Mohon tunggu...
Eri Udiyawati
Eri Udiyawati Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger | Content Creator

Blogger Purbalingga, Jawa Tengah. Traveller.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beda SARA bukan Masalah, yang Jadi Masalah Kamu Baik atau Jahat?

27 Desember 2016   16:21 Diperbarui: 27 Desember 2016   16:37 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Iampoopsie.com

Akhirnyasaya beranikan diri untuk menuliskan tentang ini. Bukan maksud untukmembela atau menyalahkan pihak manapun. Ini sebuah cerita pribaditentang pengalaman yang pernah kujalani dengan orang-orang yangberbeda suku, ras, dan agama bahkan etnis.

Dulubanget, tahun 2007 aku datang ke kota Jakarta untuk bekerja. Sebagaianak kampung yang baru lulus SMK aku merasa culun dan cupu tinggal dikota besar dan sangat panas. Beruntugnya ada Bude, Paman dan Tanteyang juga kerja di sana. Waktu itu saya tinggal di tempat Bude. Jadi,orang tua saya pun tidak khawatir. Namun setelah beberapa bulanrasanya saya enggak enak kalau hidup cuma numpang. Secara makan danlain-lain Bude semua yang tanggung. Aku mau beli sayur aja pun enggakboleh, katanya uantnya disimpan saja buat akua atau keperluanlainnya.

Setelahberdiskusi akhirnya saya kost. Kebetulan punya temen kost sama-samaorang Banyumas. Jadi ya, enak gitu ngobrol ngalor ngidul semakinakrab. Dan kami juga akhirnya kerja di sebuah atap yang sama. Didaerah pasar pagi lama, Jakarta Barat. Bos kami tentunya Chines.Beliau kebetulan beragama Budha. Dan temen kami ada yang Chines juga,namun beragama Katholik.

Awalnyatakut, takut terjadi sesuatu yang diceritakan kebanyakan orang-orang.Katanya kalau punya bos China, apalagi di sebuah perusahaan, karyawanyang Islam dilarang Shalat. Di hari kerja pertama, menjelang jam 12untuk Isoma, tiba-tiba istri bos datang, “Bentar lagi istirahat,kalau kalian mau ibadah tempatnya ruang sebelah pantry,” kamitersenyum. Dan menjawab, “Baik, Bu. Terima kasih,”

Danbenar ruangan itu memang tempat sembahyang bagi karyawannya yangIslam. Bisa dikatakan sebuah Mushola kecil. Tersedia lengkap untukperalatan Shalat baik laki-laki dan perempuan. Pikiran negatifku punmulai menghilang. Ditambah lagi, kalau di pantry, ada piringdan peralatan makan mereka dengan kami terpisah. Bukan membedakankami karyawan dan mereka para petinggi perusahaan, toh wujudnya samaperabot dapur. Yang membedakan hanya warnanya saja. Buat merekacoklat dan buat kami putih. Ini pun bukan rasis juga, melainkanmereka sangat menjaga kami yang Muslim. Mereka tahu, bahwa adabeberapa makanan yang tidak halal untuk kami makan, sedang merekamemakannya. Sehingga peralatan makan dan urusan dapur pun dipisah.

Kurangbaik dan perhatian apa mereka? Sampai sedetail itu pun merekaperhatikan.

Sedangkantemen kami yang Katholik juga tidak beda dengan bos. Dia baik, jujurdan mengerti kami juga. Kadang kalau sore pas pulang kerja, diamengenalkan tempat-tempat kepada kami. Di mana orang yang jualanhalal, di mana yang ada sedikit campuran minyak lain, di mana orangyang jualan murah, dan lainnya.

Kebaikanorang-orang di Jakarta tak hanya di situ juga. Saat itu, jam sepuluhmalam kami belum tidur. Temen saya sedang asyik SMS-an sedang sayaasyik chating di mirc. Ternyata perut lapar, warteg sebelah udahtutup. Langganan ketoprak dan nasi goreng pun sudah laris manis. Kamiberdua akhirnya jalan mencari makanan berat untuk mengisi perut.Sampai di sebuah Indomaret, ada pedagang mie ayam yang masih jualan.Penjualnya pun terlihat ganteng dan masih muda. Otomatis kita hampiriuntuk membeli.

“Kak,mie ayamnya masih?” tanyaku.

“Masih,Non. Tapi maaf apa mau? Ini tidak halal, Non,” balasnya.

“Oh,”aku dan temen kost pun saling menggeleng bersamaan.

“Iya,enggak apa-apa, Non. Dagingnya sih ayam, tapi minyaknya lain,”jelas penjual tampan itu.

“Iya,Kak, makasih ya, kami permisi dulu,”

Kamipun pergi dan mencari makanan lain. Berjalan lagi, untungnya masihnemu warung Padang.

Pengalamankami belum selesai di situ. Suatu malam minggu kita ke Monas untukmelihat air mancur yang menari dan berwarna (sumpah dulu cuma ngeliatgini seneng banget). Habis itu kita keliling Monas sampai kaki pegeldan aku menghabiskan 3 botol air mineral ukuran 600 ml. Kehausan dantentu kelaparan juga. Kita pulang naik busway dan turun di StasiunKota. Dari situ kita jalan kaki menuju kost daerah Bandengan.

Dandi sepanjang jalan banyak penjual makanan, pokoknya tinggal pilih dehmau makan apa aja yang penting dompet tebel. Kita putuskan makansate, (yeee.. anak gila lah kita. Kerja buat cari duit, udah dapatduit buat keliling Jakarta dan kuliner).

Tanpamelihat kanan dan kiri kita fokus ke tenda yang jualan sate. Pas kitaudah deket dengan tenda penjual sate, terdengar suara wanita yangmemanggil.

“Mbak,Mbak,”

Kamimenoleh, “Iya, Mbak?” sedikit bingung juga maksudnya apa koktiba-tiba manggil.

“Maubeli sate?” tanyanya. Kalau dari logatnya sepertinya perempuan itudari Medan.

Kamimengangguk.

“Jangandi situ, tidak halal untuk kalian meski tersedia sapi dan kambingnya”jawabnya. Dan kami pun mengerti, mungkin cara menyembelihnya bukandengan cara seperti kami. Atau mungkin tercampur dengan daginglainnya.

“Kalaumau beli sate, lebih baik di pertigaan itu,” ucapnya sambilmenunjukkan warung sate pertigaan yang berjarak sekitar 300 meterandari kami saat ini.

“Baik,Mbak, terima kasih banget ya,”

Selamatlagi kita.

Hidupdi Jakarta saat itu membuka mataku, ya begitulah hidup denganperbedaan. Namun menyatu dan saling bersinergi. Ketika kita salingmenghormati, pastinya harmonis yang ada. Di daerah tempat kost,banyak juga yang non muslim, tapi kita bisa mengobrol tanpa harusmenyinggung agama. Dan saya betah di Jakarta, sampai tahun 2009 sayaharus pulang karena kuliah di Semarang.

Sejatinya,masalah agama urusan kita masing-masing. Agamamu untukmu, agamakuuntukku. So, mari kita intropeksi diri, bahwa urusan agama itumenjadi urusan pribadi masing-masing, kita tidak boleh ikut campurakan urusan agama mereka, pun tidak boleh mengganggu aktivitas agamamereka.

Perbedaandi dunia ini juga Tuhan yang menciptakan. Kalau kita sama semua,tentu tidak menarik, karena perbedaan untuk menjadikan sesuatu yangindah.

Terlebihkita di Indonesia, banyak suku, adat, ras, agama dan kepercayaanlain. Apakah kita yang sengaja membuat perbedaan itu? Tentu tidak,semua itu Tuhan yang telah mengaturnya. Biar kita juga belajarbagaiamana kita saling menghormati dan menghargai sebuah perbedaan.

Apapunsuku, adat, ras dan agama kita, kalau kita baik, orang tidak pernahmempermasalahkannya. Yang jadi masalah adalah ketika kita berbuatjahat, entah dari golongan apapun kita. Kalau kita jahat ya jahat.Mau ber-KTP beragama apa pun, kalau kita pencuri, tetaplah pencuri.

Janganmenjadi seperti anak TK, yang mempermasalahkan perbedaan menjadiperdebatan dan sindiran.

Baca juga : Jangan Mudah Percaya Berita Hoax, Karena Hanya Memecah Belah Kerukunan Beragama

Negeriini diperjuangkan dari macam-macam ras, suku, golongan, agama dankepercayaan. Mereka berperang hingga titik darah penghabisan hanyabertujuan Indonesia merdeka. Dulu para pahlawan ketika berjuang tidakmempedulikan dirinya kulit putih atau hitam, dari suku dan daerahmana.

perbedaan-agama-58623268169373ba06c078c1.png
perbedaan-agama-58623268169373ba06c078c1.png
Bijaksanalahdalam menyikapi perbedaan, lebih baik memperbaiki diri sendiri, daripada harus nyinyir dengan urusan orang lain, bahkan sampaimengejeknya.

Dansekedar informasi, Nenek Moyang kita tidak beragama. Tetapi merupakanaliran kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Sejatinyamereka ingin menyembah kepada Tuhan, namun zaman dulu belum adaagama. Mereka belum tahu bagaimana cara menyembah Tuhan. Sehinggamereka percaya bahwa ada roh-roh yang tak kasat mata yang menaungialam semesta. Mereka percaya bahwa bebatuan dan pohon besar merupakantempat para Dewa. Hingga zaman terus berubah, peradaban merambah danperdangan merajalela. Agama Hindu masuk di Kutai, Kalimatan Timur.Berabad-abad lagi, agama Budha masuk, terbukti banyak peninggalankerajaan-kerajaan Budha di masa itu.

Selangbeberapa waktu, Pedagang Gujarat, Persia dan India masuk. Merekamembawa agama Islam, jalur mereka melalui Selat Malaka, sehinggakerajaan pertama Islam terletak di Samudera Pasai, Aceh.

Padaabad 13, bangsa Eropa masuk untuk mencari rempah-rempah. Dengan itu,agama Katholik dan Protestan masuk ke Indonesia.

Tidakpercaya dengan itu? Coba buka kembali materi Sejarah kita. Pelajariperadaban manusia Indonesia dari zaman nomaden, zaman batu, zamankerajaan dan lainnya. Atau kunjungi museum-museum, pasti adapeninggalan sejarahnya seperti kapak perimbas, pundak berunden, fosildan lainnya.

Ataumasih belum percaya juga? Lihat bangunan megah Candi Prambanan.Bangunan tersebut dibangun pada masa Dinasti Sanjaya yang beragamaHindu. Atau lihat Candi Borobudur, bangunan yang masuk ke tujuhkeajaiban dunia itu dibangun pada Zaman Dinasti Syailendra yangberagama Budha, dengan sang arsitek Guna Darma.

Danmasih banyak lagi peninggalan sejarah lainnya dengan segala sisiperbedaan. 

Marikita sirami negeri ini dengan prestasi, bukan dengan olok-olokan.Kita sudah dewasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun