejuang"

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Penyusup Demo?

30 September 2019   06:35 Diperbarui: 30 September 2019   06:52 1307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh :

Esra K. Sembiring, (Alumni Ilmu Politik UGM, Magister Administrasi Publik LAN, Magister Pertahanan UNHAN)

Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia rencananya akan tetap melanjutkan aksi demo di depan Gedung DPR dalam waktu dekat ini. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang terkesan bertubi-tubi itu menimbulkan kekhawatiran banyak pihak akan kemurniannya. 

Karena bila dilihat dari tujuan awalnya yang menuntut pembatalan berbagai RUU. Namun setelah pemerintah menunda pengesahan RUU Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU KUHP, namun demonstrasi mahasiswa tetap saja jalan terus. Benarkah memang itu tuntutannya, atau mungkinkah ada skenario lain, seperti yang diungkapkan Menkopolkam Wiranto.

Secara de facto demonstrasi mahasiswa sangat mungkin bisa tetap terjadi jika keberadaan pasal yang dinilai kontroversial dalam RUU tersebut tetap dibiarkan ada. 

Namun seharusnya juga, aksi demo itu harus berhenti bila aspirasinya sudah terpenuhi. Lalu pertanyaannya kemudian, benarkah para demonstran yang mahasiswa itu mengetahui dengan pasti esensi pasal yang "dituduhkan" tidak pro rakyat itu ?.

Kenapa essensi ini perlu dipertanyakan ?. Sebagai contoh fakta, merujuk data resmi Polda Sumut yang menyatakan aksi unjuk rasa ribuan mahasiswa di DPRD Sumut, Selasa 24 september disusupi oleh buronan terduga teroris berinisial RSL. Pria itu ditangkap bersama dengan puluhan mahasiswa yang menentang pemerintah dan DPR RI soal RKUHP dan UU KPK. 

Kabid Humas Polda Sumut Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja menjelaskan RSL dibaiat oleh Abu Bakar Al Baghdadi dan tercatat sebagai anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Ternyata, selain contoh di medan itu, Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota juga membenarkan kabar penangkapan enam orang terduga pelaku perencana kerusuhan atau chaos dengan bahan peledak pada aksi massa yang digelar sabtu 28 september 2019. 

Belum lagi "penyusup" jenis lainnya yang belum terungkap. Mungkinkah ada pihak yang akan mau bertanggungjawab bila ternyata demo itu kemudian menjadi anarkis dan makar serta menimbullan korban jiwa ?.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengingatkan, bahwa siapa pun dapat menyampaikan aspirasi di negara demokrasi ini, namun penyampaian aspirasi itu harus sesuai dengan konstitusi. 

Artinya, tidak boleh anarkis dengan alasan apapun itu, apalagi yang bertujuan ingin menjegal presiden-wakil presiden yang sudah terpilih sah melalui proses pemilu. Tidak ada kompromi, pasti akan berhadapan dengan TNI.

Hal ini perlu ditegaskan dan diingatkan kepada semua pihak, karena dalam situasi negara kita yang baru saja selesai melaksanakan kompetisi pemilu, bara emosi dan fanatisme dukungan itu memang wajar saja bila masih ada dan berkamuflase dalam berbagai bentuknya. 

Namun apapun kamuflase baru-nya, tetap tidak boleh anarkis. Permasalahan yang dihadapi negara Indonesia pada tahun 1998 berbeda dengan permasalahan negara saat ini. Dengan demikian gerakan mahasiswa juga harus diposisikan pada tempat yang sesuai bobot permasalahannya. 

Gerakan mahasiswa saat ini terkesan menggunakan "excessive force", kekuatan yang berlebihan. Sudah menjadi rahasia umum, polemik yang berkembang menjadi aksi demo mahasiswa yang meluas ini semula berawal dari kontroversi revisi UU KPK. Disinyalir oleh pihak yang tidak setuju bahwa revisi ini sebagai upaya sistimatis untuk melucuti kekuatan KPK.

Benarkah demikian ?.

Sebagai sebuah pembanding bahwa UUD 1945 kita sudah 4 kali di amandemen. Apakah UU KPK memang lebih tinggi kedudukannya daripada UUD 1945 itu ?. 

Artinya, semua harus bisa memposisikan dengan wajar saja. sepakat dan menyadari, KPK bukan malaikat, DPR juga bukan malaikat, Pemerintah juga bukan malaikat. 

Siapapun itu kemungkinan saja dapat berbuat kekeliruan. Karena itu semuanya perlu dan harus mau diawasi. Tentu mekanisme teknis pengawasannya yang harus disiapkan dengan baik, agar terjamin netralitasnya dan kredibilitasnya. Kenapa fungsi pengawasan harus ditakutkan ?.

Dalil Lord Acton yang sering dikemukakan, "Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely" relevan dalam menjelaskan situasi kekisruhan politik seperti saat ini. 

Sudah menjadi hukum alam, bahwa secara umum siapapun manusianya tidak akan rela jika kehilangan atau dikurangi hak istimewa yang selama ini sudah dinikmatinya. Mungkinkah kondisi seperti itu yang sedang terjadi saat ini ?.

Sejarah gerakan mahasiswa diwaktu dulu sudah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa bukanlah suatu gerakan politis yang anarkis. Mahasiswa selalu siap berdialog, dan mampu menunjukkan kemandiriannya. Mahasiswa selalu bergerak pada saat negara dalam kondisi yang benar-benar kritis seperti 1998 lalu. 

Pertanyaannya kemudian, apakah kondisi negara saat ini sudah sama kritisnya dengan kondisi negara pada tahun 1998 lalu ?. Apakah layak hanya karena perbedaan ide keberpihakan terhadap rancangan undang-undang yang sedang dipolemikkan saat ini, lalu harus melibatkan aksi mahasiswa ? Atau ada tujuan lain seperti yang disinyalir saat ini, agenda tersembunyi untuk menjegal pelantikan presiden-wakil presiden 20 oktober nanti. ?.

Elit tokoh gerakan mahasiwa wajib diingatkan untuk waspada agar aksi demo mahasiswa tidak tersusupi lagi. Sekali lagi, jangan sampai terjadi buronan DPO teroris ikut aksi demo mahasiswa seperti yang terjadi di medan. Tanpa disadari gerakan mahasiswa ternyata rentan terdompleng agenda politik lain, yang berbeda tujuannya. 

Selain itu, mahasiswa yang berada di dalam kerumunan massa akan lebih mengedepankan solidaritas dan meninggalkan norma pribadi, mudah meniru terlepas apakah perilaku kerumunan salah atau benar.

Usia mahasiswa yang dominan masih muda cenderung digambarkan sebagai individu yang sebagian besar masih labil emosionalnya, masih hijau, sehingga sangat rentan terprovokasi. Disinilah dominan penyebab kekhawatirannya.

Penutup

Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahyanto memastikan TNI berada di garis terdepan apabila ada oknum yang ingin menjegal pelantikan presiden-wakil presiden terpilih. 

Dengan demikian maka harus dijaga bersama, agar aksi mahasiswa itu tidak terprovokasi para penyusup yang memiliki agenda "lain", sehingga melenceng dari tujuan murni-nya, apalagi menjadi anarkis. 

Sekali lagi, dimanapun aksi massa yang seperti itu terjadi, bila sudah mengancam eksistensi NKRI, dengan alasan apapun itu, siapapun itu pasti berhadapan dengan TNI.

Jangan sampai terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun