Mohon tunggu...
Wiwied Widya
Wiwied Widya Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Lifestyle Blogger

Lifestyle Blogger www.ibusegalatau.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tirta Wening, Jimat Ampuh Penangkal Intoleransi

31 Oktober 2018   23:41 Diperbarui: 1 November 2018   00:52 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentari belum sepenuhnya menampakkan diri saat langkah kaki lima pria warga Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah menyibak rerumputan. Mereka menyusuri jalan setapak di sisi kalen (sungai kecil). Kalen dan jalan itu memanjang dari utara ke selatan. Kalen berada di sisi barat jalan, di sisi timur jalan adalah terasering sawah yang menurun ke arah sungai besar, puluhan meter di bawahnya.

Suara bambu dipukul terdengar bersahutan dengan nada berbeda. Jika mendengar dari kejauhan, banyak yang mengira suara tersebut berasal dari kentongan bambu yang dipukul bergantian oleh beberapa orang. Perkiraan tersebut salah. Suara itu berasal dari instalasi bunyi sederhana dari bambu yang bergerak dan berbunyi karena pergerakan air.

Penutup ruas salah satu ujung bumbung bambu dibuka, ujung satunya tertutup oleh batas ruas. Ujung bambu yang terbuka dipasang di bawah aliran air sehingga air masuk memenuhi batang. Bambu ditopang dengan prinsip alat penimbang. Saat air mulai memenuhi bambu, ujung yang terbuka turun menumpahkan air di dalamnya. Begitu air tertuang, ujung bambu yang terbuka naik membuat ujung bambu yang tertutup terayun ke bawah. Timbul suara karena di bawah ujung bambu yang tertutup itu terpasang batu. 

"Alat ini disebut bluntak, zaman dulu digunakan untuk mengusir tikus, burung, atau hama padi lainnya. Kami gunakan sebagai salah satu properti pendukung untuk kegiatan nanti," kata Hendro Dwi Raharjo, salah satu pria yang ada di rombongan itu. 

Memeriksa bluntak menjadi kegiatan menghadapi hari penting, Kamis 11 Oktober 2018. Dalam penanggalan Jawa, hari penting itu ditandai sebagai Malem Jemuah Kliwon Sasi Sura Wuku Dukut Tahun Be. Atau Malam Jumat Kliwon Bulan Sura, Wuku Dukut, Tahun Be. Bertepatan dengan Bulan Muharam tahun 1440 Hijriah dalam kalender Islam. "Sejak dulu, leluhur kami melaksanakan upacara Tutup Suran setiap menjelang berakhirnya Bulan Sura. Kami berusaha meneruskan," kata Suparno, warga Tanggulangin lainnya.

 Setelah memastikan semua bluntak terpasang di tempatnya, para pria yang berumur antara 35 hingga 50 tahun itu memeriksa aliran air di kalen. Warga menyebut sungai kecil itu Kalen Cilik. Merupakan pecahan aliran yang dari dam atau bendungan Puso.

"Mulai tahun lalu (2017) Tutupan Sura kami kemas dengan kegiatan seni. Catatannya, kegiatan seni itu tidak boleh mengaburkan makna sesungguhnya, yaitu bersyukur dan memanjatkan doa kepada Tuhan," jelas Hendro lagi.

Pria 39 tahun yang menjadi pimpinan kelompok seni Barong Abang Desa Tanggulangin itu menambahkan, setelah melakukan perenungan, diskusi dan konsultasi kepada para sesepuh dan perangkat desa. Akhirnya pemuda dan warga sepakat peringatan Tutup Suran dikemas dalam acara bertajuk "Lampah Budaya Swadaya Sungkem Bumi Pertiwi".

Istilah "Lampah Budaya Swadaya" dipilih untuk menegaskan pola kerja kegiatan Tutup Suran. "Sejak dulu Tutup Suran dilaksanakan secara swadaya oleh warga desa. Warga urun (menyumbang) sesuai kemampuan masing-masing. Jadi ada semangat kemandirian di situ, ini yang ingin kami jaga," imbuh Hendro diamini Suparno.

