Mohon tunggu...
Nauram Muhara
Nauram Muhara Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis lepas tentang topik aktual.

wartawan, editor, alumnus Fak Psi UGM angk. 86

Selanjutnya

Tutup

Money

Kacaunya Alih Kelola BTS PT Tower Bersama

28 Oktober 2012   19:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:17 3321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ketatnya persaingan di pasar telekomunikasi seluler rupanya tak hanya berimbas pada tersisih dan rontoknya beberapa perusahaan yang jadi pemain. Pemilik lahan tempat berdirinya menara mau tak mau juga kena dampak buruk alih kelola menara BTS yang semula merupakan infrastruktur satu operator saja.

Setidaknya itulah yang dialami mantan pengusaha Sulio Subroto, salah satu pemilik lahan yang disewa Mobile 8 sejak tahun 2003 untuk menjadi lokasi satu menara BTS-nya. Menara yang akte perjanjian sewa menyewanya diperbarui pada Januari 2007, terkait pembayaran termin kedua, itu terletak di Jl. Bido II/2, Cinderejo Kidul RT002 RW007, Gilingan, Banjarsari, Solo (lahan menara Yosodipuro).

Bergantinya pemilik menara  diberitakan dalam surat pemberitahuan dari Mobile 8 yang diterima pada Maret 2008: Mobile 8 telah mengalihkan pengelolaan atas menara itu ke PT Tower Bersama Group (TBG). "Sedangkan pemberitahuan dari PT TBG bertanggal 20 Juni 2007 yang diterima pada 15 April 2008 dan ditandatangani manajer asset management, tanpa ba bi bu langsung bicara tentang penjagaan menara," kata bapak empat anak itu.

Ajaibnya, lanjut dia, sejak itu pengelolaan menara BTS malah vakum total. Menara BTS mati bahkan dicabut listriknya oleh PLN. "Sejumlah kewajiban tak tertulis, seperti honor bulanan penjagaan dan sumbangan kepada pengurus lingkungan pun, ikut terhenti," tuturnya jengkel karena tak jelas lagi siapa yang bertanggung jawab akibat kontak dan alamat PT TBG sama sekali tak bisa dihubungi.

Baru pada 22 Februari 2012 (empat tahun kemudian) datang utusan PT TBG kantor Semarang, yaitu sdr. Kusbadi dan Parno, memberi kontak dan alamat kantor baru yang bisa dihubungi. Utusan pembawa surat yang intinya pemberitahuan segala aktivitas dialihkan dan menjadi tanggung jawab PT TBG itu, juga menyinggung adanya operator baru pengganti Mobile 8 yang akan memasang alatnya.

Saat itu kakek sembilan cucu itu meminta adendum perjanjian sewa menyewa karena kelaziman akal sehat: sudah tidak berurusan dengan Mobile 8. Selain itu, kata dia, bidang usaha PT TBG adalah penyewaan menara (ke banyak operator) sehingga sebagian besar kegiatannya berbeda dengan Mobile 8 yang single operator. "Berdasar pengalaman saat ada operator baru masuk di lahan yang disewa, secara teknis operator akan melakukan pembangunan dengan segala hiruk-pikuknya."

Secara formal, kunjungan dua utusan itu ditindaklanjuti dengan surat 23 Februari 2012 dan 2 Maret 2012 ke PT TBG Semarang yang menegaskan permintaan adendum perjanjian sewa, khususnya tentang harga sewa tambahan per tahun untuk setiap operator baru seperti tercantum pada berita acara kesepakatan pada 26 Januari 2010 terkait operator baru. "Juga ditegaskan perlunya kompensasi atas pemasangan alat satu operator yang akan dilakukan segera di lahan yang disewa," kata pemilik sejumlah kamar kos yang berada satu lokasi dengan menara.

Pada 5 April 2012, sesepuh kampung itu menandatangani berita acara lapangan bersama wakil PT TBG yaitu site supervisor CME Cahyono Hadi. Isinya: "saran dari pemilik lahan perangkat baru memanfaatkan shelter lama, hal ini menghindari masalah yang timbul di warga dan sesuai dengan kontrak dengan Mobile 8 (single operator).  Bila operator baru masuk dan membangun fondasi baru, dikhawatirkan warga menuntut tambahan kompensasi atau justru malah tidak diperbolehkan."

Sejauh ini, tandas Sulio, PT TBG Semarang tak pernah menanggapi secara resmi. "Rangkaian surat saya dijawab dengan beberapa kali kedatangan utusan PT TBG untuk bicara secara informal." Salah satunya pada akhir Juni terkait pemasangan peralatan operator seluler 3 (Three) yang klien PT TBG.

"Untuk memasang perangkat HCPT milik operator 3, PT TBG mentransfer ke rekening  saya Rp 10 juta, dari permintaan Rp 25 juta, yang belakangan disebut sebagai itikad baik,"  tandasnya menambahkan dua belah pihak berkepentingan dengan keberadaan menara Yosodipuro sampai 31 Desember 2016.

Saat itu, ingatnya, bersama dua orang utusan PT TBG juga mendatangi notaris untuk mendapat penjelasan tentang status hukum masing-masing pihak sehubungan alih kelola menara itu. Notaris pembuat dan yang memperbarui akta Perjanjian Sewa Menyewa dengan Mobile 8 (Akta No. 12/2007) itu menyarankan dibuatnya adendum atau bahkan akta notaris baru agar kehendak masing-masing pihak terakomodasi secara fair.

Di tengah kian banyaknya operator yang datang karena akan memasang alatnya di menara tersebut, pada Agustus lalu utusan PT TBG Semarang menyampaikan draft adendum perjanjian sewa. Namun berbeda dengan Mobile 8, draft terkesan dibuat secara amatiran karena sama sekali tidak mencantumkan surat kuasa direksi PT TBG. Draft itu juga tidak menyinggung pasal tentang harga sewa tambahan per tahun untuk setiap operator baru yang merupakan inti masalah.

Hasil komunikasi per telepon dengan PT TBG, pemilik lahan diminta menuangkan semua masalah yang tak terselesaikan dalam bentuk surat dan dikirim ke kantor pusat. Pada surat 1 September dan 11 September yang ditujukan ke direksi  PT TBG itu, Sulio pada prinsipnya menyampaikan draft perjanjian sewa baru dengan penambahan dan  pengurangan pasal yang ada di Akta No. 12/2007.

Namun surat jawaban PT TBG bertanggal 10 Oktober 2012 sama sekali tidak memberi solusi dan terkesan sangat tidak profesional. Surat tanpa stempel resmi berlabel "Kantor Hukum Marpaung, SH & Rekan" dan Maranatha Marpaung sebagai pengacara yang menandatanganinya itu malah mengancam agar pemilik lahan tetap mematuhi Akta No. 12/2007 yang sebenarnya sudah tidak berlaku karena bergantinya penyewa (Pihak 2).

Tembusannya pun tak kalah aneh. Mungkin agar senada dan memberi penegasan sesuai dengan ancaman yang dikemukakan, dicantumkan bahwa surat itu juga dikirim  ke tiga pihak yang dua di antaranya adalah Kepala Dinas Satpol PP Kota Surakarta dan Kepala Kepolisian Resor Surakarta. Surat yang jelas sangat diragukan otentisitasnya dan entah siapa yang menjadi pemrakarsanya.

Hasil pelacakan putera Sulio di web: tak ditemukan informasi tentang Kantor Hukum Marpaung, SH & Rekan. Begitu pula jejak keberadaan Maranatha Marpaung meskipun nomer induk anggota Peradi Marpaung Tuani Maranatha Lumumba Patar, SH. sama dengan yang dicantumkan di surat.  Menurut bagian informasi Gedung IFC: tak ada kantor hukum tersebut di gedung yang beralamat di Jl. Jend. Sudirman Kav. 22-23 itu karena seluruh lantai 6 disewa PT TBG.

Sulio menekankan bahwa yang diminta adalah akte perjanjian sewa baru yang memperjelas apa saja yang masuk lingkup kesepakatan sebelum PT TBG melakukan aktivitas lagi di lahannya. "Mestinya cukup jelas bahwa perjanjian sewa-menyewa yang ada adalah antara Sulio Subroto dan Mobile 8. Belum ada perikatan apa pun antara saya dan PT TBG, meskipun benar perusahaan yang terafiliasi dengan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk ("TBIG") telah membeli menara Mobile 8."

Hal lain adalah pembayaran honor penjagaan dan kewajiban lain pada pengurus lingkungan terkait menara BTS yang mestinya juga diambil alih PT TBG sejak 20 Juni 2007. Soal ini ada baiknya juga masuk dalam pasal perjanjian sewa di depan notaris agar jelas siapa yang bertanggung jawab. Sejauh ini PT TBG tanpa permisi hanya memberikan instruksi terkait menara tanpa melunasi kewajibannya sejak mengambil alih pengelolaan menara.

Harapan terkait pelaporan ini, tegas Sulio, PT TBG bisa segera menyelesaikan kekacauan yang telah berlarut-larut. Jangan sampai citra perusahaan publik pemilik ribuan menara di Indonesia yang bonafid dan kredibel, berulang kali dipertaruhkan akibat kinerja sejumlah personel dan pejabat (di daerah maupun pusat) yang terkesan kurang peduli, lamban, bahkan manipulatif, dalam mengatasi berbagai masalah yang perlu dan mesti diselesaikan secara cermat dan saksama.

Masalah ini tampaknya merupakan fenomena gunung es karena banyak pemilik lahan tempat berdirinya menara yang tak tahu, bahkan tak mau tahu, soal kepemilikan infrastruktur komunikasi seluler karena sekilas sudah diatur dalam perjanjian sewa standar dari operator tunggal. Namun perubahan kondisi itu mestinya mempengaruhi perjanjian antara pemilik lahan dan pemilik menara yang baru, terutama mengingat terulangnya kerepotan dan hiruk-pikuk yang terjadi, khususnya bila menara ada di halaman rumah. Apakah Anda pernah mendengar atau malah mengalami hal yang sama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun