Obat adalah bahan atau substansi atau zat (kecuali makanan dan minuman) yang masuk ke dalam tubuh dengan dihirup, disuntikkan, ditelan, atau meresap melalui kulit, atau hancur di bawah lidah, serta menyebabkan perubahan pada tubuh dan fungsinya secara fisik dan atau psikologis.
"Jadi bila struktur farmakologis zat yang diklaim menyembuhkan tidak diketahui berarti itu bukan obat," tegas Bunda seraya menambahkan bagaimana obat baru ditemukan melalui proses dan prosedur sangat panjang dari identifikasi zat aktif di laboratorium, diujicobakan pada hewan, dan diuji klinis yang melibatkan manusia.
Semua prosedur di atas dilakukan dalam waktu bertahun-tahun dan berbiaya mahal bertujuan untuk memastikan keamanan efektivitas, dan memastikan dosis minimal. Ini, lanjut Bunda, sangat berbeda dengan suplemen yang tidak melalui uji klinis, tidak diketahui cara kerjanya, tidak diketahui keamanannya, dan tidak diketahui kandungan aktifnya.
"Jadi siapa bilang suplemen atau ramuan herbal aman. Suplemen atau herbal tidak melalui proses dan prosedur untuk memastikan dilaksanakannya asas kehati-hatian karena berisiko pada manusia," ujarnya menambahkan bahwa hal menonjol lainnya terkait suplemen atau herbal adalah klaim hanya berdasarkan testimoni atau kesaksian dan pengalaman yang sangat subjektif.
Bunda mengibaratkan saat membeli handphone merek tertentu yang orang pasti menuntut adanya berbagai kelengkapan seperti box dan brosur dalam bahasa setempat yang bisa dipahami. "Tapi ironisnya orang Indonesia sering percaya begitu saja dengan berbagai klaim khasiat suatu herbal atau suplemen tanpa tahu secara detil apa saja zat yang terkandung di dalamnya, apa benar bermanfaat, dan apa buktinya."
Dalam kedokteran, tandas Bunda, tujuan pemberian obat yang mengutamakan keamanan (keselamatan) semuanya dilakukan berbasis bukti (evidence based medicine disingkat EBM). "Bukan berbasis katanya, testimoni, atau pengalaman. EBM menjawab pertanyaan: apakah obat memberi manfaat, lebih baik dari obat lain, apa risikonya, dan apakah aman."
Melek kesehatan perlu
Menyambung soal layanan kesehatan, Windhi mengatakan bahwa pasien secara umum perlu punya keterampilan melek kesehatan. Dia membandingkan keterampilan ini dengan orang awal yang tidak orang yang mau belajar untuk menggunakan komputer atau gadget secara memadai dan layak meskipun tidak pernah kuliah atau tidak berniat menjadi seorang yang ahli dibidang teknologi informasi.
"Ekstremnya masa cara menghidupkan atau nge-save aja tidak tahu. Mirip dengan itu, konsumen kesehatan mestinya punya skill untuk mendapatkan, memproses, memahami, menilai, dan menerapkan informasi kesehatan. Tujuannya untuk mengambil keputusan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya."
Dia memaparkan betapa banyak kerugian jika pasien buta huruf atau tidak melek kesehatan. Beberapa di antaranya orang akan lebih sering ke UGD, lebih sering rawat inap, rencana terapi tidak dipatuhi, dan itu semua akan berakibat membuat angka kematian lebih tinggi.
Karena itu, kata Windhi, hal utama yang mestinya menjadi agenda adalah mencari informasi, yaitu tentang diagnosis, obat, dan menghindari hoaks. "Singkatnya menjadi pasien cerdas, dalam pengertian tidak menyerahkan berbagai hal penting terkait keselamatannya pada dokter atau industri kesehatan."