"Sungkem Bumi Pertiwi" digunakan untuk mempertegas tujuan Tutup Suran. Yakni, warga yang sebagian besar petani ingin mengungkapkan rasa syukur, bakti dan terima kasih kepada Tuhan atas limpahan rezeki yang diberikan. Juga ungkapan cinta kepada Bumi Pertiwi tempat mereka lahir, besar dan hidup.

 "Acara tahun ini kami tekankan pada air, kami ingin menjaga kelestarian sumber dan aliran air di Tanggulangin," tandas Hendro.  Menurut dia, filosofi air adalah sumber kehidupan, menemukan makna yang sesungguhnya di Tanggulangin. Warga desa yang sawahnya teraliri air irigasi dari Dam Puso hingga saat itu masih bisa mengolah sawahnya. Padahal kemarau tahun ini relatif panjang.

Untuk mengekspresikan syukur dan harapan memperoleh kebaikan dimasa mendatang, mereka sepakat mengusung tajuk "Lampah Budaya   Swadaya Memetri Tirta Wening" sebagai tema Tutup Suran tahun ini. "Memetri Tirta Wening jika diartikan secara langsung adalah merawat aliran air yang jernih," imbuh Hendro. Selain makna harafiah, ada makna filosofis. Merawat air jernih sebagai sumber kehidupan, berarti merawat semangat paguyuban atau persaudaraan dan kegotongroyongan yang selama ini menjadi urat nadi kehidupan warga Tanggulangin.

Acara puncak pada malam Jumat Kliwon 11 Oktober 2018, dipusatkan di tanah kosong yang berada di Dusun Pakel, Desa Tanggulangin. "Kami biasa menyebut Alas Pakel, lokasinya di atas Dam Gremeng (bendungan lain yang berada sekitar dua kilometer di bawah Dam Puso)," tukas Suparno.

Lokasi puncak acara itu berada persis di sisi Kalen Cilik. Selain dekat perkampungan, lokasi itu tidak jauh dari Dam Puso. Air dari pertemuan tiga sungai atau disebut tempuran Dam Puso menjadi bagian penting. Air inilah yang akan digunakan sebagai salah satu simbol utama Memetri Tirta Wening.

Warga membagi lahan kosong yang luas itu menjadi dua bagian. Sisi utara digunakan untuk lokasi pasang ubarampe atau sesaji dan doa, sisi selatan digunakan untuk pentas Barong Abang. Doa lokasi itu terpisah jarak sekitar 20 meter. Calon lokasi pentas Barong Abang berupa lingkaran batu dengan diameter sekitar delapan meter diberi pagar bambu.

Di lokasi doa terpasang instalasi bambu berbentuk kerucut dengan empat kaki. Di tengahnya ada instalasi terbuat dari bambu lengkung sehingga dar jauh terlihat seperti bunga mekar. Pada sisi bawah bambu yang mengerucut terpasang jejeran masing-masing empat batang bambu di satu sisi dengan pola berbentuk kotak. Selain untuk mengikat agar kerucut itu kuat, jejeran batang bambung kecil ini digunakan sebagai tempat meletakkan ubarampe atau sesaji.

Pada bagian atas di sisi dalam kerucut terpasang kuali tanah yang saat upacara nanti akan diisi air dari sejumlah sumber. "Air dari tempuran Dam Puso dan beberapa sumber lain di Tanggulangin diisikan ke sana. Nanti dicampur air dari beberapa tempat di dunia yang dibawa oleh salah seorang tamu kami," ungkap Hendro.

Menjelang siang Hendro dan empat rekannya mempersiapkan ubarampe. Bunga, dupa, jajan pasar, tebu wulung dan tidak kurang dari tujuh daun dan tanaman langka dijadikan ubarampe. Semua ubarampe dipasang di sekitar instalasi bambu berbentuk kerucut. Setelah selesai, Hendro, Suparno, Suyadi dan dua rekannya menempuh jarak sekitar dua kilometer menuju Dam Puso. Menjelang pukul 12.00 mereka berdoa dan mengambil air di tempuran Dam Puso dipimpin Marto Bejo (71) salah seorang sesepuh Tanggulangin.

RABU, 10 Oktober 2018

Kegiatan pagi di Alas Pakel didominasi ibu-ibu. Berbekal sapu dan alat lain, mereka kerja bakti bersih-bersih Alas Pakel. Instalasi di lokasi pentas seni Barong Abang sudah selesai, begitu juga instalasi di lokasi doa bersama. Sejumlah pemuda giliran menyiapkan hal-hal lain yang akan menjadi penunjang acara, seperti obor dan kajang (tempat berteduh sementara terbuat dari bambu dan daun kelapa kering).

Saat ibu-ibu dan pemuda kerja di Alas Pakel, para bapak dipimpin Hendro, Suparno dan Suyadi memeriksa aliran air di Kalen Cilik. Suyadi yang lahir, besar dan hingga sekarang hidup di Dusun Pakel mengatakan, sejak dia kecil aliran air di Kalen Cilik nyaris tidak pernah kering meski kemarau panjang mendera. Agar pemanfaatan air tidak memicu konflik, warga menyusun jadwal penggunaan aliran air. Dalam putaran waktu 24 jam, air dibagi agar bisa mengaliri sawah milik sebagian warga empat dusun di Desa Tanggulangin dan sebagian warga Sambirejo, desa sebelahnya.

 "Saya dan hampir semua warga sini (Pakel) tetap menjaga tradisi, seperti methik (upacara untuk mengawali proses tanam padi) dan tradisi lain seperti yang diajarkan orang tua kami," imbuh Suyadi.

Kesadaran warga melestarikan tradisi menjadi faktor penting keberhasilan Hendro dan kawan-kawannya menggelar pagelaran seni dalam momen penting seperti Tutup Suran. Warga antusias mempersiapkan semuanya. Keberanian generasi muda setempat mengemas tradisi dengan bungkus baru tanpa menghilangkan unsur asli, menjadi dorongan dan semangat baru bagi warga lainnya.

Mereka sekarang sadar, acara yang turun-temurun dilaksanakan di desanya memiliki potensi dikembangkan. Termasuk untuk mengangkat citra desa dan mendongkrak potensi pariwisata Tanggulangin. "Kegiatan tradisi seperti Tutup Suran berpengaruh besar pada hubungan sosial kemasyarakatan. Kegiatan seperti ini bisa menjaga interaksi warga desa tetap berjalan harmonis karena kami sadar  punya harapan yang sama," jelas Suparno.

KAMIS, 11 Oktober 2018

Menjelang pukul 18.00 nyala obor menghiasi sejumlah titik di Alas Pakel. Seiring berjalannya waktu, warga Dusun Pakel dan dusun lain di Tanggulangin mulai berdatangan. Banyak juga pengunjung dari luar desa yang datang untuk mengikuti atau menonton prosesi Memetri Tirta Wening.

Acara memang belum dimulai, tetapi berbagai instalasi bambu yang dipasang menjadi hiburan tersendiri bagi warga. Sejumlah pesilat datang bergiliran ke area calon pentas Barong Abang. Mereka memanjatkan doa dan membuka arena dengan gerakan khas perguruannya. Proses itu dilakukan sebagai bentuk dukungan para pesilat terhadap acara Tutup Suran di Alas Pakel.

Menjelang pukul 20.00, arak-arakan obor memasuki area Alas Pakel. Pawai obor itu dilakukan oleh anggota Barong Abang. Maskot Barong Abang berupa burung besar terbuat dari bahan utama bambu berada di baris depan. Diiringi alat musik yang hampir semuanya terbuat dari bambu, burung Barong Abang dan sejumlah penari pentas di area yang disiapkan. Kendati melibatkan alat musik dan penari, pentas Barong Abang malam itu tidak gegap-gempita. Justru sebaliknya, bernuansa meditatif mengarah pada sakral.

Saat Barong Abang pentas, di area lain, tepatnya di sekitar kerucut bambu, berkumpul puluhan warga anggota pengajian. Setelah Barong Abang selesai, pimpinan pengajian, Ustad Suyatno memimpin jamaahnya melaksanakan istighotsah atau doa bersama dilanjutkan siraman rohani.   

Dengan gaya lugas dan segar, Ustad Suyatno menegaskan pentingnya menjaga kerukunan antarwarga dan menjaga hubungan harmonis antara agama dan budaya yang memiliki nilai-nilai positif. Tokoh agama setengah baya itu juga menegaskan pentingnya saling menghargai dan menjaga toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

Keindahan dan kedalaman makna toleransi, tidak hanya menjadi wacana pada malam itu. Tetapi langsung dibuktikan dengan aksi nyata. Prosesi Memetri Tirta Wening diakhiri dengan kondangan atau kenduri. Marto Bejo, kembali dipercaya memimpin pelaksanaan kondangan. Dia akhir kondangan, Marto Bejo minta Ustad Suyatno membaca doa. Suyatno mengakhiri kondangan dengan membaca Al Fatihah.

Nah, di antara ratusan orang yang berkumpul di Alas Pakel malam itu, ada beberapa tamu istimewa. Mereka adalah Mbah Sadiman, pahlawan lingkungan peraih Kalpataru karena keberhasilannya menghijaukan kembali Bukit Gendol di Kecamatan Bulukerto, Wonogiri. Tamu kedua adalah pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Kraton Ngiyom di Ngawi, Jawa Timur, Bramantyo Prijosusilo. Tamu ketiga adalah Jumali Wahyono Perwito atau akrab disapa Mas Jiwo Pogog karena peran besarnya mendorong petani membudidayakan durian Pogog di Kecamatan Puh Pelem, Wonogiri.

"Di Kraton Ngiyom, saya mendalami berbagai hal tentang seni, budaya, mitos dan upacara-upacara. Saya datang ke Tanggulangin untuk belajar. Peran warga dalam setiap upacara tradisi yang dilaksanakan di Tanggulangin ini luar biasa. Dan semua itu didorong oleh kesadaran masing-masing pribadi, sehingga upacara dan kegiatan besar semacam ini bisa terlaksana secara swadaya," papar Bramantyo dalam sesi sarasehan yang dipandu penulis.

Sebagai bentuk dukungan terhadap acara Memetri Tirta Wening, Bramantyo datang membawa air dari beberapa lokasi di dunia mulai dari Afrika hingga air dari Machu Pichu, Peru, Amerika Selatan. Bramantyo juga memaparkan pentingnya kesadaran dan kepedulian terhadap, seni, budaya dan lingkungan untuk mencegah munculnya kekerasan dan gerakan yang mengarah pada intoleransi.

"Upacara dan tradisi masa lalu, selalu diarahkan sebagai bentuk doa kepada Tuhan dan kepedulian terhadap alam serta sesama manusia. Maka pelaksanaannya dilakukan dengan pola paguyuban. Dalam masyarakat yang guyub seperti ini, radikalisme dan intoleransi tidak akan mendapatkan tempat," imbuh Bramantyo.

Mbah Sadiman dan Mas Jiwo Pogog menjelaskan pengalaman mereka berkutat dalam upaya pelestarian lingkungan. Mbah Sadiman menceritakan suka duka menghijaukan kembali Bukit Gendol yang sebelumnya terbakar. "Saya dikira edan karena sendirian nanam ringin  (pohon beringin) di bukit," ungkap Sadiman. Kini upayanya membuahkan hasil. Bukit Gendol hijau lagi dan menghasilkan air untuk mencukupi kebutuhan air bersih dan mengaliri sawah milik warga beberapa desa sekitarnya.

Mas Jiwo Pogog juga merasakan beratnya mengajak warga membudidayakan durian Pogog. Sekarang petani yang dulu enggan dia ajak, sudah menikmati hasilnya. "Durian Pogog dijual kiloan, harga perkilonya tinggi," jelas dia.

Perbincangan dalam sarasehan malam itu mengalir menyenangkan. Kesimpulan yang bisa diambil, radikalisme dan intoleransi tidak akan punya ruang cukup untuk berkembang di masyarakat yang memiliki kepedulian dan kesadaran menjaga hubungan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.

Masyarakat yang peduli dan aktif menjaga alam dan lingkungan akan mendapat manfaat dari alam sehingga berpeluang menjadi masyarakat sejahtera. Kesejahteraan berbanding lurus dengan kemandirian. Masyarakat yang mandiri, sejahtera, peduli, sadar menjaga alam sekitarnya dan sadar betapa pentingnya menjaga kerukunan untuk ketentraman dan kedamaian hidupnya, tidak akan mudah dipengaruhi orang atau kelompok yang ingin memecah belah kehidupan bermasyarakat kita. Sehingga Indonesia yang berbingkai Bhinneka Tunggal Ika tetap lentur, lestari, jernih dan kuat seperti air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun